LEMBAGA PENYELENGGARA
PEMILU DI INDONESIA DALAM LINTASAN SEJARAH
Sejak merdeka Negara
Indonesia telah beberapa kali memiliki lembaga penyelenggara Pemilu yang
bertugas menyelenggarakan Pemilu dengan segala romantikanya. Bagaimana performance penyelenggara
Pemilu, tampaknya sangat terkait dengan produk hukum yang mendasari lahirnya
lembaga ini. Oleh karenanya, faktor hukum yang melandasi eksistensi lembaga
penyelenggara Pemilu niscaya dilihat secara bersama-sama dalam sejarah
peradaban penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
Indonesia pertama
kali membentuk lembaga yang bertugas menyelenggarakan Pemilu adalah pada tahun
1946. Pemilu yang pertama kali sedianya diadakan untuk mengisi keanggotaan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sebuah badan perwakilan rakyat yang
pertama kali dimiliki Indonesia sejak kemerdekaannya. KNIP semula dibentuk atas
dasar Maklumat X 16 Oktober 1945. Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan
mengisi lembaga itulah melalui maklumat tersebut pemerintah menyatakan
rencananya untuk menyelenggarakan Pemilu. Pada maklumat 3 Nopember 1945,
disebutkan bahwa pemilihan anggota-anggota badan perwakilan tersebut akan
dilangsungkan Januari 1946.
Ternyata rencana
tersebut tidak terlaksana. Juli 1946, dengan persetujuan Badan Pekerja (BP)
KNIP disahkan UU No. 12/1946 tentang Pembaharuan Susunan Komite Nasional
Indonesia Pusat. Dalam UU ini disebutkan bahwa badan penyelenggara pemilihan
dari pusat sampai daerah akan dibentuk. Badan ini akan bertugas
menyelenggarakan pemilihan untuk memilih 110 orang anggota KNIP. Di pusat
namanya Badan Pembaharuan Susunan Komite Nasional Pusat (disingkat BPS), di
daerah dinamakan Cabang BPS. BPS dibentuk oleh presiden, berkedudukan di
Yogyakarta, dengan tugas pokok melakukan pembaharuan keanggotaan KNIP. Anggota
BPS ada 10 orang (seorang merangkap ketua dan seorang lagi merangkap wakil
ketua) yang merupakan wakil dari partai politik dan wakil dari daerah. Mereka
diangkat presiden, dan presiden pula yang bisa memberhentikan. Mereka dilantik
oleh Wapres Mohammad Hatta pada 16 September 1946.
Untuk menjalankan
tugas tersebut, di tingkat pusat, pemerintah membentuk Kantor Pemilihan melalui
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1946. Tugasnya adalah melaksanakan
administrasi pemilihan, menyeleng-garakan rapat-rapat BPS, menyusun laporan
pelaksanaan pemilihan, mencetak barang-barang keperluan BPS, membuat
pengumuman-pengumuman, dan pengarsipan. Kantor Pemilihan dipimpin oleh seorang
Sekretaris, yang diangkat dan diberhentikan oleh Ketua BPS.
Untuk pelaksanaan
pemilihan di daerah, Cabang BPS didirikan di tiap karesidenan, tempat kedudukan
gubernur (untuk Kalimantan dan Maluku), dan di tempat lain yang ditentukan oleh
BPS (untuk Sunda Kecil dan Sulawesi). Waktu itu Cabang BPS yang dibentuk ada
33. Tugas Cabang BPS adalah memimpin dan mengawasi pemilihan (pendaftaran)
pemilih di wilayahnya dan menyelenggarakan pemilihan anggota KNIP. Jumlah
anggotanya bisa berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain, tetapi
strukturnya sama dengan BPS di pusat, yaitu seorang ketua, seorang wakil ketua,
dan beberapa anggota. Ketua dan wakil ketua juga merangkap anggota. Mereka
diangkat dan diberhentikan oleh presiden atau gubernur.
Untuk mendukung tugas
Cabang BPS, dibentuklah Cabang Kantor Pemilihan yang tugasnya mirip dengan
tugas Kantor Pemilihan di pusat, mengadministrasikan penyelenggaraan pemilihan
di daerah masing-masing. Di bawah Cabang BPS adalah Komisi, yang tugasnya
membantu Cabang BPS, khususnya dalam menetapkan pemilih di wilayah
masing-masing. Wilayah kerja Komisi adalah daerah kawedanaan (untuk di Jawa),
karesidenan (untuk Sumatera), atau propinsi (untuk Kalimantan, Maluku, Sulawesi,
dan Sunda Kecil). Anggotanya merupakan wakil-wakil dari perkumpulan politik,
ekonomi, sosial, dan laskar rakyat.
Pada 1948 BPS beserta
semua organ ikutannya, di pusat maupun di daerah, dibubarkan, melalui Penetapan
Presiden No. 28/1948. Pembubaran tersebut merupakan konsekuensi dari tidak
digunakannya lagi UU No. 12/1946 tentang Pembaharuan Susunan KNIP. Dengan
demikian, belum sempat menyelenggarakan Pemilu lembaga penyelenggara Pemilu ini
ternyata dibubarkan lebih dahulu.
Tahun 1948
diundangkan UU No. 27/1948 tentang Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat dan
Pemilihan Anggota-anggotanya. Dengan terbitnya UU ini, maka UU No. 12/1946
menjadi tidak berlaku. UU No 27/1948 menyebutkan bahwa anggota DPR dipilih
melalui Pemilu dari tingkat pusat sampai daerah. Untuk melaksanakan Pemilu itu
di pusat dibentuk Kantor Pemilihan Pusat (KPP), di tingkat propinsi dibentuk
Kantor Pemilihan, di kabupaten diadakan Cabang Kantor Pemilihan, dan di
kecamatan didirikan Kantor Pemungutan Suara. Semuanya untuk menyelenggarakan
Pemilu yang memilih anggota DPR. Sedangkan untuk memilih anggota DPRD diatur
tersendiri yang pelaksanaannya tidak bersamaan dengan pemilihan anggota DPR.
Waktu itu jumlah
anggota KPP ditetapkan sekurang-kurangnya 5 orang anggota dan 3 orang wakil
anggota. Dua di antara mereka menjadi ketua merangkap anggota. Semuanya
diangkat oleh presiden untuk masa kerja 5 tahun. Pada akhir tahun 1950, melalui
Penetapan Presiden No. 19 tanggal 9 Desember 1950 keanggotaan KPP diubah. Pada
susunan yang baru ini ketua tidak merangkap anggota. Tugas KPP adalah memimpin
pemilihan pemilih dan memilih anggota DPR. Untuk menopang tugas KPP dibantu
Sekretariat KPP yang personalianya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Kehakiman.
Di tingkat provinsi,
tugas yang dijalankan oleh KPP dibebankan kepada Kantor Pemilihan (KP) yang
berkedudukan di ibukota provinsi. Anggota KP diangkat dan diberhentikan oleh
presiden. KP inilah yang bertanggung jawab memimpin pemilihan pemilih dan
pemilihan anggota DPR di daerah kerjanya. Selain di provinsi, untuk -daerah
tertentu seperti DI Yogyakarta dan Karesidenan Surakarta, pemerintah menetapkan
di daerah-daerah tersebut juga dibentuk KP. Tiap KP beranggotakan
sekurang-kurangnya 5 orang dan 3 wakil anggota, dengan masa kerja 5 tahun.
Gubernur atau Residen secara ex officio adalah
Ketua KP.
Di bawahnya lagi
adalah kabupaten. Di tingkat ini dibentuk Cabang Kantor Pemilihan (Cabang KP).
Tugasnya, memimpin pemilihan pemilih dan pemilihan anggota DPR di daerahnya
atas perintah KP. Yang membentuk dan memberhentikan gubernur atau residen yang
secara ex officio merupakan Ketua KP. Dengan UU No. 12/1949 tentang Perubahan
UU No. 27/1948 tentang Susunan DPR dan Pemilihan Anggotanya, untuk Pemilu yang
pertama pembentukan Cabang KP tidak dilakukan.
Di bawah kabupaten,
yakni di kecamatan, dibentuk Kantor Pemungutan Suara (KPS), yang tugasnya juga
memimpin pemilihan pemilih dan pemilihan anggota DPR di kecamatan. KPS
bertempat di kedudukan camat. Sama seperti jenjang di atasnya, anggota KPS
sedikitnya 5 orang ditambah 3 wakil anggota, dengan masa kerja 5 tahun, yang
pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan gubernur atau residen.
Seperti yang dialami
badan penyelenggara Pemilu bentukan 1946, KPP dan organ-organ di bawahnya juga
dibubarkan sebelum sempat menjalankan tugasnya menyelenggarakan Pemilu.
Soalnya, setelah RIS kembali menjadi negara kesatuan RI dengan berlakunya UUD
Sementara 1950, sistem ketatanegaraan juga berubah, tak terkecuali tata cara
untuk memilih anggota lembaga wakil rakyat.
Badan-badan atau
lembaga negara yang diamanatkan oleh UUDS 1950 menghendaki prosedur rekrutmen
yang berbeda dengan yang dituntut UUD RIS 1949. Untuk itu pemerintah bersama
DPR, membuat undang-undang yang baru, yaitu UU No. 7/1953 tentang Pemilihan
Anggota Konstituante dan Anggota DPR. Kehadiran
Pasal 138 UU No.
7/1953 menyebutkan, kantor-kantor badan penyelenggara pemilihan yang dibentuk
berdasarkan UU No. 27/1948 masing-masing disesuaikan menjadi kantor badan
penyelenggara yang dibentuk menurut UU ini. Untuk melaksanakan ketentuan ini,
dibuatlah Instruksi Menteri Kehakiman No. JB 2/9/3 tanggal 7 Juli 1953, yang
berisi pertama, Kantor Pemilihan Pusat (KPP), Kantor Pemilihan (KP), dan Kantor
Pemungutan Suara (KPS) yang sudah ada secara berturut-turut akan diganti dengan
Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), Panitia Pemilihan (PP), dan Panitia
Pemungutan Suara (PPS).
Ada pengecualian
untuk KP DI Yogyakarta, Karesidenan Surakarta, dan Tapanuli/Sumatera Timur. KP
di ketiga wilayah tersebut tidak diganti. Catatan lainnya, dalam 1 Daerah
Pemungutan Suara tak diadakan lebih dari 1 PPS yang untuk pembentukannya
merupakan kewajiban Mendagri. Kedua, Sekretariat KPP menjadi Sekretariat PPI,
Sekretariat KP menjadi Sekretariat PP, dan Sekretariat KPS menjadi Sekretariat
PPS.
Melihat perubahan
tersebut tampak bahwa dari segi kelembagaan perubahan yang dilakukan sekilas
hanya merupakan pergantian nama. Tetapi secara substansial tidak demikian,
sebab, orang-orang yang mengisi lembaga-lembaga tersebut, yakni: ketua, wakil
ketua, para anggota, dan para wakil anggota KPP diberhentikan. Pemberhentian
itu dinyatakan di dalam Keppres No. 189/1953. Sebelumnya, pemberhentian itu
didahului dengan keluarnya Keppres No. 188 tanggal 7 Nopember 1953 yang isinya
menetapkan susunan keanggotaan PPI yang baru.
Anggota PPI
sekurang-kurangnya 5 orang dan sebanyak-banyaknya 9 orang, dua di antaranya
juga menjadi ketua dan wakil ketua. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh presiden
untuk masa kerja 4 tahun. Tapi pada 1955 jumlah tersebut ditambah, karena pada
UU Darurat No. 18/1955 ada ketentuan bahwa jumlah anggota PPI
sekurang-kurangnya 9 orang. Sejak itu jumlahnya ditambah 5 orang.
Selain penambahan,
pada tahun yang sama juga dilakukan penggantian atas beberapa anggota.
Perubahan keanggotaan tidak berhenti di sini. Masa kerja anggota PPI yang
dibentuk berdasarkan Keppres No. 188/1953 harus berakhir pada 7 Nopember 1957.
Selanjutnya, pada 24 Januari 1958 presiden mengeluarkan Keppres No. 4/1958 yang
isinya memberhentikan mereka, sekaligus mengeluarkan Keppres No. 5/1958 yang
menetapkan susunan keanggotaan PPI untuk periode 4 tahun berikutnya, yang
terhitung mulai tanggal 1 Februari 1958. Tetapi kenyataannya keanggotaan mereka
berakhir begitu presiden mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Sedangkan selama 7
Nopember 1957 sampai 24 Januari 1958, anggota PPI periode 1953-1957 bekerja
atas dasar Surat Menteri Kehakiman No. JB 2/8/12 tanggal 7 Nopember 1957 yang
menyatakan bahwa meskipun masa tugasnya seharusnya sudah berakhir, mereka
diminta tetap meneruskan pekerjaannya sampai ada keputusan lebih lanjut.
Untuk menjalankan
tugasnya, PPI didukung sebuah Sekretariat PPI yang dipimpin seorang sekretaris.
Sedangkan sekretaris dibantu seorang wakil sekretaris. Sekretaris dan wakilnya
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman. Adapun pegawai Sekretariat
PPI diambilkan dari Kementerian Kehakiman.
Di tingkat provinsi,
tugas persiapan dan penyelenggaraan Pemilu untuk anggota Konstituante dan DPR
adalah PP. Meskipun keberadaannya di provinsi, yang membentuk PP adalah
presiden. Pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Menteri Kehakiman
untuk masa kerja 4 tahun. Menurut UU Darurat No. 18/1955 PP beranggoatakan
sekurang-kurangnya 7 orang, dua di antaranya merangkap ketua dan wakil ketua.
PP dibantu Sekretariat PP yang dipimpin seorang sekretaris. Yang mengangkat dan
memberhentikan Sekretaris PP adalah Ketua PPI.
Di tingkat kabupaten,
PP Kabupaten (PP Kab) dibentuk oleh Mendagri. Tugasnya membantu PP. Anggota PP
Kab sekurang-kurangnya adalah 7 orang, dua di antaranya merangkap ketua dan
wakil ketua. Ketua PP Kab adalah bupati setempat. Mereka diangkat dan
diberhentikan oleh gubernur atas nama Mendagri. Masa kerjanya juga ditentukan
oleh Mendagri. Secara administratif dan organisatoris PP Kab termasuk di dalam
Kementerian Dalam Negeri. PPI hanya membawahi mereka dalam hal teknis
pelaksanaan Pemilu. Pada setiap PP Kab diadakan Sekretariat PP Kab yang
dipimpin seorang sekretaris. Yang berhak mengangkat dan memberhentikan PP Kab
adalah Ketua PP Kab.
UU No. 7/1953 membagi
struktur badan penyelenggara Pemilu menjadi dua, yaitu permanen dan
nonpermanen. Ditinjau dari masa kerjanya, PP Kab merupakan struktur yang tidak
permanen. Semua struktur dari PP Kab ke bawah bersifat nonpermanen. Yang
permanen hanyalah PPI dan PP. Untuk pelaksanaan di tingkat bawahnya, yaitu
kecamatan, bupati atas nama Mendagri membentuk PPS. Tugasnya, membantu PP Kab
dalam mempersiapkan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR dan
menyelenggarakan pemungutan suara. Jumlah anggotanya sekurang-kurangnya 5
orang, termasuk ketua yang dijabat oleh camat yang bersangkutan. Selain ketua
ada juga wakil ketua, yang juga merangkap anggota. Yang mengangkat dan
memberhentikan mereka adalah bupati atas nama Mendagri. Mendagri pula yang
menentukan masa kerja mereka. Secara administratif dan organisatoris PPS
merupakan bagian dari Kementerian Dalam Negeri. PPI hanya membawahi dalam hal
teknis pelaksanaan Pemilu. Untuk menjalankan pekerjaannya PPS dibantu sebuah
Sekretariat PPS. Sekretariat dipimpin seorang sekretaris yang diangkat dan
diberhentikan oleh Ketua PPS.
Di tingkat desa,
camat atas nama Mendagri membentuk Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP). Tugasnya,
melakukan pendaftaran pemilih, menyusun daftar pemilih, dan membantu PPS
mempersiapkan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR. Anggotanya
sekurang-kurangnya 3 orang dengan ketuanya adalah kepala desa. Ia merangkap
anggota. Selain ketua ada seorang wakil ketua yang juga merangkap anggota.
Wakil ketua dan para anggota diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama
Mendagri. Masa kerjanya juga tergantung Mendagri.
Tingkat yang paling
bawah di dalam struktur lembaga penyelenggara Pemilu 1955 adalah PPS
(Penyelenggara Pemungutan Suara). PPS dibentuk oleh camat di tiap tempat
pemungutan suara (TPS). PPS dipimpin seorang ketua (yang merangkap anggota).
Sedangkan anggota lainnya sedapat-dapatnya diambilkan dari bekas anggota PPP.
Yang mengangkat dan memberhentikan anggota PPS adalah camat. Camat pula yang
menentukan masa kerja mereka.
Pada tahun 1959 PPI
dan PP berhenti menjalankan tugasnya tetapi sesungguhnya belum dibubarkan,
hanya saja pemerintah tidak mengangkat anggotanya lagi. Ini merupakan
konsekuensi dari keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli tahun itu yang menyatakan
berlakunya kembali UUD 1945, UUDS 1950 dengan sendirinya tak berlaku lagi.
Meskipun PPI dan PP sudah tidak ada, Sekretariat PPI masih berjalan sampai
tahun 1969.
Sejarah mencatat
bahwa meski keanggotaan PPI diisi oleh orang-orang yang berasal dari berbagai
parpol yang bersaing dalam Pemilu, namun kerja mereka dalam menyelenggarakan
Pemilu dilakukan secara objektif, jujur, dan adil, serta pengambilan keputusan
ditempuh secara egaliter. Terhadap pelaksanaan Pemilu yang demikian itu, Moh.
Mahfud MD menulis: ”Pengambilan keputusan di semua tingkatan panitia dilakukan
secara demokratis, bukan instruktif yang memberi bobot lebih berat kepada
pimpinan”.[6]
Herbert Feith pun
menggambarkan bahwa Pemilu 1955 sebagai pemilu yang anggun. Sekalipun Feith
menceritakan adanya praktik intimidasi di berbagai pelosok, tetapi Pemilu 1955
relatif bersih dari praktik manipulasi dan represi. Maka hingga sekarang,
Pemilu 1955 diingat orang sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah
Indonesia merdeka. Namun, ”Sekalipun begitu, Pemilu 1955 tak steril dari
sejumlah persoalan. Pengawasan dan pemantauan pemilu belum dikenal. Maka,
kesimpulan Feith bahwa Pemilu 1955 relatif bebas kecurangan, sebetulnya sulit
diverifikasi, tak disokong oleh praktik pemantauan yang layak.”[7]
4. Lembaga Penyelenggara
Pemilu Era Orde Baru (Tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997)
Dari paparan di atas
bisa diketahui bahwa setelah Pemilu 1955 selesai praktis PPI dan PP serta
jaringan di bawahnya tidak ada kegiatan. Pemilu berikutnya, yang semula hendak
diadakan tahun 1969, ternyata baru bisa diadakan 1971. Persiapan ke arah itu
dilakukan dengan membuat UU. UU No. 15/1969 tentang Pemilihan Umum
Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat menyebutkan bahwa untuk
pemilihan tersebut presiden membentuk Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Presiden
melakukan itu lewat Keppres No. 3/1970.
Menurut UU tersebut –
dan perubahannya yaitu UU No. 4/1975, UU No. 2/1980, dan UU No. l/1985 – LPU
merupakan lembaga yang bersifat permanen, yang terdiri atas 3 unsur, yaitu
dewan pimpinan, dewan/anggota-anggota pertimbangan, dan sekretariat. Dewan
Pimpinan ini diisi oleh beberapa menteri dan sifatnya fungsional. Lembaga
penyelenggara Pemilu berikutnya di era Orde Baru pada dasarnya sama dengan LPU
pada Pemilu 1972, dalam arti bahwa susunan organisasi dan tata kerjanya tidak
berubah. Yang mengalami perubahan adalah orang-orangnya meski tidak semua.
Setiap menjelang
Pemilu, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres yang mengatur tentang LPU yang
intinya sama saja, yakni memuat 4 tugas yang dibebankan kepada LPU, yaitu (1)
membuat perencanaan dan persiapan Pemilu, (2) memimpin dan mengawasi
panitia-panitia di pusat dan daerah, (3) mengumpulkan dan mensistematisasi
bahan dan data hasil Pemilu, dan (4) mengerjakan hal-hal lain yang dipandang
perlu untuk melaksanakan Pemilu.
Pada LPU dibentuk
panitia-panitia dari pusat sampai daerah. Untuk tingkat pusat dibentuk Panitia
Pemilihan Indonesia (PPI), untuk provinsi atau Dati I dibentuk Panitia
Pemilihan Daerah (PPD) I, untuk Dati II atau kabupaten/kotamadya dibentuk PPD
II. Sedangkan di tingkat kecamatan dibentuk Panitia Pemungutan Suara (PPS),
untuk desa atau kelurahan diadakan Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP), dan untuk
tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara (KPPS). Untuk menjalankan Pemilu bagi WNI yang berada di luar negeri,
dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri yang berkedudukan di Deplu, di Kantor
Perwakilan RI di luar negeri didirikan PPS Luar Negeri, dan untuk tiap TPS di
luar negeri diadakan KPPS Luar Negeri. Sampai di sini banyak kemiripannya
dengan struktur badan penyelenggara Pemilu yang ada sebelumnya.
Ketua panitia untuk
semua tingkatan diduduki oleh para pejabat pemerintah, yakni Mendagri untuk
Ketua PPI, gubernur untuk Ketua PPD I, bupati/walikota madya untuk PPD II,
camat untuk PPS, dan kepala desa/lurah untuk PPP. Sementara itu untuk
keanggotaan LPU dan semua tingkat kepanitiaan diatur dengan Peraturan
Pemerintah yang dapat melibatkan parpol dan Golkar di dalamnya. Pada dasarnya
setiap LPU dapat mengambil keputusan terhadap semua masalah yang berkaitan
dengan Pemilu. Namun, andai dalam lembaga tersebut terjadi ketidaksinkronan
mengenai suatu persoalan, maka presiden menetapkan keputusan final (Pasal 8
ayat (8) UU No. 15/1969.[8]
Di samping itu, ada
Dewan/Anggota-anggota Pertimbangan yang diadakan untuk memberikan pertimbangan
atau masukan kepada Dewan Pimpinan, diminta ataupun atas prakarsa sendiri.
Mereka terdiri atas wakil dari organisasi golongan politik yang diakui dan
golkar, yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan presiden. Pada awal
Pemilu era Orde baru, penetapan anggota dewan ini dicantumkan dalam Keppres
07/1970.
Setelah aktivitas
pemungutan dan penghitungan suara selesai, semua organ yang dibentuk untuk
menunjang tugas LPU dibubarkan. Sedangkan LPU-nya sendiri dipertahankan.
Pembubarannya dilakukan secara bertahap menurut penyelesaian tugas
masing-masing. Pantarlih adalah yang paling awal pembubarannya melalui
Keputusan Bupati/Walikota/Ketua PPD II, yaitu selambat-lambatnya 30 hari
setelah daftar pemilih disahkan oleh camat/Ketua PPS.
Setelah Pantarlih,
segera menyusul dibubarkan adalah KPPS. Menurut ketentuannya, lembaga ini harus
dibubarkan selambat-lambatnya 20 hari setelah tanggal pemungutan suara.
Pembubarannya dilakukan dengan Keputusan Bupati/Walikota/Ketua PPD II. Yang
ketiga terawal pembubarannya adalah PPS melalui Keputusan Ketua PPD II. Lembaga
ini memang menurut ketentuannya harus dibubarkan paling lambat 3 bulan setelah
pelaksanaan pemungutan suara. Selanjutnya secara berturut-turut PPD II, PPD I,
dan PPLN dibubarkan.
Pada praktiknya,
banyak keluhan dari kalangan parpol terkait dengan keterlibatannya dalam LPU
yang hanya parsial yakni tidak bisa melaksanakan kontrol menyeluruh dalam
rantai perhitungan pada semua penyelenggaraan Pemilu Orde Baru. Misalnya Yusuf
Syakir, anggota PPI 1992 dari unsur Partai Persatuan, mengatakan, di LPU tidak
ada keputusan yang dirapatkan bersama. ”Yang ada hanya pelimpahan order,
dan fungsi OPP di situ hanya embel-embel”.[9]
Berdasarkan
penyelenggaraan Pemilu di Era Orde Baru tersebut dapat diketengahkan bahwa
memang benar bahwa ada organ penyelenggara Pemilu, namun:
“... penyelenggara pemilu adalah
pemerintah, terutama Departemen Dalam Negeri. Azas ketidakberpihakan
penye-lenggara pemilu tidak terpenuhi karena pemerintah adalah bagian
dari partai berkuasa dan menjadi salah satu peserta pemilu pula. ... Sehingga
syarat kompetitif yang adil dan bebas tidak terpenuhi. Partai berkuasa
memiliki kesempatan untuk bersaing lebih baik dari pada partai-partai oposisi.
Hasilnya pun bisa diduga. Partai berkuasa selalu menang dengan mayoritas
mutlak, rata-rata memperoleh 80 % suara”.[10]
Wajarlah pada
akhirnya, jika praktek penyelenggaraan pemilu-pemilu Orde Baru digambarkan oleh
seorang Indonesianis, William Liddle, dalam buku Pemilu-pemilu Orde Baru:
Pasang Surut Kekuasaan Politik (Jakarta, 1992) sebagai berikut:
"Pemilu-pemilu Orde Baru
bukanlah alat yang memadai untuk mengukur suara rakyat. Pemilu-pemilu itu
dilakukan melalui sebuah proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan
birokrasi. Tangan-tangan itu tidak hanya mengatur hampir seluruh proses pemilu,
namun juga berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi "partai milik
pemerintah". [11]
Pemilu tahun 1997
yang diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997 merupakan Pemilu terakhir di era
kekuasaan Orba yang diselenggarakan oleh LPU beserta perangkatnya. Sesuai
dengan sirkulasi kekuasaan lima tahunan, Pemilu harusnya dilaksanakan lima
tahun berikutnya, yakni pada tahun 2002. Namun, dengan tergulingnya penguasa
Orba tahun 1998 oleh kekuatan reformasi, maka rencana penyelenggaraan Pemilu
tahun 2002 tidak terlaksana. Yang kemudian terjadi adalah Indonesia memasuki
era reformasi dan Pemilu akhirnya dipercepat dari agenda semula yakni
dilaksanakan pada tahun 1999.
5. Lembaga Penyelenggara
Pemilu 1999
Pemilu pertama
setelah berakhirnya rezim Orba dilaksanakan setelah sekitar 13 bulan Presiden
BJ Habibie menggantikan Presiden Soeharto, yakni pada tanggal 7 Juni 1999.
Pemilu ini dilaksanakan berdasarkan UU No. 3/1999 tentang Pemilihan Umum.
Penyelenggaraan Pemilu – penanggungjawabnya adalah Presiden – di awal era
reformasi ini tidak lagi dilakukan oleh LPU dan PPI, namun oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang bebas dan mandiri, yang terdiri dari atas unsur
partai-partai politik peserta Pemilu dan Pemerintah, yang bertanggung jawab
kepada Presiden. KPU tersebut berkedudukan di Ibukota Negara, dan
pembentukannya diresmikan dengan Keputusan Presiden. Keanggotaan KPU terdiri
dari l orang wakil dari masing-masing parpol peserta Pemilu dan 5 orang wakil
Pemerintah.
Sebelum KPU dibentuk, persiapan
pelaksanaan Pemilu dilakukan oleh LPU (Pasal
79 UU No.3/1999) dan untuk itu Ketua
Umum LPU membentuk Tim-11 yang
bertugas membantu LPU terutama dalam verifikasi parpol peserta Pemilu. KPU pertama
(1999-2001) di era reformasi ini dibentuk dengan Keppres No 16/1999 yang
berisikan 53 orang – 48 wakil parpol dan 5 orang wakil pemerintah.
Dalam sejarah Pemilu
di Indonesia tercatat bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin
Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih
cepat setelah proses alih kekuasaan (kurang dari lima bulan). Jika Burhanuddin
Harahap berhasil menyelenggarakan Pemilu tahun 1955 hanya sebulan setelah
menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, maka BJ Habibie
menyelenggarakan Pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski
persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih
parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan
internasional.[12]
Salah satu tugas
kewenangan KPU adalah membentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) dan
mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di
Tempat Pemungutan Suara (TPS). PPI yang dibentuk oleh KPU berkedudukan di
Ibukota Negara dan berfungsi sebagai pelaksana KPU yang dalam menyelenggarakan
Pemilu berbeda dengan PPI Orde Baru. Keanggotaan PPI terdiri dari wakil-wakil
Parpol peserta Pemilu dan Pemerintah, dengan susunan seorang Ketua, Wakil-wakil
Ketua, Sekretaris, Wakil-wakil Sekretaris, dan Anggota-anggota. Susunan
organisasi PPI tersebut dipilih secara demokratis oleh anggota KPU dari anggota
KPU yang bukan unsur Pimpinan KPU. Susunan dan keanggotaan PPI ditetapkan
dengan keputusan KPU.
Salah satu tugas dan
wewenang PPI adalah embentuk serta mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan
Daerah Tingkat I (PPD I) di seluruh Indonesia. PD I yang dibentuk oleh PPI
tersebut berkedudukan di Ibukota Provinsi dan berfungsi sebagai pelaksana
PPI dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaan PPD l terdiri dari wakil-wakil
parpol peserta Pemilu dan Pemerintah, dengan susunan Ketua, Wakil-wakil Ketua,
Sekretaris, Wakil-wakil Sekretaris, dan Angota-anggota, yang dipilih secara
demokratis dari dan oleh anggota PPD I. Susunan dan keanggotaan PPD I
ditetapkan dengan keputusan PPI.
Salah satu tugas dan
kewenangan PPD I yaitu membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan Panitia
Pemilihan Daerah Tingkat II (PPD II) di setiap daerah pemilihan. PPD II yang
dibentuk oleh PPD l tersebut berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kotamadya dan
berfungsi sebagai pelaksana PPD I dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaannya
terdiri atas wakil-wakil parpol peserta Pemilu dan Pemerintah. Ketua,
Wakil-wakil Ketua, Sekretaris, dan Wakil-wakil Sekretaris PPD II dipilih secara
demokratis dari dan oleh Anggota PPD II. Susunan dan keanggotaan PPD II
ditetapkan dengan keputusan PPD I.
Sedangkan salah satu
tugas dan kewenangan PPD II adalah membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). PPK yang dibentuk oleh PPD II tersebut
berkedudukan di Kecamatan yang bersangkutan dan berfungsi sebagai pelaksana PPD
II dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaan PPK terdiri dari Wakil-wakil
Partai Politik Peserta Pemilu dan Pemerintah. Adapun di antara tugas dan
kewenangan PPK adalah membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan Panitia
Pemungutan Suara (PPS).
PPS yang dibentuk
oleh PPK adalah berkedudukan di Desa/Kelurahan/Unit Pemukiman
Transmigrasi (UPT) yang bersangkutan, dan berfungsi sebagai pelaksana PPK dalam
menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaan PPS terdiri dari Wakil-wakil Parpol
peserta Pemilu dan Pemerintah, dengan susunan Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris,
dan Anggota- anggota, yang dipilih secara demokratis dari dan oleh Anggota PPS.
Susunan dan keanggotaan PPS ditetapkan dengan keputusan PPK. Sedangkan salah
satu tugas dan kewenangan PPS adalah membentuk Kelompok Pelaksana Pemungutan
Suara (KPPS) sesuai dengan jumlah TPS.
Keanggotaan KPPS
terdiri atas wakil-wakil Parpol peserta Pemilu dan/atau wakil masyarakat.
Susunan keanggotaan KPPS adalah Seorang Ketua merangkap Anggota, Seorang Wakil
Ketua merangkap Anggota, dan Anggota-anggota yang dipilih dari dan oleh Anggota
KPPS. Susunan dan keanggotaan KPPS ditetapkan dengan keputusan PPS. KPPS
dilengkapi dengan dua orang anggota Pertahanan Sipil sebagai petugas keamanan
yang diusulkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan ditetapkan oleh KPPS.
Meskipun masa
persiapannya tergolong singkat, yakni kurang dari 5 bulan, namun pelaksanaan
pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yaitu tanggal
7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak
sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada
kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara
yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun
karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti
pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan
pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap
penghitungan suara, anggota KPU dari wakil 27 partai politik menolak
menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil.
Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada
presiden.
Oleh presiden hasil
rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas
Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan
wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan
rekomendasi bahwa Pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan
data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga
menyatakan bahwa hasil Pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat
tanggal 26 Juli 1999. Setelah disahkan oleh presiden, PPI langsung melakukan
pembagian kursi.
Atas kinerja KPU
tersebut, Zarkasih Nur memberi catatan:
“Dalam praktek penyelenggaraan
Pemilu 1999 lalu, ternyata keberfungsian KPU sangat rendah. Hal ini disebabkan
oleh kinerja para anggotanya yang kurang disiplin, kurang berdedikasi dan
cenderung mementingkan kelompok dan pribadinya masing-masing. ... Hal yang
mustahil terjadi bila para anggota KPU memiliki integritas dan kedewasaan
politik. Narnun demikian, hal ini dapat dimaklumi sebagai sebuah uji coba bagi
demokrasi di Indonesia”.[13]
Miriam Budiardjo juga
memberi catatan bahwa: “KPU telah berkembang menjadi ajang sengketa antara
partai-partai yang hanya memperjuangkan kepentingan partai atau pribadinya.
Citra para politisi telah mencapai titik nol, sehingga timbul opini masyarakat
bahwa dalam pemilu yang akan datang sebaiknya KPU terdiri dari anggota yang independen,
bebas dan partai”.[14]
Kontroversi tidak
hanya berhenti di situ. Sebuah situs internet menulis: ”Pasca-Pemilu banyak
anggota terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi, sehingga beberapa orang
masuk bui. Tidak tahan dengan situasi, Rudini mengundurkan diri sebagai Ketua
KPU dengan meninggalkan sejumlah konflik kepemimpinan”.[15]
Dengan demikian dapat
diketengahkan bahwa idealitas pembentukan KPU yang bebas dan mandiri seperti
yang digagas berdasarkan Pasal 8 UU No. 3/1999 menjadi tidak terimplemetasi
dengan baik. KPU menjadi terbelenggu oleh perselisihan dan kepentingan
masing-masing anggotanya yang berasal dari perwakilan parpol. Hal ini bisa jadi
dikarenakan mayortias anggota KPU adalah terdiri dari atas unsur partai-partai
politik peserta Pemilu dan Pemerintah yang barang tentu memiliki agenda
sendiri-sendiri, partisan, dan sarat perjuangan untuk kepentingan
kelompok/parpolnya.
Sesuai dengan
ketentuan Pasal 83 UU No. 3/1999, masa kerja KPU untuk Pemilu tahun 1999
berakhir l tahun sebelum Pemilu tahun 2004. Namun di tengah perjalanan, KPU ini
dibubarkan. Hal ini terkait dengan diterbitkannya UU No. 4/2000 tentang
Perubahan Atas UU No. 3/1999 tentang Pemilu, dan dilantiknya 11 orang anggota
KPU yang baru yang ditetapkan dengan Keppres No 10 Tahun 2001.
6. Lembaga Penyelenggara
Pemilu 2004
Satu tahun setelah
penyelenggaraan Pemilu tahun 1999, pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.
4/2000 tentang Perubahan Atas UU No. 3/1999 tentang Pemilu. Pokok isi dari UU
No. 4/2000 adalah adanya perubahan penting, yaitu bahwa penyelenggaraan Pemilu
tahun 2004 dilaksanakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen
dan nonpartisan. Dengan demikian, independen dan nonpartisan inilah label baru
yang disandang oleh KPU saat itu.
Berdasar pada UU No.
4/2000 tersebut, yang kemudian ditegaskan dalam UU No. 12/2003 tentang Pemilu
DPR, DPD dan DPRD, maka KPU baru ini terdiri atas para anggota yang dipilih
dari orang-orang yang independen dan nonpartisan. Syarat menjadi anggota KPU di
antara adalah “tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik; tidak sedang
menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam
jabatan negeri”. Dengan norma yang demikian, maka lembaga penyelenggara Pemilu
akan bebas dari tekanan kepentingan-kepentingan dan bersih dari intervensi
partai politik dan pemerintah
Berbeda dengan Pemilu
sebelumnya, Pemilu tahun 2004 memiliki dua agenda yakni: 1) Pemilu dalam rangka
memilih anggota legislatif (DPR, DPD dan DPRD), dan 2) Pemilu untuk memilih
presiden dan wakil presiden. Pemilu ini didasarkan pada UU No. 12/2003 tentang
Pemilu DPR, DPD dan DPRD dan UU No. 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden. UU ini menetapkan bahwa penanggung jawab penyelenggaraan dua agenada
Pemilu tersebut adalah KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Dalam melaksanakan
tugasnya, KPU menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan Pemilu kepada
Presiden dan DPR. Dengan demikian, KPU adalah lembaga yang mandiri yang secara
langsung menyelenggarakan Pemilu, dalam arti tidak lagi membentuk lembaga lain
(seperti PPI) yang berfungsi sebagai pelaksana KPU dalam penyelenggaraan Pemilu
seperti pada Pemilu tahun 1999.
UU No. 12/2003
metentukan bahwa jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Anggota KPU tersebut
diusulkan oleh presiden (yang dijaring dengan memperhatikan aspirasi
masyarakat) untuk mendapat persetujuan DPR untuk ditetapkan sebagai anggota
KPU. Meski anggota KPU untuk Pemilu Tahun 2004 dibentuk melalui UU No. 4/2000
tentang Perubahan UU No. 3/1999 tentang Pemilu, namun mereka diakui oleh UU No.
12/2003.
Struktur organisasi
penyelenggara Pemilu terdiri atas KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Masa keanggotaan seluruh KPU tersebut adalah 5 tahun sejak pengucapan
sumpah/janji. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah pelaksana Pemilu di
provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan bagian dari KPU. Dalam pelaksanaan
Pemilu di luar negeri, KPU membentuk PPLN dan selanjutnya PPLN membentuk
KPPSLN.
Anggota KPU Provinsi
sebanyak 5 orang (yang dijaring dengan memperhatikan aspirasi masyarakat) yang
diusulkan oleh gubernur untuk mendapat persetujuan KPU untuk ditetapkan sebagai
anggota KPU provinsi. Anggota KPU Kabupaten/Kota masing-masing adalah sebanyak
5 orang (yang dijaring dengan memperhatikan aspirasi masyarakat) yang diusulkan
oleh bupati/walikota untuk mendapat persetujuan KPU provinsi untuk ditetapkan
sebagai anggota KPU kabupaten/kota. Di antara tugas dan wewenang KPU
kabupaten/kota adalah membentuk Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia
Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)
dalam wilayah kerjanya.
PPK yang berkedudukan
di pusat pemerintahan kecamatan, PPS yang berkedudukan di desa/kelurahan, dan
KPPS di masing-masing tempat pemungutan suara (TPS) adalah bersifat ad.hoc.
Anggota PPK sebanyak 5 orang yang berasal dari tokoh masyarakat diangkat dan
diberhentikan oleh KPU atas usul camat. Anggota PPS sebanyak 3 orang berasal
dari tokoh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh PPK atas usul kepala
desa/lurah setempat. PPS kemudian membentuk KPPS yang anggotanya sebanyak 7
orang dengan tugas melakukan pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
Dengan terbitnya UU
No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka KPU provinsi dan KPU
kabupaten/kota berwenang menyeleng-garakan pemilihan kepala daerah secara
langsung (pilkada). Pasal 57 ayat (1) merumuskan: “Pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada
DPRD”. Penjelasan UU ini menyebutkan bahwa dalam menyelenggarakan pilkada
tersebut tidak perlu dibentuk KPUD yang baru. Jadi cukup diselenggarakan oleh
KPUD yang telah ada yang dibentuk melalui UU No. 12/2003.
Di tengah sempitnya
waktu, KPU mampu menyelenggarakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil
Presiden. Setelah Pemilu Legislatif pada tanggal 5 April 2004, KPU
menyelenggarakan Pemilu Presiden /Wakil Presiden dalam dua putaran. Pemilu
Presiden /Wakil Presiden putaran pertama berlangsung 5 Juli 2004. Sedangkan
Pemilu Presiden/Wakil Presiden putaran kedua berlangsung 20 September 2004. KPU
mampu menyelenggarakan 3 (tiga) kali Pemilu yang diikuti 150 juta pemilih
dengan pengadaan logistik yang sangat kompleks karena harus didistribusikan ke
seluruh wilayah Indonesia.
Masa jabatan anggota
KPU akan berakhir pada Maret 2006. Namun pengusulan keanggotaan KPU yang baru
belum dapat dilakukan mengingat DPR pada tahun itu sedang mempersiapkan RUU
Penyelenggara Pemilu yang komprehensif untuk mengganti ketentuan yang ada
terkait dengan penyelenggara Pemilu yang selama ini tercantum dalam berbagai
UU. Oleh karena itulah, masa jabatan KPU harus diperpanjang. Jika tidak, maka
akan terjadi kekosongan anggota KPU.
Kondisi inilah yang
memaksa pemerintah mengeluarkan Perppu No.1/2006 tentang Perubahan Kedua atas
UU No.12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Fraksi Partai
Golkar menilai unsur kegentingan yang diperlukan untuk mengesahkan Perppu
menjadi UU sudah tercapai karena terkait dengan kosongnya kursi angota KPU. FPG
juga berharap agar penetapan RUU ini dapat menciptakan KPU yang lebih baik dan
meningkatkan kinerja anggota KPU.[16]
Rapat paripurna DPR
menetapkan secara bulat RUU tentang Perppu No.1/2006 tentang Perubahan Kedua
atas UU No.12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD menjadi UU.
Perubahan kedua atas UU No. 12 Tahun 2003 tersebut meliputi pasal 144 yang kini
berbunyi: ”Anggota KPU yang diangkat berdasarkan UU No.4/2000 tentang Perubahan
UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilu dan yang telah disesuaikan dengan UU No. 12
Tahun 2003, tetap menyelesaikan tugas sampai dengan terbentuknya penyelenggara
pemilihan umum berdasarkan UU Tentang Penyelenggara Pemilu yang baru.”
Di akhir masa
jabatannya, di tengah keberhasilan KPU menyelenggarakan Pemilu, muncul ironi.
Situs internet “Wawasandigital” menulis sebagai berikut:
“Pemilu 2004 berjalan sukses.
Puja puji diberikan oleh banyak pihak karena KPU telah melaksanakan pemilu
legislatif dan pemilu presiden dengan sukses. Tetapi tak lama berselang
masyarakat dikejutkan oleh kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
menangkap basah anggota KPU, mantan aktivis dan seorang kriminolog terkenal
Mulyana W Kusuma yang tengah menyuap pemeriksa dari Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK).
Skandal korupsi terbongkar yang
melibatkan orang-orang KPU lainnya, bahkan ketuanya seorang doktor politik
alumnus Monash University Prof Dr Nazaruddin Syamsudin masuk penjara karena
terbukti menerima komisi. Hamid Awaluddin selamat karena terpilih sebagai
menteri, dan Anas Ubaningrum cepat loncat masuk jajaran elit Partai Demokrat.
Di akhir masa tugasnya anggota KPU tinggal 3 orang”.[17]
7. Penyelenggara Pemilu
2009
Tepat 3 (tiga) tahun
setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan
pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas Pemilu, yang salah satunya
adalah kualitas penyelenggara Pemilu. Lembaga penyelenggara Pemilu ketiga di
era reformasi ini dituntut independen, non-partisan, jujur, dan adil. Tuntutan
ini wajar mengingat sebagian anggota KPU yang menyelenggarakan Pemilu tahun
2004 terjerat hukum karena skandal korupsi.
Dengan diundangkannya
UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, maka lembaga penyelenggara Pemilu
memasuki era baru. Dalam UU ini diatur mengenai penyelenggara Pemilu yang tetap
dilaksanakan oleh suatu KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat
nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai
penyelenggara Pemilu mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas
secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat
mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilu bebas dari pengaruh pihak
manapun.
Era baru
penyelenggara Pemilu dalam UU No. 22/2007 meliputi pengaturan mengenai lembaga
penyelenggara Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD; Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang
sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kemudian
disatukan dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif. Dengan
demikian KPU tidak hanya menyelenggarakan Pemilu legislatif dan Pemilu
presiden/wakil presiden pada tahun 2009, namun sepanjang 5 tahun masa kerjanya
lembaga ini juga menyelenggarakan Pemilu kepala daerah.
Jumlah anggota KPU
adalah 7 orang dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya
30% yang berkedudukan di ibukota negara, KPU Provinsi (5 orang) berkedudukan di
ibukota provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota (5 orang) berkedudukan di ibukota
kabupaten/ kota dengan masa keanggotaan 5 tahun terhitung sejak pengucapan
sumpah/janji. KPU dalam menjalankan tugas di bidang keuangan bertanggung jawab
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan dalam hal penyelenggaraan
seluruh tahapan Pemilu dan tugas lainnya memberikan laporan kepada DPR dan
Presiden.
KPU Provinsi dalam
menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada KPU. Untuk itu KPU Provinsi
menyampaikan laporan kinerja dan penyelenggaraan Pemilu secara periodik kepada
KPU. Dalam hal Pemilu kepala daerah, KPU Provinsi menyampaikan laporan kegiatan
setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Provinsi kepada gubernur dan DPRD Provinsi.
Sedang KPU
Kabupaten/Kota, dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada KPU
Provinsi. Untuk itu KPU Kabupaten/Kota menyampaikan laporan kinerja dan
penyelenggaraan Pemilu secara periodik kepada KPU Provinsi. Dalam hal Pemilu
kepala daerah, KPU Kabupaten/Kota menyampaikan laporan kegiatan setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten/Kota
kepada bupati/walikota dan DPRD Kabupaten/Kota.
KPU, KPU Provinsi,
dan KPU kabupaten/kota merupakan lembaga penyelenggara Pemilu yang
permanen/tetap dan bersifat hierarkis. Dengan adanya sifat ini, maka UU
merumuskan bahwa KPU yang secara hierarkis lebih tinggi berwenang untuk
menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif kepada anggota
KPU maupun anggota KPU di bawahnya yang terbukti melakukan tindakan yang
mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaran Pemilu yang sedang
berlangsung berdasarkan rekomendasi lembaga pengawas Pemilu di masing-masing
tingkatan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Salah satu contoh
bagaimana kewenangan KPU memberhentikan anggota KPU yang secara hierarkis
berada di bawahnya ini terlihat dalam Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur
Provinsi Maluku Utara (Malut). Bermula dari pemberhentian sementara oleh KPU
terhadap Ketua dan anggota KPU Provinsi Malut, Rahmi Husein dan Nurbaya
Soleman, karena dianggap tidak menjalankan proses perhitungan suara Pilkada
Gubernur secara benar, Pilkada Malut menjadi kemelut yang berlarut-larut.
Antara anggota yang aktif yang difasilitasi KPU dan Ketua KPU Provinsi dan
anggota non-aktif masing-masing kemudian melaksanakan perhitungan suara yang
hasilnya berbeda. Kasus ini dibawa ke MA yang putusanya justru menjadikan
persoalan Pilkada Malut semakin berkepanjangan.[18]
Dalam proses
pelaksanaan pemilihan dan penetapan calon anggota KPU, Presiden membentuk Tim
Seleksi calon anggota KPU yang terdiri dari lima orang yang membantu Presiden
menetapkan calon anggota KPU. Tim Seleksi Calon Anggota KPU pada tanggal 9 Juli
2007 telah menerima 545 orang pendaftar yang berminat menjadi calon anggota
KPU. Dari 545 orang pendaftar, 270 orang lolos seleksi administratif untuk
mengikuti tes tertulis. Dari 270 orang calon yang lolos tes administratif, 45
orang bakal calon anggota KPU lolos tes tertulis dan rekam jejak yang diumumkan
tanggal 31 Juli 2007.
Anggota masyarakat
kemudian memberikan masukan dan tanggapan terhadap 45 orang bakal calon anggota
KPU secara tertulis disertai dengan identitas yang jelas kepada Tim Seleksi
Calon Anggota KPU. Ke 45 orang tersebut mengikuti seleksi tahap berikutnya dan
Tim Seleksi Calon Anggota KPU memilih 21 (dua puluh satu) nama bakal calon
anggota KPU dan menyampaikannya kepada Presiden RI, selanjutnya Presiden
menyampaikan 21 nama bakal calon anggota KPU kepada DPR-RI untuk mengikuti fit
and proper test. Akhirnya Komisi II DPR-RI memilih dan menyusun urutan
peringkat 21 (dua puluh satu) nama calon anggota KPU. DPR melalui voting memilih
7 (tujuh) peringkat teratas dalam urutan peringkat satu sampai urutan ke 7
(tujuh) sebagai anggota KPU terpilih.
Nama ke 7 peringkat
teratas anggota KPU terpilih disahkan dalam Rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal
9 Oktober 2007 dan ditetapkan oleh Presiden berdasarkan Keppres No 101/P/2007
sebagai anggota KPU. Namun hanya 6 orang yang dilantik dan diangkat sumpahnya
oleh Presiden pada tanggal 23 Oktober 2007. Sedangkan Prof. Dr. Ir. Syamsul
Bahri M.S. urung dilantik pada tanggal tersebut karena sedang terlibat
persoalan hukum proyek Pabrik Gula Mini di Kabupaten Malang. Setelah keputusan
Pengadilan Negeri Malang membebaskannya dari dakwaan korupsi,[19] ia kemudian ditetapkan sebagai
anggota KPU berdasarkan Keppres No. 13P/2008 dan dilantik Presiden pada tanggal
27 Maret 2008.
Masa keanggotaan KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota menurut UU No. 12/2003 akan berakhir tahun
2008. Namun dalam hal anggota KPU Provinsi/Kabupatenn/Kota yang berakhir masa
tugasnya pada saat berlangsungnya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah, maka pengisian keanggotaannya yang didasarkan UU tersebut
ditunda. Anggota KPU tersebut tetap menjalankan tugas sampai dengan pengisian
keanggotaan KPU berdasarkan UU No. 22/2007 yang pengisian keanggotaannya paling
lambat 4 (empat) bulan sejak pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah
terpilih.
KPU dalam menjalankan
tugas di bidang keuangan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan
perundangundangan, dan dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan Pemilu dan
tugas lainnya memberikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
Laporan – yang juga ditembuskan kepada Bawaslu – tersebut disampaikan secara
periodik dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. (Pasal 39).
KPU Provinsi dalam
menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada KPU. Secara periodik KPU Provinsi
menyampaikan laporan kinerja dan penyelenggaraan Pemilu kepada KPU. Dalam hal
Pemilu kepala daerah, KPU Provinsi menyampaikan laporan kegiatan setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilu Kada dan Wakada Provinsi kepada gubernur dan DPRD
Provinsi. KPU Kabupaten/Kota, dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab
kepada KPU Provinsi. Untuk itu KPU Kabupaten/Kota menyampaikan laporan kinerja
dan penyelenggaraan Pemilu secara periodik kepada KPU Provinsi. Untuk Pemilu
Kada , KPU Kabupaten/Kota menyampaikan laporan kegiatan setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilu Kabupaten/Kota kepada bupati/walikota dan DPRD
Kabupaten/Kota.
UU No. 22/2007 juga
mengatur tentang kedudukan panitia pemilihan yang bersifat ad.hoc yang
meliputi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS),
Kelompok Penyelenggaran Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Luar Negeri
(PPLN), serta Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN).
PPLN yang jumlah anggotanya minimal 3 orang dan maksimal 7 orang berasal dari
wakil masyarakat Indonesia dibentuk oleh KPU, dan setelah terbentuk kemudian
PPLN membentuk KPPLN untuk menyelenggarakan pemungutan suara di TPS luar
negeri.
PPK yang anggotanya
berjumlah 5 orang dengan memperhatikan 30% keterwakilan perempuan dan PPS yang
anggotanya berjumlah 3 orang (semuanya berasal dari tokoh masyarakat) dibentuk
oleh masing-masing KPU kabupaten/kota untuk menyelenggarakan Pemilu di tingkat
kecamatan dan di tingkat desa/kelurahan. Selanjutnya PPS membentuk KPPS, yang
anggotanya sebanyak 7 orang berasal dari anggota masyarakat di sekitar TPS,
dalam rangka melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara di TPS. PPK dan PPS
tersebut dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota paling lambat 6 bulan sebelum
penyelenggaraan Pemilu dan dibubarkan paling lambat 2 bulan setelah pemungutan
suara.
Berbeda dengan
ketentuan UU sebelumnya, UU No. 22/2007 menetapkan bahwa sekretariat KPU yang
berwenang dalam pengadaan logistik Pemilu, yakni pengadaan dan
pendistribusian perlengkapan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan norma,
standar, prosedur, dan kebutuhan yang ditetapkan oleh KPU. Hal ini dimaksudkan
agar tidak terulang kembali pengalaman anggota KPU masa lalu yang terperosok
dalam kubangan korupsi gara-gara terlibat urusan logistik Pemilu.
Kalau Mau Copas jangan LUPA KASIH SUMBERNYA ^_^
Dan jangan lupa LIKE + Comment ^_^
No comments:
Post a Comment