MAKALAH
SEJARAH HUKUM
TATA NEGARA DI INDONESIA
OLEH :
DEO PAKUSADEWO ( C100150091)
DOSEN PENGAMPU
:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang
Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang sejarah hukum
tata negara di indonesia.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah sejarah hukum tata negara di indonesia ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah sejarah hukum tata negara di indonesia ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
________________________________________________________________________________i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
.....................................................................................
i
DAFTAR ISI
...................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN...........................................................................................
1
RUMUSAN MASALAH.................................................................................2
BAB II
REFORMASI DAN PERKEMBANGAN HUKUM TATA
NEGARA........3
PERUBAHAN UUD 1945..............................................................................3
KEBERADAAN MAHKAMAH KONSTITUSI............................................4
SEJARAH KETATANEGARAN DI INDONESIA.......................................6
BAB III
PENUTUP
....................................................................................................
12
1.
KESIMPULAN.........................................................................................
12
________________________________________________________________________________ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada masa lalu, istilah “teori hukum tata negara” sangat jarang sekali
terdengar, apalagi dibahas dalam perkuliahan maupun forum-forum ilmiah. Hukum
Tata Negara yang dipelajari oleh mahasiswa adalah Hukum Tata Negara dalam arti
sempit, atau Hukum Tata Negara Positif. Hal ini dipengaruhi oleh watak rejim
orde baru yang berupaya mempertahankan tatanan ketatanegaraan pada saat itu
yang memang menguntungkan penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.
Pemikiran Hukum Tata Negara baik secara langsung maupun tidak langsung
menjadi terhegemoni bahwa tatanan ketatanegaraan berdasarkan Hukum Tata Negara
Positif pada saat itu adalah pelaksanaan dari Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen. Akibatnya, pembahasan sisi teoritis dari Hukum Tata Negara
menjadi ditinggalkan, bahkan dikekang karena dipandang sebagai pikiran yang
“anti kemapanan” dan dapat mengganggu stabilitas nasional.
Padahal dari sisi keilmuan, Hukum Tata Negara dalam bahasa Belanda dikenal
dengan istilah staatsrecht atau hukum negara (state law) yang
meliputi 2 pengertian, yaitu staatsrecht in ruimere zin (dalam
arti luas), dan staatsrecht in engere zin (dalam arti
sempit). Staatsrecht in engere zin atau Hukum Tata Negara
dalam arti sempit itulah yang biasanya disebut Hukum Tata Negara atauVerfassungsrecht yang
dapat dibedakan antara pengertian yang luas dan yang sempit. Hukum Tata Negara
dalam arti luas (in ruimere zin) mencakup Hukum Tata Negara (verfassungsrecht)
dalam arti sempit dan Hukum Administrasi Negara (verwaltungsrecht). Pada masa lalu, Prof.
Dr. Djokosoetono lebih menyukai penggunaan verfassungslehre daripada verfassungsrech. Istilah yang tepat untuk Hukum Tata Negara sebagai
ilmu (constitutional law) adalahVerfassungslehre atau teori
konstitusi. Verfassungslehre inilah
yang nantinya akan menjadi dasar untuk mempelajari verfassungsrecht.
Di sisi lain, istilah “Hukum Tata Negara” identik
dengan pengertian “Hukum Konstitusi” sebagai terjemahan dari Constitutional
Law (Inggris), Droit Constitutionnel (Perancis), Diritto
Constitutionale (Italia), atau Verfassungsrecht(Jerman).
Dari segi bahasa, Constitutional Law memang biasa
diterjemahkan menjadi “Hukum Konstitusi”. Namun, istilah “Hukum Tata Negara”
jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kata yang dipakai adalah Constitutional
Law. Oleh karena itu,
Hukum Tata Negara dapat dikatakan identik atau disebut sebagai istilah lain
belaka dari “Hukum Konstitusi”.
________________________________________________________________________________1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan sejarah ketata
negaraan di indonesia?
2. Menjelaskan perkembangan teori hukum tata negara?
________________________________________________________________________________2
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH HUKUM TATA NEGARA DI INDONESIA
PEMBAHASAN
SEJARAH HUKUM TATA NEGARA DI INDONESIA
A.
REFORMASI DAN PERKEMBANGAN TEORI HUKUM TATA NEGARA
Teori Hukum Tata Negara mulai mendapat perhatian dan berkembang pesat pada
saat bangsa Indonesia memasuki era reformasi. Salah satu arus utama dari
era reformasi adalah gelombang demokratisasi. Demokrasi telah memberikan ruang
terhadap tuntutan-tuntutan perubahan, baik tuntutan yang terkait dengan norma
penyelenggaraan negara, kelembagaan negara, maupun hubungan antara negara
dengan warga negara. Demokrasi pula yang memungkinkan adanya kebebasan dan
otonomi akademis untuk mengkaji berbagai teori yang melahirkan pilihan-pilihan
sistem dan struktur ketatanegaraan untuk mewadahi berbagai tuntutan tersebut.
Tuntutan perubahan sistem perwakilan diikuti dengan munculnya perdebatan
tentang sistem pemilihan umum (misalnya antara distrik atau proporsional,
antara stelsel daftar terbuka dengan tertutup) dan struktur parlemen (misalnya
masalah kamar-kamar parlemen dan keberadaan DPD). Tuntutan adanya hubungan
pusat dan daerah yang lebih berkeadilan diikuti dengan kajian-kajian teoritis
tentang bentuk negara hingga model-model penyelenggaraan otonomi daerah.
Tuntutan-tuntutan tersebut meliputi banyak aspek.
Kerangka aturan dan kelembagaan yang ada menurut Hukum Tata Negara positif saat
itu tidak lagi sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kehidupan masyarakat. Di
sisi lain, berbagai kajian teoritis telah muncul dan memberikan alternatif
kerangka aturan dan kelembagaan yang baru. Akibatnya, Hukum Tata Negara positif
mengalami “deskralisasi”. Hal-hal yang semula tidak dapat dipertanyakan pun
digugat. Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dipertanyakan. Demikian
pula halnya dengan kekuasaan Presiden yang dipandang terlalu besar karena
memegang kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan membentuk UU. Berbagai tuntutan
perubahan berujung pada tuntutan perubahan UUD 1945 yang telah lama
disakralkan.
B.
PERUBAHAN UUD 1945
Pembahasan tentang latar belakang perubahan UUD 1945 dan argumentasi
perubahannya telah banyak dibahas diberbagai literatur, seperti buku Prof. Dr.
Mahfud MD., Prof. Dr. Harun Alrasid
dan Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani.
Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir keseluruhan materi UUD
1945. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, jika naskah asli UUD 1945 berisi 71
butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD
1945 mencakup 199 butir ketentuan. ________________________________________________________________________________3
Bahkan hasil perubahan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah konstitusi
baru sama sekali dengan nama resmi “Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”.
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan dalam empat kali perubahan tersebut telah
mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam Hukum Tata Negara Indonesia.
Perubahan tersebut diantaranya meliputi (i) Perubahan norma-norma dasar dalam
kehidupan bernegara, seperti penegasan bahwa Negara Indonesia adalah negara
hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar; (ii) Perubahan kelembagaan negara dengan adanya
lembaga-lembaga baru dan hilangnya beberapa lembaga yang pernah ada; (iii)
Perubahan hubungan antar lembaga negara; dan (iv) Masalah Hak Asasi Manusia.
Perubahan-perubahan hasil constitutional reform tersebut belum
sepenuhnya dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan maupun praktek
ketatanegaraan sehingga berbagai kerangka teoritis masih sangat diperlukan
untuk mengembangkan dasar-dasar konstitusional tersebut.
C.
KEBERADAAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pembentukan MK merupakan penegasan prinsip negara hukum dan jaminan
terhadap hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945. Pembentukan
MK juga merupakan perwujudan dari konsep checks and balancesdalam
sistem ketatanegaraan. Selain itu, pembentukan MK dimaksudkan sebagai sarana
penyelesaian beberapa masalah ketatanegaraan yang sebelumnya tidak diatur
sehingga menimbulkan ketidakpastian.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, MK adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 yang meliputi memutus pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus
pembubaran partai politik, dan menyelesaikan perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Selain itu, Pasal 24C ayat (3) menyatakan bahwa MK wajib
memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden
dan atau Wakil Presiden. Selanjutnya keberadaan MK diatur berdasarkan UU Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan kewenangan yang dimiliki tersebut, maka MK berfungsi sebagai
penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) agar dilaksanakan
baik dalam bentuk undang-undang maupun dalam pelaksanaannya yang terkait dengan
kewenangan dan kewajiban MK. Sebagai penjaga konstitusi, MK sekaligus berperan
sebagai penafsir konstitusi (the interpreter of the constitution).
Fungsi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut dilaksanakan melalui
putusan-putusan MK sesuai dengan empat kewenangan dan satu kewajiban yang
dimiliki. Dalam putusan-putusan MK selalu mengandung pertimbangan hukum dan
argumentasi hukum bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan dan
harus dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang, maupun dalam bentuk lain
sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh MK.
________________________________________________________________________________4
Keberadaan MK sebagai penafsir dan penjaga konstitusi yang dilaksanakan
melalui keempat kewenangan dan satu kewajibannya tersebut menempatkan UUD 1945
di satu sisi sebagai hukum tertinggi yang harus dilaksanakan secara konsisten,
dan di sisi lain menjadikannya sebagai domain publik dan operasional.
Persidangan di Mahkamah Konstitusi yang bersifat terbuka dan menghadirkan
berbagai pihak untuk didengar keterangannya dengan sendirinya mendorong
masyarakat untuk terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui perkembangan
pemikiran bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan. Bahkan pihak-pihak
dalam persidangan juga dapat memberikan pemikirannya tentang penafsiran
tersebut meskipun pada akhirnya tergantung pada penilaian dan pendapat para
Hakim Konstitusi yang akan dituangkan dalam putusan-putusannya.
Dengan demikian, media
utama yang memuat pelaksanaan peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai
penjaga dan penafsir tunggal konstitusi (the guardian and the sole
interpreter of the constitution) adalah putusan-putusan yang dibuat
berdasarkan kewenangan dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat
(1) dan (2) UUD 1945. Dengan kata lain, penafsiran ketentuan konstitusi dan
perkembangannya dapat dipahami dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, tidak
saja yang amarnya mengabulkan permohonan, tetapi juga yang ditolak atau tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Karena itu, suatu putusan
tidak seharusnya hanya dilihat dari amar putusan, tetapi juga sangat penting
untuk memahami pertimbangan hukum (ratio decidendi) yang pada prinsipnya
memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan konstitusi terkait dengan
permohonan tertentu.
Putusan Mahkamah
Konstitusi dengan sendirinya merupakan dokumen yang memuat penjelasan dan
penafsiran ketentuan dalam konstitusi. Di sisi lain, putusan Mahkamah
Konstitusi yang mengabulkan permohonan, khususnya dalam pengujian
undang-undang, dengan sendirinya merubah suatu ketentuan norma hukum yang harus
dilaksanakan oleh segenap organ negara dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat.
Keberadaan Mahkamah
Konstitusi dengan fungsinya sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut
telah menggairahkan perkembangan teori Hukum Tata Negara. Jika pada masa lalu
masalah Hukum Tata Negara hanya berpusat pada aktivitas politik di lembaga
perwakilan dan kepresidenan, serta pokok bahasannya hanya masalah lembaga
negara, hubungan antar lembaga negara dan hak asasi manusia, maka saat ini
isu-isu konstitusi mulai merambah pada berbagai aspek kehidupan yang lebih luas
dan melibatkan banyak pihak, bahkan tidak saja ahli hukum.
________________________________________________________________________________5
Mengingat UUD 1945
tidak hanya merupakan konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi dan
sosial budaya, maka perdebatan teoritis konstitusional juga banyak terjadi di
bidang ekonomi dan sosial budaya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari beberapa
putusan MK terkait dengan bidang ekonomi seperti dalam pengujian UU
Ketenagalistrikan, UU SDA, dan UU Kepailitan. Di bidang sosial budaya misalnya
dapat dilihat dari putusan-putusan pengujian UU Sistem Jaminan Sosial Nasional
dan pengujian UU Sisdiknas.
Perkembangan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut telah
mendorong berkembangnya studi-studi teori Hukum Tata Negara. Beberapa teori
yang saat ini mulai berkembang dan dibutuhkan misalnya adalah teori-teori norma
hukum, teori-teori penafsiran, teori-teori kelembagaan negara, teori-teori
demokrasi, teori-teori politik ekonomi, dan teori-teori hak asasi manusia.
Teori-teori norma hukum diperlukan misalnya untuk membedakan antara norma
yang bersifat abstrak umum dengan norma yang bersifat konkret individual yang
menentukan bagaimana mekanisme pengujiannya. Pembahasan teori-teori norma hukum
juga diperlukan untuk menyusun hierarki peraturan perundang-undangan sehingga
pembangunan sistem hukum nasional dapat dilakukan sesuai dengan kerangka
konstitusional.
Teori-teori selanjutnya yang mulai mendapat perhatian dan tumbuh berkembang
adalah teori penafsiran. Dalam hukum sesungguhnya penafsiran menempati
kedudukan yang sentral karena aktivitas hukum “berkutat” dengan norma-norma
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan (imputation)
ke dalam suatu peristiwa nyata. Penafsiran menjadi semakin penting pada saat
suatu norma konstitusi harus dipahami untuk menentukan norma yang lain bertentangan
atau tidak dengan norma yang pertama. Kedua norma tersebut harus benar-benar
dipahami mulai dari latar belakang, maksud, hingga penafsiran ke depan pada
saat akan dilaksanakan. Untuk itu saat ini telah banyak berkembang studi hukum
dengan menggunakan alat bantu ilmu penafsiran bahasa (hermeunetik).
Demikian pula teori-teori lain yang juga berkembang cukup pesat.
D. SEJARAH
KETATANEGARAAN INDONESIA
Pembahasan tentang sejarah ketatanegaraan dapat di lakukan berdasarkan
beberapa cara antara lain : berdasarkan periode berlakunya UUD (konstitusi),
pergantian Orde, pergantian pemerintahan dan lain sebagainya.
Dalam tulisan ini sejarah ketatanegaraan Indonesia berdasarkan
pada periode berlakunya undang-undang yaitu : periode 1945 – 1949 (UUD1945),
tahun 1949 – 1950 (KRIS), tahun 1950 – 1959 (UUDS), tahun 1959 – sekarang.
________________________________________________________________________________6
A. SEJARAH KETATA NEGARAAN INDONESIA PERIODE 1945 – 1949.
1. Perancangan dan pengesahan UUD 1945.
Sehari setelah
kemerdekaan Indonesia, yaitu 18 agustus 1945 di tetapkanlah UUD Negara republic
Indonesia, yang lebih di kenal dengan nama UUD 1945. Persiapan penyusunan UUD
1945 telah di lakukan sejak bulan mei 1945 dengan di bentuknya badan
penyelidikan usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal
29 april 1945.
Setelah badan ini di
lantik oleh panglima tentara jepang (saiko sjikikan), kemudian pada tanggal 29
mei sampai 1 juli 1945 di adakan siding pertama untuk mendengarkan pandangan
umum dari anggota. Pada siding pertama ini pokok pembicaraannya adalah tentang
dasar Negara Indonesia.
Kemudian pada tanggal
31 mei 1945, melanjutkan pembicaraan tentang dasar Negara Indonesia,daerah
Negara dan kebangsaan Indonesia. Pada hari terakhir tanggal 1 juni 1945
ir.soekarno berpidato mengenai dasar Indonesiamerdeka yang terdiri dari :
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau peri kemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahtraan social
Pada akhir siding pertama bentuk panitia kecil yang beranggota 9 orang
yaitu : Ir.soekarno, Drs.Muh.Hatta, Abikusnu tjokrosujoso abdulkaharmuzakir,
H.A.Salin.Mr.Acahmad soebardjo, Wachid hasjin dan Muh.yamin untuk merumuskan
pandangan umum dan pendapat para anggota. Panitia ini pada tanggal 22 juni 1945
berhasil merumuskan piagam Jakarta.
2. Sifat UUD 1945
Oleh pembentukan UUD 1945 di masukan untuk bersifat sementara. Hal tersebut
dapat di lihat dari ketentuan pasal 3 ayat 2 aturan tambahan yang menyebutkan :
“ dalam 6 bulan sesudah MPR di bentuk, majelis itu bersidang untuk menetapkan
UUD”. Demikian pula ketentuan dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa salah satu
tugas MPR adalah menetapkan UUD.
3. kelembagaan Negara
dan sistem pemerintahan
Bila dilihat ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, maka tampak bahwa yang
memegang kekuasaan yang tertinggi dan sebagai pelaku kedaulatan rakyat adalah
MPR (pasal 1ayat 2). Sebagaian kekuasaan itu oleh MPR disalurkan kepada
lembaga-lembaga lain yang ada di bawahnya. Dengan demikian maka lembaga-lembaga
lain seperti DPR, Presiden, BPK, DPA dan MA berada di bawah majelis
(Untergeordnet).
________________________________________________________________________________7
Persetujuan
Linggarjati
Ditandatangani
25 maret 1947, yang isinya antara lain :
1. Belanda mengakui pemerintahan republic Indonesia berkuasa defacto
atas jawa, Madura dan Sumatra
2. Pemerintah akan bekerja sama untuk dala waktu singkat membentuk suatu
Negara federasi yang berdaulat dan demokratis bernama “
RepublikIndonesia serikat” RIS akan terdiri dari Negara republic
: Indonesia (jawa, Madura dan Sumatra), Kalimantan dan
Negara Indonesia timur.
3. Republik Indonesia serikat akan bergabung dengan belanda dalam
bentuk : UNI : dan sebagai kepala UNI adalah Ratu belanda.
4. Pembentukan RIS dan
UNI di usahakan terlaksana sebelum tanggal 1 januari 1949.
Persetujuan Renville
Isi
dari persetujuan Renville antara lain :
1. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai
kedaulatan diserahkan kepada republik Indonesia serikat, yang harus
segera di bentuk.
2. Sebelum RIS di bentuk, belanda dapat serahkan sebagin dari kekuasaannya
kepada pemerintahan federal sementara.
3. RIS sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat akan menjadi peserta yang sejajar
dengan kerajaan belanda dalam UNI Nederland/Indonesia dengan ratu belanda
sebagai kepala UNI.
4. Republik Indonesia akan
menjadi Negara bagian dari RIS.
Persetujuan inipun tidak dapat di laksanakan oleh belanda, dan pada tanggal
19 desember 1948 belanda melakukan “aksi militer II” dan berhasil menduduki ibu
kota republik Indonesia Yokyakarta serta menahan Presiden soekarno dan wakil
presiden Muh. Hatta serta beberap pejabat Negara lainnya.
Atas tindakan belanda menimbulkan reaksi divorum internasional, dan Karena
itu dewan keamanan PBB pada tanggal 28 januari 1949
Konferensi Meja Bundar
(KMB)
Konfrensi Meja Bundar di adakan pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2
Nopember 1949 di Den Haag, yang di ikuti oleh Belanda, Republik Indonesia
BFO (Byeenkomst voor Vederal Overleg) yang di awasi oleh UNCI (United
Nations Commisions for Indonesia). Delegasi RI dan BFO
membentuk Panitia Perancang Konstitusi RIS yang bertugas untuk merancang naskah
Konstitusi RIS.
________________________________________________________________________________8
B.
SEJARAH
KETATANEGARAAN INDONESIA PERIODE 1949 - 1950
Republik Indonesia serikat (RIS) berdiri tanggal 27
desember 1949, dan sesuai dengan perjanjian KMB maka Negara RI hanya merupakan
bagian dari RIS , demikian pula UUD 1945 hanya berlaku untuk Negara bagian RI,
dan wilayahnya sesuai dengan Pasal 2 KRIS adalah daerah yang disebut dalam
Persetujuan Renville 17 Januari 1948.
Kekuasaan Negara RIS dilakuakan oleh pemerintah berasama-sama
dengan DPR dan senat (Pasal 1 ayat 2 KRIS). Lembaga Perwakilan Rakyat menurut
KRIS menganut sisitem bicameral yang terdiri dari Majelis
Tinggi dan Majelis Rendah. Kekuasaan perundang-undangan federal menurut pasal
127 KRIS dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat.
Bentuk Negara federasi dan system parlementer yang di
anut KRIS tidak sesuai dengan jiwa proklamasi maupun kehendak sebagian besar
rakyat di beberapa daerah/Negara bagian, karena itu kemudian di adakan
persetujuan antara pemerintah RI dengan RIS, untuk merubah bentuk Negara
Federal menjadi bentuk Negara Kesatuan.
C.
SEJARAH
KETATANEGARAAN INDONESIA PERIODE 1950 – 1959
UU Federal No. 7 Tahun 1950 terdiri atas 2 pasal yaitu:
I. Berisi ketentuan perubahan KRIS menjadi UUDS dengan diikuti naskah UUDS
selengkapnya.
II. 1. Tentang UUDS berlaki Tanggal 17 Agustus 1950
2. Aturan Peralihan; bahwa alat-alat perlengkapan Negara sebelum
pengundangan undang-undang ini tetap berlaku.
UUDS sifatnya adalah sementara, hal ini dapat dilihat dari pasal 134 UUDS
yang menentukan bahwa; konstituante bersama-sama pemerintahsecepatnya
menetapkan UUD RI. Konstituante di beri tugas untuk menetapkan UUD
yang tetap namun tidak mampu dicapai karena tidak pernah mencapai quorum, 2/3
dari jumlah anggota seperti yang ditentukan. Dan akhirnya pada tanggal 5 juli
1959 presiden soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya: Pembubaran
Konstituante, UUD1945 berlaku kembali,dan pembentukan MPRS/DPRS dan DPAS dalam
waktu sesingkat-singkatnya.
D.
SEJARAH
KETATANEGARAAN INDONESIA PERIODE 1959 – Sekarang
Periode berlakunya UUD 1945 pada masa ini akan dibagi menjadi tiga bagian
yakni:
a. Masa antara 1959 - 1966
dengan berlakunya
kembali UUD 1945 maka asas ketatanegaraan dan system pemerintahan mengalami
perubahan, yaitu dari asas Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin. Inti
dari Demokrasi Terpimpin adalah permusyawaratan tetapi suatu permusyarawatan
yang “dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” bukan oleh perdebatan dan penyiksaan
yang di akhiri dengan pengadaan kekuatan dan peerhitungan suara pro kontra. ________________________________________________________________________________9
Dengan sistim presidensiil yang di
anut oleh UUD 1945, maka presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif
(pemerintah) tertinggi (concentration of power and responsibility upon
president), yang dalm pelaksanaan kekuasaan dibantu oleh wapres dan
mentri-mentri (Pasal 4 dan 17 UUD 1945)
Kemudian
meletuslah TRI TURA akibat dari stabilitas politik dan keamanan yang tidak baik
yang isinya:
1.
Pelaksanaan kembali secara murni dan
konsekwen UUD 1945
2.
Pembubaran PKI
3.
Penurunan harga barang
b. Masa antara 1966 – 1999
pada
masa ini presiden soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) tahun 1966 untuk menanggapi TRI TURA, yang memberi wewenang kepada
Jendral Soeharto, Panglima Komando Staf Angkatan Darat untuk mengendalikan
situasi. Yang mana dengan keluarnya Supersemar dan ketetapan lainnya mengangkat
Jendral Soeharto sebagai pejabat presiden berdasarkan TAP MPRS No>
XLIX/MPRS/1968
TAP MPRS
No> XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR GR mengenai Sumber Tertib Hukum Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, yang terdiri dari:
·
UUD 1945
·
Ketetapan MPRS/MPR
·
UU/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perpu)
·
Peraturan Pemerintah
·
Keputusan Presiden dan,
·
Peraturan Pelaksana Lainnya Seperti:
1.
Peraturan Mentri
2.
Instruksi Mentri
3.
dan lain-lainnya
Dalam Perkembangan sejarah ketatanegaraan pada masa Soeharto berkuasa
dikeluarkan pula keputusan DPR GR tanggal 16 Desember 1967 yang isinya:
a.
Adanya anggota MPR/DPR yang diangkat,
disamping yang dipilih melalui pemilu
b.
Yang diangkat adalah perwakilan ABRI dan
Non ABRI, untuk Non ABRI harus Non Massa
c.
Jumlah anggota yang di angkat untuk MPR
adalah 1/2dari seluruh jumlah anggota
Dikatakan pada pemerintahan Soeharto Asas Kedaulatan Rakyat sebagaimana di
tentukan dalam UUD 1945 tidak pernah dilaksanakan, yang dilaksanakan adalah
kedaulatan penguasa
________________________________________________________________________________10
c. Masa 1988 – sekarang
Pemerintahan Habibie disebut sebagai permerintahan Tradisional, yang menurut
mulyoto Mulyosudarmo terdapat dua pemahaman tentang pemerintah transisi.
Pertama, pemerintahan transisi digunakan untuk “merujuk pemerintahan sementara”
yang masa jabatannya di batasi sampai terbentuknya pemerintahan baru hasil
pemilu. Kedua, pemerintahan transisi merupakan pemerintahan otoriter dan
sentralistik menjadi pemerintahan yang desentralistik dan demokratis.
Pemerintahan KH. Abdurachman Wahid tuntutan reformasi berjalan lambat dan
gejolak disintegrasi bangsa berbagai daerah belum berhasil di atasi, terakhir
adalah terjadinya skandal Bulloggate dan Bruneigate, yang berakibat pada
tanggal 1 Februari Tahun 2001 DPR mengeluarkan memorandum I dan
di ikuti Memorandum II pada tanggal 30 April 2001.
Konflik
antara Presiden dan DPR berlanjut, dan Presiden pada akhirnya mengeluarkan
Maklumat yang berisi:
1.
Pembekuan MPR/DPR
2.
Mengembalikan kedaulatan rakyat dan
melaksanakn pemilu dalam waktu satu tahun
3.
Membekukan Partai Golkar
P_emilu 2004 menunjukan terjadinya perubahan dominasi dan pemerataan
kekuatan, misalnya PDIP dan Golkar hanya menguasai 20% dan 23% kursi. Hal
tersebut di akibatkan karena:
1.
Pertambahan kursi di DPR, dari 500 pada
pemilu Tahun 1999 menjadi 550 kursi tambahan di perebutkan
2.
Dikosongkannya kursi ABRI di DPR, hal
ini berarti ada 38 kursi yang diperebutkan dalam pemilu 2004
3.
Merosotnya perolehan suara PDIP dalam
pemilu 2004 dimana kehilangan44 kursi di DPR, hal ini berarti bahwa 132 kursi
yang akan di prebutkan.
________________________________________________________________________________11
BAB II
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Suatu system hokum
pada hakikatnya merupakan kesatuan ataupun himpunan dari berbagai cita-cita dan
cara-cara manusia berusaha untuk mengatasi masalahmaupun potensi yang timbul
dari pergaulan hidup sehari hari yang menyangkut kedamian. Dari makalah ini dapat
disimpulkan bahwa hokum tata Negara adalah hukum yang mengatur bentuk negara,
bentuk pemerintahan, menunjukkan masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum
bawahan menurut tingkatannya, selanjutnya menegaskan wilayah lingkungan
rakyatnya masing-masing masyarakat hukum, menunjukkan alat-alat perlengkapan
negara yang berkuasa dalam masing-masing masyarakat hukum itu dan susunan,
wewenang serta imbangan dan alat perlengkapan tersebut.
________________________________________________________________________________12
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
cet. Kelima, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1983), hal. 22
Djokosoetono, Hukum
Tata Negara, Himpunan oleh Harun Alrasid, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982).
Miriam
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1992), hal. 95
Bandingkan dengan
Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945, (Yogyakarta: FH-UII Press,
2004), hal. 5.
Moh. Mahfud MD., Dasar
Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2001), hal. 155 – 157.
UUD 1945 Terlalu
Summier? Kepala Biro Pendidikan FH UI Sarankan Perubahan, Harian Merdeka, 18
Maret 1972, dalam Harun Alrasid, Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali
Diubah Oleh MPR, Revisi Cetakan Pertama, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2003), hal. 44-55.
Tim Nasional Reformasi
Menuju Masyarakat Madani, Pokok-pokok Usulan Amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung.
Jimly
Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan
Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003, hal.
1.
Moh. Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim; Op. Cit, hlm. 96
Abdulah Zaini, Op.Cit,hlm.167
Abdulah Zaini, Op.Cit,hlm.
183
Bondan Gunawan S,
200, Indonesia Menggapai Demokrasi, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, hlm. 33
A. Ramlan
Surbakti, 1998, Reformasi Kekuasaan Presiden, Gramedia,
Jakrta, hlm. 84
Kalau Mau Copas jangan LUPA KASIH SUMBERNYA ^_^
Dan jangan lupa LIKE + Comment ^_^
No comments:
Post a Comment