M
A K A L A H
PERCERAIAN
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hukum
Perdata
Dosen
Pengampu:
DISUSUN
OLEH:
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat-Nya sehingga kami dapat
menyusun makalah yang berjudul “Perceraian”,dimana
makalah ini sebagai tanggungjawab kami untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Perdata.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang
telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini, baik secara langsung
maupun tidak langsung sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini membahas
tentang bagaimana penyelesaian perkara perceraian sesuai dengan peraturan yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Kami menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu
dengan senang hati kami akan menerima kritik dan saran yang membangun untuk
menyempurnakan makalah kami pada kesempatan berikutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, apabila ada salah kata kami mohon maaf.
Sekian terima kasih.
Surakarta, 29 Mei 2016
Penyusun,
KELOMPOK
ii
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL..................................................................................................................i
KATA
PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR
ISI.............................................................................................................................iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Penulisan
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perceraian
B.
Jenis Perceraian
C.
Syarat Pelaksanaan
Perceraian
D. Alasan Dilakukannya Perceraian
E. Akibat dari Dilakukannya Perceraian
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Kritik
dan Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Tujuan
perkawinan pada umumnya adalah untuk membina rumah tangga yang bahagia,
sejahtera dan kekal abadi. Bahkan setiap pasangan pun menginginkan untuk bisa
mencapai tujuan rumah tangga yang bahagia dan abadi tersebut. Akan tetapi,
proses kehidupan yang terjadi terkadang tak jarang tidak sesuai dengan apa yang
diimpikan. Hambatan serta rintangannya pun bermacam-macam dan datang dari
segala penjuru. Tak sedikit pasangan yang kemudian tidak dapat menyikapi dengan
bijaksana mengenai permasalahan-permalasahan yang timbul di dalam rumah tangga.
Kebanyakan dari mereka tak mau berpusing-pusing untuk mencari solusi pemecahan
masalah secara baik-baik, namun justru malah perceraianlah yang menjadi cara
utama dan sering digunakan untuk menyelesaikan masalah demikian. Dan apabila di
dalam suatu perkawinan itu, sepasang suami dan istri tidak kuat dalam
menghadapi berbagai masalah yang ada, maka biasanya jalan yang ditempuh adalah
perpisahan yang secara hukum dikenal dengan perceraian.
Tetapi, tidak selamanya masalah yang datang akan
mengakibatkan perceraian. Karena kematian pun secara otomatis akan melekatkan
status cerai kepada suami atau istri yang ditinggalkan. Selain itu, keputusan
hakim juga berpengaruh dalam penentuan status. Apabila hakim tidak menghendaki
atau tidak memutus cerai maka pernikahan tersebut tidak bisa dikatakan telah
bubar. Permasalahannya adalah setiap peceraian atau status cerai yang
diinginkan dapat tercapai apabila dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ada.
Seperti, syarat bagaimana suatu hubungan diperbolehkan untuk bercerai,
alasan-alasan yang diajukan memenuhi atau tidak, tata cara yang dilalui telah
sesuai atau tidak, hal ini sangat penting untuk diperhatikan. Karena, apabila
tidak memenuhi hal-hal tersebut, maka akan menimbulkan kerugian bahwasannya
hubungan pernikahan dianggap masih tetap berlangsung.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi perceraian?
2. Apa saja jenis-jenis dari
perceraian?
3. Apa saja syarat untuk dapat
dilakukannya suatu perceraian?
4. Alasan apa saja yang dapat digunakan
untuk melakukan perceraian?
5. Akibat apa yang ditimbulkan dari
dilakukannya suatu perceraian?
C. Tujuan Penulisan
1.
Sebagai tanggungjawab dalam memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Perdata
2.
Memberikan penjelasan mengenai definisi dari perceraian
3.
Memberikan penjelasan mengenai pembagian jenis dari
perceraian
4.
Memberikan penjelasan mengenai syarat dan alasan apa saja
untuk dapat melakukan suatu perceraian
5.
Memberikan penjelasan mengenai akibat yang ditimbulkan dari
suatu perceraian
6.
Menambah wawasan pembaca mengenai perceraian sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu UU Nomor 1 Tahun 1974
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Perceraian
Perceraian
ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu
pihak dalam perkawinan itu.[1]Perkawinan
sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia, sejahtera, kekal abadi
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang
Perkawinan dapat putus karena : kematian, perceraian, atas keputusan
pengadilan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan.Perceraian
biasa disebut “cerai talak” dan atas keputusan pengadilan disebut “cerai
gugat”. Cerai talak perceraian yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada
istrinya yang perkawinannya dilaksanakan menurut agama Islam.[2]Cerai
gugat adalah perceraian yang dilakukan oleh seorang istri yang melakukan
perkawinan menurut agama islam dan oleh seorang suami atau seorang istri yang
melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaan itu selain agama
Islam.[3]
Cerai talak dan cerai gugat hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan.[4]
Gugatan Provisional (pasal 77 dan 78 UU Nomor 7
Tahun 1989),
sebelum putusan akhir dijatuhkan hakim, dapat diajukan pula gugatan provisional
di Pengadilan Agama untuk masalah yang perlu kepastian segera, misalnya:
a. Memberikan ijin kepada istri untuk
tinggal terpisah dengan suami
b. Izin dapat diberikan untuk mencegah
bahaya yang mungkin timbul jika suami-istri yang bertikai tinggal serumah
c. Menentukan biaya hidup/nafkah bagi
istri dan anak-anak yang seharusnya diberikan oleh suami
d. Menentukan hal-hal lain yang
diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak
e. Menentukan hal-hal yang perlu bagi
terpeliharanya barang-barang yang menjadi harta bersama (gonok-gini) atau
barang-barang yang merupakan harta bawaan masing-masing pihak sebelum
perkawinan dahulu.
2. Jenis Perceraian
a. Cerai Gugat
Pengaturan masalah perceraian di Indonesia
secara umum terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan Pasal 38 UU No. 1 Tahun
1974, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas
keputusan pengadilan. Selain itu, Pasal
39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan. Cerai gugat atau gugatan
cerai yang dikenal dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 adalah
gugatan yang diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya ke pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 40 UU No. 1 Tahun 1974 jo.
Pasal 20 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975). Perceraian gugatan berlaku bagi mereka yang
melangsungkan perkawinannya yang beragama Islam dan bukan beragama Islam. Bagi
mereka yang beragama Islam, gugatan dapat diajukan oleh istri ke Pengadilan
Agama dan bagi mereka yang beragama non-Islam, gugatan dapat diajukan oleh
istri ke Pengadilan Negeri. Selain itu, bagi
pasangan suami istri yang beragama Islam, mengenai perceraian tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang
berlaku berdasarkan Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991. Oleh karena itu, berikut penjelasan perbedaan
cerai gugat dan cerai talak yang dimaksud dalam KHI satu persatu sebagai
berikut:
Dalam konteks hukum Islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat
berbeda dengan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 maupun PP No. 9 Tahun 1975. Jika dalam UU No.
1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat
diajukan oleh suami atau istri, mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan
yang diajukan oleh istri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi:
“Gugatan
perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerahhukumnya
mewilayahitempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman
tanpa izin suami.”
Gugatan
perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan
sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat [2] KHI).
b. Cerai Talak
Cerai karena talak dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 114 KHI yang berbunyi:
“Putusnya
perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian”
Yang dimaksud tentang talak itu
sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan
Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal
129 KHI yang berbunyi:
“Seorang suami yang akan menjatuhkan
talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan
serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
Jadi, talak
yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami
di Pengadilan Agama. Sedangkan,
mengenai cerai karena talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan Agama,
menurut Nasrulloh Nasution, S.H. dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah
menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia karena tidak dilakukan di
Pengadilan Agama. Menurut Nasrulloh, akibat dari talak yang dilakukan di luar
pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara
hukum. Selain itu, Pasal 115 KHI
mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
3.
Syarat
Perceraian
Syarat-syarat perceraian termaktub dalam pasal 39
Undang-undang perkawinan terdiri dari 3 ayat, yaitu:
a. Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b. Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak
akan hidup rukun sebagai suami istri.
c. Tata
cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan
tersendiri.
Putusan
perceraian harus didaftarkan pada Pegawai Pencatatan Sipil di tempat perkawinan
itu telah dilangsungkan. Mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri,
pendaftaran itu harus dilakukan pada Pegawai Pencatatn Sipil di Jakarta.
Pendaftaran harus dilakukan dalam waktu enam bulan setelah hari tanggal putusan
hakim. Jikalau pendaftaran dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang
dilalaikan, putusan perceraian kehilangan kekuatannya, yang berarti, menurut
undang-undang perkawinan masih tetap berlangsung.
4.
Alasan
Perceraian
Undang-Undang
tidak membolehkan perceraian dengan mufakat saja antara suami dan istri, tetapi
harus ada alasan yang sah. Alasan-alasan ini ada empat macam:
a. Zina
b. Ditinggalkan
dengan sengaja
c. Penghukuman
yang melebihi lima tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan
d. Penganiayaan
berat atau membahayakan jiwa (Pasal 209 BW)
Undang-Undang
perkawinan Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 menambah dua alasan, yaitu:
a. Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
b. Antara
suami istri terus-menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Lebih
lengkapnya, alasan-alasan ini tercakup lebih rinci dalam ayat 2 Undang-Undang
Perkawinan pasal 39 dan dalam PP No. 9 Tahun 1975 pada pasal 19:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak
lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman
atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e.
Salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami atau istri.
f.
Antara suami dan isteri
terus-menerusterjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukunlagi dalam rumah tangga.
5. Akibat Perceraian
Akibat dari
perceraian ada dua, yakni :
a. Akibat bagi
istri dan harta kekayaan.
Undang-undang Perkawinan mengatur dengan tuntas tentang
kedudukan harta benda di dalam perkawinan. Ketentuan yang terdapat di dalam
pasal 37 Undang-undang Perkawinan menegaskan bahwa bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.
Menurut pasal 35, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 harta
benda dalam perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda yang
diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang disebut harta
bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan
lain. Karena itu pasal 36 menetukan bahwa harta bersama suami atau isteri dapat
bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan
harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, suami dan isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
b. Akibat
terhadap anak yang masih dibawah umur.
Akibat terhadap anak yang masih di bawah
umur ada dua, yakni :
1) Perwalian
Masalah perwalian diatur dalam Pasal 220 dan Pasal 230.
Dengan bubarnya perkawinan maka hilanglah kekuasaan orang tua, terhadap
anak-anak dan kekuasaan ini diganti dengan suatu perwalian. Mengenai perwalian
ini ada ketentuan-ketentuan seperti berikut :
a)
Setelah oleh hakim dijatuhkan putusan di dalam hal
perceraian ia harus memanggil bekas suami istri dan semua keluarga sedarah dan
semenda dari anak-anak yang belum dewasa untuk didengar tentang pengangkatan
seorang wali. Hakim kemudian menetapkan untuk tiap anak siapa dari antara dua
orang tua itu yang harus menjadi wali. Hakim hanya dapat menetapkan salah satu
dari orang tua. Siapa yang ditetapkan itu terserah kepada hakim sendiri.
b)
Jika setelah perceraian mempunyai kekuatan mutlak, terjadi
sesutau hal yang penting, maka atas permintaan bekas suami atau istri,
penetapan pengangkatan wali dapat diubah oleh hakim.
2)
Keuntungan-keuntungan yang ditetapkan menurut undang-undang
atau menurut perjanjian perkawinan.
Hal-hal yang mengatur mengenai
keuntungan bagi anak-anak terdapat dalam pasal 231. Dengan perceraian hubungan
suami istri terputus, tetapi hubungan dengan anak-anak tidak. Maka, sudah
sepantasnya jika segala keuntunhan bagi anak-anak yang timbul berhubungan
dengan perkawinan orang tuanya tetap ada. Keuntungan hak waris atau dari
perjanjian kawin, umpamanya jika pada perjanjian kawin ditentukan sesuatu
keuntungan bagi si istri maka jika si istri ini meninggal maka anak-anak berhak
atas keuntungan yang dijanjikan kepada ibunya.
Akibat
lain yang dijelaskan adalah :
a.
Bapak dan ibu tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan member
keputusannya.
b.
Bapak yang bertanggungjawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana
bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul niaya tersebut .
c.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada
bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU No. I. 1974).
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perceraian ialah penghapusan
perkawainan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam
perkawinan itu. Syarat-syarat perceraian termaktub dalam pasal 39 Undang-undang
perkawinan terdiri dari 3 ayat yaitu:
a.
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
b. Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak
akan hidup rukun sebagai suami istri.
c.
Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan tersendiri.
Alasan-alasan peeraian tercakup
lebih rinci dalam ayat 2 Undang-undang Perkawinan pasal 39 dalam PP pada pasal
19.
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau
menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak
lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman
atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e.
Salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami atau istri.
f.
Antara suami dan isteri
terus-menerusterjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukunlagi dalam rumah tangga.
Akibat dari perceraian yaitu, akibat
bagi istri dan harta kekayaan, dan akibat terhadap anak yang masih dibawah
umur, serta masih ada akibat-akibat yang lainnya, yaitu :
a.
Bapak dan ibu tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan member
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggungjawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana
bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul niaya tersebut .
c.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada
bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU No. I. 1974).
B. SARAN
Demikian makalah yang penulis buat,
semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan dan pemahaman kita
mengenai putusnya perkawinan, khususnya perceraian. Penulis menyadari bahwa
dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi tulisan
maupun referensi yang menjadi bahan rujukan. Untuk itu penulis dengan senang
hati menerima kritik dan saran yang diberikan, guna penyempurnaan makalah
penulis berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Amin. Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas
Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung: Mizan, 2000).
Fadl, Khalid Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan,
terj. Helmi Mustofa, (Jakarta: Serambi, 2006)
Federspiel, Howard M. Labirin Ideologi Muslim: Pencarian
dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia 1923-1957, terj.
Ruslani Kurniawan Abdullah, Jakarta: Serambi, 2004.
Jaenuri, Achmad, Ideologi Kaum Reformis, Melacak
Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal, (Surabaya: LPAM, 2002).
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan,
1998).
Mughni, Syafiq A. Nilai-Nilai Islam: Perumusan Ajaran dan
Upaya Aktualisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
Mulkhan, Abdul Munir, Neo-Sufisme
dan Pudarnya Fundamentalisme di Pedesaan (Yogyakarta: UII Press, 2000).
Nashir, Haedar, “Memahami Manhaj Gerakan Muhammadiyah,”
dalam Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah (Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah, 2009).
________, “Paradigma Tajdid Muhammadiyah sebagai Gerakan
Modernis Reformis”, Makalah disajikan dalam Seminar Pra-Muktamar,“Satu Abad
Gerakan Tajdid Muhammadiyah Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan
Strategi Tajdid”, yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal
21 s.d 22 November 2009
Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan:
Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi,
2004).
Soemantri, Gumilar Rusliwa, “Tajdid
Muhammadiyah, Islam dan Kebangsaan”, Seminar
Pra-Muktamar Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah Menuju Peradaban Utama:
Paradigma, Model, dan Strategi Tajdid, yang diselenggarakan Universitas
Muhammadiyah Malang, tanggal 21 s.d 22 November 2009.
Kalau Mau Copas jangan LUPA KASIH SUMBERNYA ^_^
Dan jangan lupa LIKE + Comment ^_^
No comments:
Post a Comment