Perkawinan
campuran di Indonesia sekarang ini telah menjadi sebuah tren yang sudah
membudaya dalam setiap lapisan masyarakat. Terutama kalangan artis-artis
yang sering sekali menikah dengan laki-laki asing yang itu secara
terang-terangan diakui dalam media informasi. Perkawinan campuran telah
merambah ke-seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi
informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma
bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang
Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur
perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain
adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis,
berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena.
Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga
kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia
sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir
dengan baik dalam perundang-undangan di Indonesia. Sebenarnya apa itu
perkawinan campuran? Maka dalam kesempatan kali ini, saya akan mencoba
memaparkan kepada teman-teman sekalian mengenai perkawinan campuran.
Perkawinan
Campuran
Menurut Undang-undang perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan). Perkawinan Campuran adalah Perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan,
dikenal dengan Perkawinan Campuran (pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan). Artinya perkawinan yang akan anda lakukan adalah perkawinan
campuran.
Prosedur
perkawinan campuran
Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut
Undang-Undang Perkawinan dan harus memenuhi syarat- syarat perkawinan. Syarat
Perkawinan diantaranya: ada persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua
orangtua/wali bagi yang belum berumur 21 tahun, dan sebagaimua (lihat pasal 6
UU Perkawinan).
Bila semua syarat telah terpenuhi, anda dapat meminta pegawai pencatat
perkawinan untuk memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan
masing-masing pihak, --anda dan calon suami anda,-- (pasal 60 ayat 1 UU
Perkawinan). Surat Keterangan ini berisi keterangan bahwa benar syarat telah
terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan. Bila petugas
pencatat perkawinan menolak memberikan surat keterangan, maka anda dapat
meminta Pengadilan memberikan Surat Keputusan, yang menyatakan bahwa
penolakannya tidak beralasan (pasal 60 ayat 3 UU Perkawinan). Surat Keterangan
atau Surat Keputusan Pengganti Keterangan ini berlaku selama enam bulan. Jika
selama waktu tersebut, perkawinan belum dilaksanakan, maka Surat Keterangan
atau Surat Keputusan tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5 UU
Perkawinan).
Surat-surat yang harus
dipersiapkan
Untuk calon suami
Anda harus meminta calon suami anda untuk melengkapi surat-surat dari
daerah atau negara asalnya. Untuk dapat menikah di Indonesia, ia juga harus
menyerahkan Surat Keterangan yang menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan
kawin dengan WNI. SK ini dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di negaranya.
Selain itu harus pula dilampirkan:
·
Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport)
·
Fotokopi Akte Kelahiran
·
Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin, atau
·
Akte Cerai bila sudah pernah kawin, atau
·
Akte Kematian istri bila istri meninggal
·
Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh
penterjemah yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh Kedutaan Negara
WNA tersebut yang ada di Indonesia.
Untuk calon istri
harus melengkapi diri anda dengan :
·
Fotokopi KTP
·
Fotokopi Akte Kelahiran
·
Data orang tua calon mempelai serta Surat pengantar dari RT/RW yang
menyatakan bahwa anda tidak ada halangan bagi anda untuk melangsungkan
perkawinan
Pencatatan Perkawinan
(pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan)
Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta
Perkawinan (kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang beragama
Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan
dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.
Legalisir Kutipan Akta
Perkawinan
Kutipan Akta Perkawinan yang telah anda dapatkan, masih harus
dilegalisir di Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Luar Negeri, serta
didaftarkan di Kedutaan negara asal suami. Dengan adanya legalisasi itu, maka
perkawinan anda sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum di
negara asal suami, maupun menurut hukum di Indonesia
Konsekuensi Hukum
Ada beberapa konsekuensi yang harus anda terima bila anda menikah dengan
seorang WNA. Salah satunya yang terpenting yaitu terkait dengan status anak.
Berdasarkan UU Kewarganegaraan terbaru, anak yang lahir dari perkawinan seorang
wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang
wanita WNA dengan pria WNI, kini sama-sama telah diakui sebagai warga negara
Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak
berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya.
Status
Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran 2 Kewarganegaraan
Anak Sebagai Subjek
Hukum
Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah :
Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan.
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai
subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak
yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan
yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia sebagai subjek
hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun
tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum.
Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka
yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami,
dan mereka yang dibawah pengampuan.
Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak
cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa
diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang
lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki
kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang
berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti
kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak
akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan
kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi
hukum.
Pengaturan Mengenai
Anak Dalam Perkawinan Campuran
Menurut Teori Hukum Perdata Internasional
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status
anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan
orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah
sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut
tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki
hubungan hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal.
Negara-negara common law berpegang
pada prinsip domisili (ius
soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada
prinsip nasionalitas (ius
sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang
ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan
secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi
kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan
hak-hak maritalnya. Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak
dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia,
Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan
kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga,
bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu
orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke
macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai
dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan
yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu
berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan
sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda
kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
Menurut UU Kewarganegaraan Baru
·
Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran. Undang-Undang
kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal.
Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut: Asas ius sanguinis (law of the blood)
adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan,
bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. Asas ius soli (law of the soil)
secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang
berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Asas
kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi
setiap orang. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
·
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda
(bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda
yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu
pengecualian. Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya
kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum
dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi
hilang.
·
Kewarganegaraan Ganda Anak Hasil Perkawinan Campuran. Berdasarkan UU ini
anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak
yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui
sebagai warga negara Indonesia.
·
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18
tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk
memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak
berusia 18 tahun atau setelah kawin.
·
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif
bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah
pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian
hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua
yurisdiksi.
Bila dikaji dari
segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi
masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas
nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara
nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain
tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada
pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan
status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana
bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara
yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia,
terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak
yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat
tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat
formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut
hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas),
berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU
No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan
yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
Manfaat Perkawinan
Campuran Bagi Anak
Meskipun dalam prakteknya Undang-Undang Kewarganegaraan (UUKW)
memiliki kelemahan, namun dalam prakteknya juga mendatangkan manfaat. Setelah diundangkannya
UUKW “ Seluruh anak hasil kawin campuran baik yang sah maupun yang tidak, kini
bisa menjadi WNI, tidak terkecuali bagi anak hasil kawin campuran yang ibunya
berasal dari luar negeri”.
Anak yang dimaksud dalam pasal 41 UUKW tersebut mengacu dalam
status anak pasal 4 UUKW, yang ukurannya, Pertama, anak yang lahir
karena perkawinan yang sah. Kedua, anak yang lahir
dari perkawinan yang tidak sah. “Dan ketiga adalah anak yang lahir dalam
wilayah teritori Republik Indonesia. Status warga negara dari perkawinan
campuran, merupakan hal yang paling revolusioner pada UUKW baru itu. “Dulu,
bila sang ayah WNA, maka kewarganegaraan mengikuti ayahnya, “ Kini
anak tersebut bisa menjadi WNI atau memilih mengikuti kewarganegaraan
ayahnya".
Menurut menteri Hukum dan HAM, “sejak
diberlakukan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006, tercatat 700 anak hasil
perkawinan campuran disahkan WNI”. Anak hasil
perkawinan campuran yang telah mendapati Surat Keputusan selanjutnya disebut SK
kewarganegaraan Indonesia, kini bisa memiliki paspor yang diterbitkan di
Indonesia. Mereka pun tetap berhak menggunakan dan memiliki paspor luar negeri
yang diterbitkan oleh negara asal orang tua mereka.
Dengan diperolehnya SK WNI, maka anak hasil perkawinan campur tidak
perlu lagi mengurus visa, Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) maupun Kartu
Izin Tinggal Menetap (KITAP), danbila hendak bepergian ke luar negeri, paspor
mereka sudah bisa didapat di Kantor Imigrasi setempat, akan tetapi jika pergi
menggunakan passpor RI, maka pulang juga harus menunjukkkan paspor RI.
Dalam UUKW yang baru tidak dijelaskan mengenai sanksi keterlambatan
Pendaftaran WNI ke Departemen Hukum dan HAM, setelah melewati batas 3 tahun
dari usia 18 tahun, seharusnya pemberian sanksi lebih baik ada. Hal ini untuk
menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum. Bilamana anak mendapat harta
warisan, hibah, maupun wasiat dari kedua orang tuanya, hanya WNI yang mempunyai
hak milik (UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
pasal 21). WNI yang menjadi WNA wajib melepaskan hak milik dalam jangka waktu
satu tahun, jika lewat waktu maka akan dihapus haknya karena hukum dan tanahnya
jatuh ke negara.
No comments:
Post a Comment