Thursday, August 30, 2018

Makalah Perceraian - Hukum Perdata


M A K A L A H
PERCERAIAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hukum Perdata
Dosen Pengampu: 
DISUSUN OLEH:




  
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul “Perceraian”,dimana makalah ini sebagai tanggungjawab kami untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini membahas tentang bagaimana penyelesaian perkara perceraian sesuai dengan peraturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Kami menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan senang hati kami akan menerima kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah kami pada kesempatan berikutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, apabila ada salah kata kami mohon maaf. Sekian terima kasih.






Surakarta, 29 Mei 2016
Penyusun,

KELOMPOK

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Perceraian
B.     Jenis Perceraian
C.     Syarat Pelaksanaan Perceraian
D.    Alasan Dilakukannya Perceraian
E.     Akibat dari Dilakukannya Perceraian

BAB III PENUTUP
A.  Kesimpulan
B.  Kritik dan Saran
DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Tujuan perkawinan pada umumnya adalah untuk membina rumah tangga yang bahagia, sejahtera dan kekal abadi. Bahkan setiap pasangan pun menginginkan untuk bisa mencapai tujuan rumah tangga yang bahagia dan abadi tersebut. Akan tetapi, proses kehidupan yang terjadi terkadang tak jarang tidak sesuai dengan apa yang diimpikan. Hambatan serta rintangannya pun bermacam-macam dan datang dari segala penjuru. Tak sedikit pasangan yang kemudian tidak dapat menyikapi dengan bijaksana mengenai permasalahan-permalasahan yang timbul di dalam rumah tangga. Kebanyakan dari mereka tak mau berpusing-pusing untuk mencari solusi pemecahan masalah secara baik-baik, namun justru malah perceraianlah yang menjadi cara utama dan sering digunakan untuk menyelesaikan masalah demikian. Dan apabila di dalam suatu perkawinan itu, sepasang suami dan istri tidak kuat dalam menghadapi berbagai masalah yang ada, maka biasanya jalan yang ditempuh adalah perpisahan yang secara hukum dikenal dengan perceraian.
Tetapi, tidak selamanya masalah yang datang akan mengakibatkan perceraian. Karena kematian pun secara otomatis akan melekatkan status cerai kepada suami atau istri yang ditinggalkan. Selain itu, keputusan hakim juga berpengaruh dalam penentuan status. Apabila hakim tidak menghendaki atau tidak memutus cerai maka pernikahan tersebut tidak bisa dikatakan telah bubar. Permasalahannya adalah setiap peceraian atau status cerai yang diinginkan dapat tercapai apabila dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ada. Seperti, syarat bagaimana suatu hubungan diperbolehkan untuk bercerai, alasan-alasan yang diajukan memenuhi atau tidak, tata cara yang dilalui telah sesuai atau tidak, hal ini sangat penting untuk diperhatikan. Karena, apabila tidak memenuhi hal-hal tersebut, maka akan menimbulkan kerugian bahwasannya hubungan pernikahan dianggap masih tetap berlangsung.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa definisi perceraian?
2.      Apa saja jenis-jenis dari perceraian?
3.      Apa saja syarat untuk dapat dilakukannya suatu perceraian?
4.      Alasan apa saja yang dapat digunakan untuk melakukan perceraian?
5.      Akibat apa yang ditimbulkan dari dilakukannya suatu perceraian?
C.  Tujuan Penulisan
1.        Sebagai tanggungjawab dalam memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata
2.        Memberikan penjelasan mengenai definisi dari perceraian
3.        Memberikan penjelasan mengenai pembagian jenis dari perceraian
4.        Memberikan penjelasan mengenai syarat dan alasan apa saja untuk dapat melakukan suatu perceraian
5.        Memberikan penjelasan mengenai akibat yang ditimbulkan dari suatu perceraian
6.        Menambah wawasan pembaca mengenai perceraian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu UU Nomor 1 Tahun 1974


BAB II
PEMBAHASAN
1.    Definisi Perceraian
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.[1]Perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia, sejahtera, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan dapat putus karena : kematian, perceraian, atas keputusan pengadilan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan.Perceraian biasa disebut “cerai talak” dan atas keputusan pengadilan disebut “cerai gugat”. Cerai talak perceraian yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada istrinya yang perkawinannya dilaksanakan menurut agama Islam.[2]Cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan oleh seorang istri yang melakukan perkawinan menurut agama islam dan oleh seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaan itu selain agama Islam.[3] Cerai talak dan cerai gugat hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan.[4]
Gugatan Provisional (pasal 77 dan 78 UU Nomor 7 Tahun 1989), sebelum putusan akhir dijatuhkan hakim, dapat diajukan pula gugatan provisional di Pengadilan Agama untuk masalah yang perlu kepastian segera, misalnya:
a.       Memberikan ijin kepada istri untuk tinggal terpisah dengan suami
b.      Izin dapat diberikan untuk mencegah bahaya yang mungkin timbul jika suami-istri yang bertikai tinggal serumah
c.       Menentukan biaya hidup/nafkah bagi istri dan anak-anak yang seharusnya diberikan oleh suami
d.      Menentukan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak
e.       Menentukan hal-hal yang perlu bagi terpeliharanya barang-barang yang menjadi harta bersama (gonok-gini) atau barang-barang yang merupakan harta bawaan masing-masing pihak sebelum perkawinan dahulu.

2.    Jenis Perceraian
a.       Cerai Gugat
     Pengaturan masalah perceraian di Indonesia secara umum terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan. Cerai gugat atau gugatan cerai yang dikenal dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 adalah gugatan yang diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 40 UU No. 1 Tahun 1974  jo. Pasal 20 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975).  Perceraian gugatan berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya yang beragama Islam dan bukan beragama Islam. Bagi mereka yang beragama Islam, gugatan dapat diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama dan bagi mereka yang beragama non-Islam, gugatan dapat diajukan oleh istri ke Pengadilan Negeri. Selain itu, bagi pasangan suami istri yang beragama Islam, mengenai perceraian tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang berlaku berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Oleh karena itu, berikut penjelasan perbedaan cerai gugat dan cerai talak yang dimaksud dalam KHI satu persatu sebagai berikut:
Dalam konteks hukum Islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat berbeda dengan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974  maupun PP No. 9 Tahun 1975. Jika dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami atau istri, mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan yang diajukan oleh istri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi:
          “Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerahhukumnya mewilayahitempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.”
Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat [2] KHI).

b.      Cerai Talak
         Cerai karena talak dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 114 KHI yang berbunyi:                
         Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”

Yang dimaksud tentang talak itu sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:
“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di Pengadilan Agama. Sedangkan, mengenai cerai karena talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan Agama, menurut Nasrulloh Nasution, S.H. dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia karena tidak dilakukan di Pengadilan Agama. Menurut Nasrulloh, akibat dari talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum. Selain itu, Pasal 115 KHI mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

3.    Syarat Perceraian
Syarat-syarat perceraian termaktub dalam pasal 39 Undang-undang perkawinan terdiri dari 3 ayat, yaitu:
a.       Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b.      Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
c.       Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Putusan perceraian harus didaftarkan pada Pegawai Pencatatan Sipil di tempat perkawinan itu telah dilangsungkan. Mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, pendaftaran itu harus dilakukan pada Pegawai Pencatatn Sipil di Jakarta. Pendaftaran harus dilakukan dalam waktu enam bulan setelah hari tanggal putusan hakim. Jikalau pendaftaran dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang dilalaikan, putusan perceraian kehilangan kekuatannya, yang berarti, menurut undang-undang perkawinan masih tetap berlangsung.



4.    Alasan Perceraian
Undang-Undang tidak membolehkan perceraian dengan mufakat saja antara suami dan istri, tetapi harus ada alasan yang sah. Alasan-alasan ini ada empat macam:
a.     Zina
b.   Ditinggalkan dengan sengaja
c.    Penghukuman yang melebihi lima tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan
d.   Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (Pasal 209 BW)
Undang-Undang perkawinan Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 menambah dua alasan, yaitu:
a.    Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
b.    Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Lebih lengkapnya, alasan-alasan ini tercakup lebih rinci dalam ayat 2 Undang-Undang Perkawinan pasal 39 dan dalam PP No. 9 Tahun 1975 pada pasal 19:
a.     Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f.       Antara suami dan isteri terus-menerusterjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.

5.    Akibat Perceraian
     Akibat dari perceraian ada dua, yakni :
 a.       Akibat bagi istri dan harta kekayaan.
Undang-undang Perkawinan mengatur dengan tuntas tentang kedudukan harta benda di dalam perkawinan. Ketentuan yang terdapat di dalam pasal 37 Undang-undang Perkawinan menegaskan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur  menurut hukumnya masing-masing.
Menurut pasal 35, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 harta benda dalam perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Karena itu pasal 36 menetukan bahwa harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

    b.      Akibat terhadap anak yang masih dibawah umur.
    Akibat terhadap anak yang masih di bawah umur ada dua, yakni :
      1)      Perwalian
Masalah perwalian diatur dalam Pasal 220 dan Pasal 230. Dengan bubarnya perkawinan maka hilanglah kekuasaan orang tua, terhadap anak-anak dan kekuasaan ini diganti dengan suatu perwalian. Mengenai perwalian ini ada ketentuan-ketentuan seperti berikut :
a)      Setelah oleh hakim dijatuhkan putusan di dalam hal perceraian ia harus memanggil bekas suami istri dan semua keluarga sedarah dan semenda dari anak-anak yang belum dewasa untuk didengar tentang pengangkatan seorang wali. Hakim kemudian menetapkan untuk tiap anak siapa dari antara dua orang tua itu yang harus menjadi wali. Hakim hanya dapat menetapkan salah satu dari orang tua. Siapa yang ditetapkan itu terserah kepada hakim sendiri.
b)      Jika setelah perceraian mempunyai kekuatan mutlak, terjadi sesutau hal yang penting, maka atas permintaan bekas suami atau istri, penetapan pengangkatan wali dapat diubah oleh hakim.
   2)      Keuntungan-keuntungan yang ditetapkan menurut undang-undang atau menurut perjanjian perkawinan.
Hal-hal yang mengatur mengenai keuntungan bagi anak-anak terdapat dalam pasal 231. Dengan perceraian hubungan suami istri terputus, tetapi hubungan dengan anak-anak tidak. Maka, sudah sepantasnya jika segala keuntunhan bagi anak-anak yang timbul berhubungan dengan perkawinan orang tuanya tetap ada. Keuntungan hak waris atau dari perjanjian kawin, umpamanya jika pada perjanjian kawin ditentukan sesuatu keuntungan bagi si istri maka jika si istri ini meninggal maka anak-anak berhak atas keuntungan yang dijanjikan kepada ibunya.
Akibat lain yang dijelaskan adalah :
a.       Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan member keputusannya.
b.      Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul niaya tersebut .
c.       Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU No. I. 1974).






























BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Perceraian ialah penghapusan perkawainan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Syarat-syarat perceraian termaktub dalam pasal 39 Undang-undang perkawinan terdiri dari 3 ayat yaitu:
a.       Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b.      Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
c.       Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Alasan-alasan peeraian tercakup lebih rinci dalam ayat 2 Undang-undang Perkawinan pasal 39 dalam PP pada pasal 19.
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f.       Antara suami dan isteri terus-menerusterjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.





Akibat dari perceraian yaitu, akibat bagi istri dan harta kekayaan, dan akibat terhadap anak yang masih dibawah umur, serta masih ada akibat-akibat yang lainnya, yaitu :
a.       Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan member keputusannya.
b.      Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul niaya tersebut .
c.       Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU No. I. 1974).

B.     SARAN
Demikian makalah yang penulis buat, semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan dan pemahaman kita mengenai putusnya perkawinan, khususnya perceraian. Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun referensi yang menjadi bahan rujukan. Untuk itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang diberikan, guna penyempurnaan makalah penulis berikutnya.




















DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung: Mizan, 2000).
Fadl, Khalid Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa, (Jakarta: Serambi, 2006)
Federspiel, Howard M. Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia 1923-1957, terj. Ruslani Kurniawan Abdullah, Jakarta: Serambi, 2004.
Jaenuri, Achmad, Ideologi Kaum Reformis, Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal, (Surabaya: LPAM, 2002).
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 1998).
Mughni, Syafiq A. Nilai-Nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
Mulkhan, Abdul Munir, Neo-Sufisme dan Pudarnya Fundamentalisme di Pedesaan (Yogyakarta: UII Press, 2000).
Nashir, Haedar, “Memahami Manhaj Gerakan Muhammadiyah,” dalam Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009).
________, “Paradigma Tajdid Muhammadiyah sebagai Gerakan Modernis Reformis”, Makalah disajikan dalam Seminar Pra-Muktamar,“Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan Strategi Tajdid”, yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 21 s.d 22 November 2009
Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi, 2004).
Soemantri, Gumilar Rusliwa, “Tajdid Muhammadiyah, Islam dan Kebangsaan”, Seminar Pra-Muktamar Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan Strategi Tajdid, yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 21 s.d 22 November 2009.



[1]Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta : PT Intermasa, 1989), hlm.42.
[2]Pasal 14 PP Nomor 9 Tahun 1975
[3]Pasal 20 ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 1975
[4]Pasal 39 ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 1975



Kalau Mau Copas jangan LUPA KASIH SUMBERNYA ^_^
Dan jangan lupa LIKE + Comment ^_^

No comments:

Post a Comment