Thursday, August 30, 2018

MAKALAH HUKUM ACARA: TATA CARA MENGAJUKAN GUGATAN KE PENGADILAN AGAMA


MAKALAH HUKUM ACARA: TATA CARA MENGAJUKAN GUGATAN KE PENGADILAN AGAMA
Tata Cara Mengajukan Gugatan ke Pengadilan Agama
(Hukum Acara Peradilan Agama)

A.  Pengertian Gugatan
Gugatan dalam bahasa hukum islam disebut “ad-da’wa”. Kata “ad-da’wa” ini dipergunakan pula sebagai tuntutan pidana, yakni da’wa perdata atau da’wa pidana tergantung dengan konsep kalimat.[1]
Mardani mengartikan gugatan dengan; suatu surat yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung sengketa dan merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.[2]
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, gugatan itu adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigen richting).[3]
Kesimpulannya gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tatacara tertentu oleh Pengadilan, serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut.[4]

B.  Pengertian Permohonan
Permohonan adalah suatu permohonan dari seseorang atau beberapa orang Pemohon kepada Ketua Pengadilan yang berwenang untuk menetapkan suatu hal yang tidak mengandung sengketa.[5]
Prinsip dalam surat permohonan adalah tidak mempunyai lawan, lain dengan surat gugatan. Surat permohonan dalam pengertian asli, supaya dibuat sesuai dengan prinsipnya, yaitu tidak ada lawan, itulah yang pokok. Dengan demikian identitas pihak hanya  pihak pemohon saja, bagian positanya adalah tentang situasi hukum atau peristiwa hukum yang dijadikan dasar terhadap apa yang dimohon oleh pemohon dalam bagian petita.[6]

C.  Perbedaan antara gugatan dengan permohonan[7]
a)    Dalam perkara gugatan ada suatu sengketa, atau konflik yang harus diselesaikan dan harus diputus oleh pengadilan, sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa atau perselisihan, misalnya segenap ahli waris secara bersama-sama menghadap ke pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari warisan almarhum. Atau permohonan untuk mengganti nama dari leonardo de caprio menjadi muhammad salim atau perbaikan akta catatan sipil.
b)   Dalam suatu gugatan ada dua atau lebih pihak yaitu pihak penggugat dan tergugat yang merasa haknya atau hak mereka dilanggar sedangkan dalam permohonan hanya ada satu pihak yaitu pihak pemohon.
c)    Suatu gugatan dikenal sebagai pengadilan contentiosa atau pengadilan sungguh-sungguh, sedangkan suatu permohonan dikenal sebagai pengadilan voluntair atau pengadilan pura-pura.
d)   Hasil suatu gugatan adalah putusan (vonis) sedangkan hasil suatu permohonan adalah penetapan (beschikking)
Perbedaan ini sudah tidak relevan lagi jika dikatkan dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebab dalam UU tersebut dikenal adanya permohonan dan gugatan perceraian. Permohonan perceraian dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya, sedangkan gugatan perceraian dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya. Dalam hal permohonan perceraian yang dilakukan oleh suami pasti ada alasan-alasan perceraian sebagaimana disyaratkan oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No. Tahun 1975 di mana alasan-alasan tersebut bisa jadi merupakan suatu sengketa atau konflik, dan juga ada dua pihak yaitu pihak pemohon dan termohon.[8]

D.  Bentuk Gugatan dan Permohonan
1.    Gugatan tertulis
Gugatan tertulis diatur dalam pasal 118 HIR dan pasal 142 ayat (1) R.Bg. dalam kedua pasal ini ditentukan bahwa gugatan harus diajukan secara tertulis dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut. Surat gugatan yang ditulis itu harus ditandatangani oleh penggugat atau para penggugat. Jika perkara itu dilimpahkan kepada kuasa hukumnya, maka yang menandatangani surat itu adalah kuasa hukumnya sebagaimana disebutkan dalam pasal 123 ayat (1) HIR dan pasal 147 ayat (1) R.Bg.[9]
Surat gugatan dibuat haruslah bertanggal, menyebutkan dengan jelas nama penggugat dan tergugat, tempat tinggal mereka, dan kalau perlu disebutkan juga jabatan dan kedudukannya.
2.    Gugatan lisan
Pada dasarnya gugatan harus diajukan kepada Pengadilan secara tertulis sebagaimana yang tersebut dalam pasal 118 HIR dan pasal 142 ayat (1) R.Bg.Tetapi dalam asal 120 HIR dan pasal 144 ayat (1)R.Bg dikemukakan bahwa jika orang yang menggugat buta huruf, maka gugatan dapat diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan dan selanjutnya Ketua Pengadilan mencatat segala hal gugatan itu dalam bentuk tertulis. Jika Ketua Pengadilan karena sesuatu hal tidak dapat mencatat sendiri gugatan tersebut, maka ia dapat meminta seorang hakim untuk mencatat dan menformulasikan gugatan tersebut sehingga memudahkan Majelis Hakim untuk memeriksanya.
Dispensasi yang diberikan oleh aturan perundang-undangan kepada orang yang buta hurufuntuk menggugat secara lisan langsung kepada pengadilan mempunyai tujuan untuk melindungi dan membantu orang yang buta huruf itu dalam rangka menuntut hak-haknya, agar terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam membuat gugatan, yang dapat terjadi apabila dilakukan oleh orang lain.
Dalam praktek gugatan secara lisan ini jarang yang ditangani secara langsung oleh ketua pengadilan tetapi ketua pengadilan menugaskan seorang hakim untuk mencatat gugatan itu dan di formulasikan dalam bentuk tertulis. Gugatan secara lisan yang telah diformulasikan itu ditanda tangani oleh ketua pengadilan atau hakim yang memformulasikan gugatan itu, penggugat tidak perlu menandatangani atau membubuhkan cap jempolnya pada surat gugat tersebut dan juga tidak perlu diberi materai.[10]
Tata cara mengajukan gugatan secara lisan:
1.    Tuntutan disampaikan secara lisan pada ketua pengadilan yang berwenang.
2.    Ketua pengadilan atau hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan mencatat segala kejadian dan peristiwa sekitar tuntutan yang diminta oleh penggugat, kemudian diformulasikan dalam sebuah surat gugat yang mudah dipahami apabila para pihak membacanya.
3.    Gugatan yang telah diformulasikan dalam sebuah surat gugatan itu dibacakan kepada penggugat, apakah segala hal yang menjadi persengketaan dan tuntutan yang dikehendakinya telah sesuai dengan kehendak penggugat.
4.    Apabila sudah sesuai dengan kehendak penggugat, maka surat gugat yang telah diformulaikan itu di tanda tangani oleh ketua/ hakim yang di tunjuk oleh ketua untuk menyusun formulasi gugatan itu. Jika gugatan atau permohonan diajukan secara lisan, maka panitera atas nama Ketua Pengadilan Agama membuat catatan yang diterangkan oleh penggugat atau pemohon kepadanya, yang disebut dengan “catatan gugat atau catatan permohonan”.


E.  Isi Gugatan dan permohonan
Isi gugatan adalah sebagai berikut:
a.    Identitas para pihak dan kedudukannya dalam perkara.
Meliputi nama, tempat tinggal, dan pekerjaan. Dalam praktek sering juga dicantumkan agama, umur, status (kawin/belum kawin, janda/duda).[11]
b.    Posita (position)
Posita gugat adalah fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah pihak. Ia merupakan dalil-dalil kongkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan dari tuntutan. Posita terdiri dari dua bagian, yakni bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang hukum. Bagian ini menguraikan tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan.
c.    Petitum
Petitum atau disebut juga tuntutan yaitu apa yang diminta atau yang diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim. Petitum disebut juga dengan tuntutan hukum yang diminta penggugat untuk dijatuhkan pengadilan kepada tergugat. Yang kedudukannya sebagai syarat formil, sehingga gugatan tanpa petitum berarti surat gugatan mengandung cacat formil.
Dalam hukum acara perdata dikenal dua teori tentang cara menyusun gugatan kepada pengadilan, yaitu pertama, substantiering theory, yakni teori yang menyatakan bahwa gugatan selain harus menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dam menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut.
Bagi penggugat di dalam gugatannya ia tidak hanya menyebutkan  bahwa ia pemilik suatu benda, tetapi juga harus menyebutkan sejarah kepemilikannya. Misalnya kerena ia membeli,. Atau dari hasil warisan, hadiah dan sebagainya. Kedua, individualisering theory. Teori ini menyatakan bahwa dalam membuat surat gugatan cukup ditulis yang pokok-pokoknya saja, tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian tersebut. Sejarah terjadinya kepemilikan atas benda itu tidak perlu dimasukan dalam gugatan, karena hal itu dapat dikemukakan dalam persidangan dengan disertai bukti-bukti yang cukup.[12]
Dalam praktek tuntutan dan petitum terdiri atas dua bagian yaitu tuntutan primer dan tuntutan subside. [13]
a.    Tuntutan primer antara lain:
1.    Menghukum tergugat untuk menyerahkan tanah sengketa dalam keadaan baik dan kosong kepada penggugat.
2.    Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas tanah sengketa.
3.    Menyatakan putusan dapat dilaksanakan lebih dulu ( iutvoebaar bij voorraad), meskipun timbul perlawanan, banding atau kasasi.
4.    Menghukum tergugat untuk membayar uang paksa. Pembayaran uang paksa ini hanya mungkin terhadap perbuatan yang harus dilakukan ileh tergugat yang tidak terdiri dari pembayaran suatu jumlah uang, dan dikenakan setiap hari selama ia tidak memenuhi isi putusan sejak putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap.
5.    Menghukum tergugat membayar bunga, apabila tuntutan yang diminta oleh penggugat berupa pembayaran sejumlah uang tertentu, karena lambat memenuhi isi perjanjian dan diperhitungkan sejak diajukan gugatan ke pengadilan.
6.    Menghukum tergugat untuk memberikan uang nafkah setiap bulan.
7.    Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara.
b.    Tuntutan subside antara lain:
1.    Jika majelis hakim berpendapat lain , mohon memberikan putusan lain yang adil dan benar
2.    Agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar
3.    Mohon putusan yang seadil-adilnya


F.   Kelengkapan Gugatan dan Permohonan
Sekalipun surat gugatan atau pemohonan sudah dibuat tetapi untuk mendaftarkan di Pengadilan Agama tentunya harus dilengkapai dengan syarat-syarat lainnya. Syarat kelengkapan gugatan atau permohonan, ada syarat kelengkapan umum dana ada syarat kelengkapan khusus.
a.    Syarat kelengkapan umum
Syarat kelengkapan umum untuk dapat diterima didaftarkannya suatu perkara dipengadilan ialah sebagai berikut:
1.    Surat gugatan atau surat permohonan tertulis, atau dalam hal buta huruf, catatan gugat atau catatan permohonan.
2.    Surat keterangan kependudukan/tempat tinggal/domisili bagi penggugat atau pemohon
3.    Vorskot biaya perkara, kecuali bagi yang miskin dapat membawa surat keterangan miskin dari lurah/kepala desa yang disahkan sekurang-kurangnya oleh camat.
b.    Syarat kelengkapan khusus



Syarat kelengkapan khusus ini tidaklah sama untuk semua kasus perkara, melainkan tergantung kepada macam atau sifat dari perkara itu , contohnya sebagai berikut:
1.    Perkara perkawinan harus melampirkan kutipan akta Nikah, seperti perkara gugatan cerai, permohonan untuk menceraikan isteri dengan cerai talak dan sebagainya.
2.    Gugatan pewaris harus disertakan surat keterangan kematian pewaris.

G. Tempat Mengajukan Gugatan/Permohonan
UU Nomor 7 tahun 1989 Pasal 54 mengatakan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama selain daripada yang dimuat dalam UU tersebut, mempergunakan Hukum Acara Perdata Peradilan Umum. Pengaturan tempat mengajukan gugatan/permohonan yang dimuat dalam UU Nomor 7 tahun 1989 hanya terbatas bagi perkara perkawinan cerai talak dan cerai karena gugatan. Selain perkara tersebut berpegang pada aturan tempat mengajukan gugatan/permohonan yang dimuat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 dan PP Nomor 9 tahun 1975, sedangkan untuk perkara lainnya berpegang pada peradilan Umum.
Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara perkawinan sebagai berikut:
a.    Perkara cerai talak
1.    Seorang suami yang beragama islam yang yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan siding guna menyaksikanikrar talak.
2.    Permohonan tersebut diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediamanyang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
3.    Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
4.    Apabila suami isteri (pemohon dan termohon) bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi  tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada  Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
5.    Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
b.    Perkara cerai gugat
1.    Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnyameliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
2.    Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraiaan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
3.    Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
c.    Permohonan untuk beristri lebih dari seorang diajukan oleh pemohon (suami yang bersangkutan) ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman suami (pemohon).
d.   Izin kawin sebagai pengganti izin dari orang tua/wali/keluarga bagi calon mempelai (laki-laki) atau perempuan) yang belum berusia 21 tahun dan tidak telah pernah kawin sebelumnya, diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman calon mempelai tersebut.
e.    Bagi calon mempelai wanita yang mau kawin mendahului dari umur 16 tahun atau bagi calon mempelai pria yang mau kawin mendahului dari umur 19 tahun, maka untuk mendapatkan dispensiasi kawin, ia mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama yang ditunjuk oleh orang tua masing-masing.
f.     Pencegahan perkawinan terhadap rencana perkawinan karena tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan atau karena alasan hukum lainnya, diajukan permohonannya ke Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan.
g.    Calon mempelai yang ditolak untuk melangsungkan perkawinannya oleh Pegawai Pencatat Nikah karena menurut Pegawai Pencatat Nikah tidak boleh, diajukan oleh si calon ke Pengadilan Agama yang mewilayahi Pegawai Pencatat Nikah tersebut.
h.    Gugatan Pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi dimana perkawinan itu dahulunya dilangsungkan, atau ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman salah seorang dari suami isteri tersebut.
i.      Gugatan gabungan (kumulasi obyektif), misalnya gugatan cerai yang disertai dengan gugatan mengenai akibat dari perceraian tersebut, maka dilihatlah kepada pokok perkaranya. Dalam hal ini, pokok perkaranya adalah gugatan cerai, untuk mana berlakulah ketentuan seperti telah disebutkan pada butir (b) di muka.[14]
Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara selain perkara perkawinan sama dengan tempat mengajukan gugatan/permohonan menurut Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, yaitu sebagai berikut:
1.    Asas umumnya diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal tergugat.
2.    Kalau tempat tinggal tergugat tidak diketahui, diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat nyatanya tergugat terdiam.
3.    Jika tergugat lebih dari seorang, tidak tinggal dalam satu wilayah Pengadilan Agama, diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilyahi salah satu dari tempat tinggal tergugat menurut yang dipilih oleh penggugat.
4.    Jika tergugat-tergugat satu sama lain sebagai perutang pertama dan penanggung, diajukan ke Pengadilan Agama tempat tinggal si perutang pertama.
5.    Jika tergugat tidak dikenal atau tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat tinggalnya tidak dikenal, diajukan ke Pengadilan Agama tempat tinggal si penggugat atau salah satu dari penggugat.
6.    Jika gugatan mengenai benda tetap(onroeronde goederen) , diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat benda tetap itu.
7.    Kalau penggugat dan tergugat telah memilih tempat berperkara dengan akta secara tertulis, diajukan ke tempat Pengadilan Agama yang telah dipilih.[15]









DAFTAR PUSTAKA

Hasyim, Darmansyah, Hukum Acara peradilan Agama, (Lambung Mangkurat University Press 1993).
Makarao, Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Manan, Abdul, Penetapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Yayasan al- hikmah, 2000.
Noviardi, Hukum Acara Peradilan Agama, Bukittinggi: STAIN Prees, 2010.
Prinst, Darwan, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.
Sutanto, Retnowulan, Hukum Acara Perdata, Bandung: cv Mandar Maju, 2009.
Rasyid, Roihan. A, Hukum Acara peradilan Agama, (PT RajaGrafindo Persada 2007) ed: 3.


[1] Noviardi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi: STAIN Prees, 2010), hal 28
[2] Mardani, hukum acara perdata peradilan agama&mahkamah syariah, (jakarta: sinar grafika, 2010), hlm: 80
[3] Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal 4
[4] Darwan Prinst, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hal 2
[5] Ibid, hal 3
[6] Noviardi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi: STAIN Prees, 2010), hal 34
[7] Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata,(jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal, 16
[8] Ibid, hal, 17
[9] Noviardi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi: STAIN Prees, 2010), hal 34
[10] Darwan Prinst, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,2002), hal47
[11] Taufik Makarao,Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hal 30
[12] Noviardi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi: STAIN Prees, 2010), hal 32
[13] Loc Cit, hal 30-31
[14] Darmansyah hasyim, Hukum Acara Peradilan Agama, Banjarmasin:  lambung mangkurat University press), hlm: 18-20
[15] H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara peradilan Agama, (PT RajaGrafindo Persada), hlm: 54-55.


Kalau Mau Copas jangan LUPA KASIH SUMBERNYA ^_^
Dan jangan lupa LIKE + Comment ^_^

No comments:

Post a Comment