Makalah Budaya Hukum Waris Adat Bali
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Negara Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat,
termasuk dalam hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam
bentuk waris, salah satunya adalah hukum waris adat. Hukum
waris merupakan salah satu dari hukum perdata secara keseluruhandan merupakan
bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya
dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan
mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang
selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang,
diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. Oleh karena itu,
pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat bertitik tolak dari bentuk
masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem
keturunan.
Hukum waris
adat adalah Hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan
asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasa dan pemiliknya dari pewaris
kepada waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah Hukum penerusan serta
mengoperkan harta kekayaan dari sesuatu genarasi kepada keturunannya.
Masyarakat Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang
berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang
berbeda-beda. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini nampak pengaruhnya dalam
sistem kewarisan Hukum adat.
Dengan adanya beragam bentuk
sistem kewarisan hukum adat, menimbulkan akibat yang berbeda pula, maka pada
intinya hukum waris harus disesuaikan dengan adat dan kebudayaan masing-masing
daerah dengan kelebihan dan kekurangan yang ada pada sistem kewarisan tersebut.
Salah satu
hukum waris adat yang bisa kita pelajari adalah hukum budaya adat Bali. Masyarakat
budaya adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan.
Menurut hukum adat bali yang berhak mewaris sebagai ahli waris adalah hanya
keturunan laki-laki dari keluarga laki-laki dan anak angkat laki-laki sedangkan
anak perempuan tidak berhak mewaris.
Berdasarkan latar
belakang diatas, penulis tertarik mengangkat sebuah makalah yang berjudul
“BUDAYA HUKUM WARIS ADAT BALI”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana Sistem
Pewarisan dalam Hukum
Waris Adat dan Kaitannya dengan Hukum Waris Adat Bali ?
2. Bagaimana
kedudukan para ahli waris dalam budaya waris adat bali?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem
Pewarisan dalam Hukum
Waris Adat dan Kaitannya dengan Hukum Waris Adat Bali
Hukum waris
adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan
asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan oleh pemiliknya dari pewaris kepada ahli
waris. Hukum ini sesungguhnya adalah hukum penerusan serta mengoperkan harta
kekayaan dari sesuatu genarasi kepada keturunannya. Di dalam Hukum
adat sendiri tidak mengenal cara-cara pembagian dengan penghitungan tetapi
didasarkan atas pertimbangan, mengingat wujud benda dan kebutuhan waris yang
bersangkutan.
Hukum
kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat
penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku
dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat
kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Setiap manusia pasti akan
mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal
dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini
merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu
tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang
yang meninggal dunia itu.[1]
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban
seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan
ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud
atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya.[2]
Hukum Waris adat di Indonesia tidak
lepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris
adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional
dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya dibedakan dalam dalam tiga
corak yaitu :
a. Sistem patrilineal,
yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan bapak dimana kedudukan pria
lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan anak wanita dalam pewarisan
(Gayo, Bali, Lampung).
b. Sistem Matrilineal,
yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan ibu dimana kedudukan wanita
lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan anak wanita dalam pewarisan
(Minangkabau, Enggano, Timor).
c. Sistem Parental, yaitu
sistem yang ditarik menurut garis kedua orangtua, ataumenurut garis dua sisi.
Bapak dan ibu dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam
pewarisan (Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan,Sulawesi).[3]
Selain itu, Menurut ketentuan Hukum Adat yang
berkembang di dalam masyarakat, secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem
(pembagianya) hukum waris adat terdiri dari tiga sistem, yaitu:
1. Sistem
Kolektif, Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalian harta
warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya
mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut.
Contohnya seperti Minangkabau, Ambon dan Minahasa.
2. Sistem Mayorat,
Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak
terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja,
misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso) atau
perempuan tertua (Semendo/ Sumatra Selatan), anak laki-laki termuda (Batak)
atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.
3. Sistem
Individual, berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan
atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya
sistem ini dijalankan di masyarakat di Jawa dan masyarakat tanah Batak.[4] Menurut hukum
adat Bali
yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal maka yang
menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak
sebagai ahli waris, sehingga dalam
hukum adat di Bali terdapat persyaratan-persyaratan sebagai ahli waris menurut
I Gde Pudja adalah :
1.
Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu misalnya anak pewaris sendiri.
2.
Anak itu harus laki-laki.
3.
Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah yang karena
hukum ia berhak menjadi ahli waris misalnya anak angkat.
4.
Bila tidak ada anak dan tidak ada anak angkat, hukum Hindu membuka kemungkinan
adanya penggantian melalui penggantian atas kelompok ahli waris dengan hak
keutamaan kepada kelompok dengan hak penggantian lainnya yang memenuhi syarat
menurut Hukum Hindu.[5]
Apabila suatu keluarga hanya mempunyai anak perempuan tanpa ada anak
laki-laki maka anak perempuan itu dapat diangkat statusnya sebagai anak
laki-laki (sentana rajeg) dengan cara perkawinan ambil laki, sehingga anak
perempuan tersebut dapat menjadi sebagai ahli waris dari harta warisan orang
tuanya.
Anak angkat berdasarkan hukum waris adat di Bali dilakukan bilamana suatu
keluarga tidak mempunyai keturunan, sehingga fungsi anak angkat itu sebagai
penerus generasi atau keturunan, agar mantap sebagai penerus keturunan dan
tidak ada keragu-raguan maka pengangkatan anak ini haruslah diadakan upacara
“pemerasan” dan diumumkan di hadapan masyarakat. Upacara penggangkatan anak ini dimaksudkan untuk melepaskan anak itu dari
ikatan atau hubungan dengan orang tua kandungnya dan sekaligus memasukkan anak
itu ke dalam keluarga yang mengangkatnya.
Dalam sistem hukum adat waris
patrilineal, pewaris adalah seorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan
sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan
maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku bersistem
patrilineal, yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang
tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki
yang merupakan ahli waris dari orang tuanya.
Sistem kekeluargaan patrilineal (purusa)[6]
yang dianut oleh orang Bali-Hindu menyebabkan hanya keturunan berstatus kapurusa[7]
dan swadharma[8] keluarga, baik dalam hubungan dengan parahyangan,[9] pawongan,[10] maupun palemaha[11].
Konsekuensinya, hanya keturunan yang berstatus kapurusa yang memiliki
swadikara terhadap harta warisan, sementara keturunan yang berstatus pradana[12],
tidak mungkin dapat meneruskan swadharma[13],
sehingga disamakan dengan ninggal kadaton.[14]
Di Bali, sistem (pembagianya) hukum
waris adat yang digunakan adalah, sistem Mayorat yaitu, harta warisan dialihkan
sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan
kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua. Dalam sistem kewarisan mayorat
Bali digambarkan bahwa yang mewarisi
adalah satu anak saja yaitu anak tertua laki-laki yang berarti hak pakai, hak mengelola dan memungut
hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus
dan memelihara adik-adiknya.
2.2 Kedudukan
Para Ahli Waris dalam Budaya Waris Adat Bali
Ahli
waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris di tanah Patrilineal
terdiri atas :
1. Anak Laki-Laki
Yaitu , semua anak
laki-laki yang sah yang berhak mewaris seluruh harta kekayaan, baik harta
pencaharian maupun harta pusaka.
2. Anak Angkat
Anak
angkat merupakan ahli waris yang kedudukannya sama dengan anak kandung.
3. Ayah dan ibu
yang serta saudara kandung si pewaris
Apabila anak laki-laki
maupun anak angkat tidak ada, maka yang menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu
serta saudara kandung si pewaris bersama-sama.
4. Keluarga terdekat
dalam derajat yang tidak tertentu jika semua ahli waris di atas tidak ada.
2.2.1
Kedudukan Anak Laki-Laki dalam Sitem Waris Adat Bali
Masyarakat Bali menganut sistem
kekerabatan Patrilineal dimana sistem kekerabatan yang ditarik melalui garis
keturunan ayah dan dalam hal pewarisan laki-laki lebih diutamakan. Menurut Ter
Haar, hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan peninggalan bapaknya dan dapat melanjutkan kedudukannya sebagai
kepala keluarga. Jika tidak ada anak laki-laki, maka dapatlah seorang anak
laki-laki diambil anak, baik oleh si bapak maupun oleh jandanya atas nama dia
jika si bapak meninggal. Sebagai
gantinya dapatlah si bapak mengangkat anaknya perempuan
menjadi sentana. Anak perempuan itu diberikan hak-hak dan kewajiban sebagaimana
seorang anak laki-laki tertua.
Disamping itu peranan anak laki-laki
sangat penting di Bali, karena seseorang yang telah berumah tangga akan terikat
oleh aturan-aturan adat yang berlaku dalam lingkungannya terutama
banjar,
sebagai anggota banjar sudah tentu mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan,
misalnya gotong royong atau ngayah, apabila ada kegiatan adat seperti upacara
ngaben, upacara
karya/odalan
di pura. Bagi orang tua yang tidak mempunyai anak laki-laki sangat perlu
mengangkat anak laki-laki untuk dapat melaksanakandarma (kewajiban) dari orang
tuanya terhadap adat yang berlaku pada lingkungan tempat tinggalnya.
2.2.2 Kedudukan
Anak Angkat dalam Sitem Waris Adat Bali
Pengangkatan
anak menurut hukum adat Bali dikenal dengan beberapa istilah seperti “memeras”
atau “memeras sentana”. Kata sentana berarti anak atau keturunan dan kata meras
berasal dari kata peras yaitu semacam banten atau sesajen untuk pengakuan atau
memasukkan si anak ke keluarga orang tua angkat.
Anak angkat
berdasarkan hukum waris adat di Bali dilakukan bilamana suatu keluarga tidak
mempunyai keturunan, sehingga fungsi anak angkat itu sebagai penerus generasi
atau keturunan, agar mantap sebagai penerus keturunan dan tidak ada
keragu-raguan maka pengangkatan anak ini haruslah diadakan upacara “pemerasan”
dan diumumkan di hadapan masyarakat.
Upacara penggangkatan anak ini
dimaksudkan untuk melepaskan anak itu dari ikatan atau hubungan dengan orang
tua kandungnya dan sekaligus memasukkan anak itu ke dalam keluarga yang
mengangkatnya. Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah
seorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik
harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di
dalam hukum adat perkawinan suku bersistem patrilineal, yang memakai marga itu
berlaku keturunan patrilineal maka orang tua merupakan pewaris bagi
anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris
dari orang tuanya.
Menurut Hukum Adat Bali proses pengangkatan anak sebagai
berikut:
1. Dimulai dari musyawarah keluarga
kecil (pasutri yang akan mengangkat anak). Kemudian diajukan dengan rembug
keluarga yang lebih luas meliputi saudara kandung yang lainya.setelah ada
kesepakatan matang, lalu mengadakan pendekatan dengan orang tua atau keluarga
yang anaknya yang mau diangkat.
2. Setelah semua jalan lancar
dilanjutkan dengan pengumuman(pasobyahan) dalam rapat desa atau banjar.
Tujuanya, untuk memastikan tidak ada anggota keluarga lainnya dan warga desa
atau banjar yang keberatan atas pengangkatan anak yang dimaksud. Oleh karena
itu, anak angkat harus diusahakan dari lingkungan keluarga yang terdekat, garis
purusa, yang merupakan pasidi karya. Ada tiga golongan pasidikarya yaitu
pasidikarya waris (mempunyai hubungan saling waris), pasidikarya sumbah (
pempunyai hubungan salaing menyembah leleuhur), dan pasidikarya idih pakidih (
mempunyai hubungan perkawinan).
3. Apabila tidak ada garis dari garis
purusa, maka dapat dicari dari keluarga menurut garis pradana (garis ibu). Apa
bila tidak ditemuakn pula maka dapat dihusahakan dari keluarga lain dalam satu
soroh dan terakhir sama sekali tidak ada pengangkatan anak dapat dilakukan
walaupun tidak ada hubungan keluarga (sekama-kama).
4. Anak yang diangkat wajib beragama
Hindu. Jika yang diangkat seseorng yang bukan umat Hindu, pengangkatan anak itu
akan ditolak warga desa karena tujuan pengangkatan anak antara laian untuk
meneruskan warisan baik dalam bentuk kewajiaban maupun hak, termasuk berbagai
kewajiaban desa adat, terutama dalam hubungan dengan tempat suci (pura).
5. Melakukan upacara pemerasan yang
disaksiakan keluarga dan perangkat pemimpin desa atau banjar adat. Pengangkatan
anak baru dipandang sah sesudah dilakauakan upacara pemerasan. Itulah sebabnya
anak angkat itu disebut pula dengan istilah sentana paperasan.
6.
Selain
melakukan upacara pemerasan proses berikutnya adalah pembuatan surat sentana.
Walaupun hal ini tidak merupakan syarat bagi sahnya pengangkatan anak, tetapi
hal ini penting dilakukan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi pengangkatan
anak. Menurut hukum positif pengangkatan anak dilakukan dengan penetapan hakim.
Dengan demikian sesudah upacara pemerasan, patut dilanjutkan dengan mengajukan
pemohonan penetapan pengangkatan anak kepada Pengadilan Negeri dalam daerah
hukum tempat pengangkatan anak itu dilaksanakan.[15]
Dalam
hukum adat tidak ada ketentuan yang tegas tentang siapa saja yang boleh
melakukan pengangkatan anak dan batas usia bagi orang tua angkat, kecuali
minimal 15 tahun. Sedangkan dalam hukum adat Bali tidak ada ketentuan adat yang
menentukan batas usia bagi orang tua yang mengangkat anak. Tetapi biasanya
suami istri yang tidak mempunyai anak laki-laki.[16]
Pengangkatan anak pada Suku Bali
yang bersifat kekeluargaan kebapaan (patrilineal) memasukkan anak itu ke dalam
keluarga orang tua angkatnya dan berkedudukan sebagai anak kandung. Soeripto, menjelaskan
bahwa setiap keluarga Hindu Bali mempunyai harta / kekayaan keluarga yang
berupa harta benda yang mempunyai nilainilai magis religius yaitu yang ada
hubungannya dengan keagamaan / upacara-upacara keagamaan dan harta kekayaan
yang tidak mempunyai nilai-nilai magis religius. Selanjutnya disebutkan harta
yang tidak mempunyai nilai magis religius antara lain :
- harta akas kaya
- Harta jiwa dana
- Harta tetatadan
- Harta druwe gabro[17]
Adapun pengertian dari harta akas kaya adalah harta yang diperoleh oleh
masing-masing dari suami-isteri atas cucuran keringat sendiri sebelum masuk
jenjang perkawinan. Pengertian dari harta jiwa dana adalah pemberian secara
iklas oleh orang tua kepada anak-anaknya baik laki-laki maupun wanita selama
masih kumpul dengan pewaris sebelum masuk perkawinan. Pemberian dari tetatadan
adalah pemberian kepada anak-anak wanita pada waktu perkawinannya (kawin
keluar) dilangsungkan, sedangkan barang druwe gabro adalah harta yang diperoleh
suami isteri dengan cucuran keringat bersama. Dari penjelasan ini dapat penulis
simpulkan bahwa kesemuannya itu adalah harta benda / kekayaan yang diperoleh
sebelum masuk jenjang perkawinan, sedangkan harta druwe gabro adalah harta yang
diperoleh dalam suatu perkawinan (suami isteri).
Dengan adanya macam-macam barang dari keluarga sebagaimana tersebut di atas
hak-hak anak angkat terhadap harta keluarga orang tua angkatnya, adalah sebagai
ahli waris orang tuan angkatnya. Dari kalangan para sarjana hukum adat waris
yang berlaku pada suku Bali anak angkat adalah ahli waris harta benda keluarga
seperti harta akas kaya, harta jiwa harta tetatadan, dan harta Druwe gabro dari
orang tua angkatnya.[18] Bahwa
kedudukan anak angkat di dalam pewarisan menurut hukum adat Bali adalah sebagai
ahli waris orang tua angkatnya. Keadaan ini tidak berubah apabila setelah
diadakan pengangkatan anak dilahirkan anak kandung. Setelah mengangkat anak
mereka mempunyai anak kandung, maka anak angkat tetap sebagai ahli waris orang
tua angkatnya. Apabila kalau si anak kandung yang dilahirkan perempuan dan
melakukan perkawinan jujur / keluar, maka si anak angkat akan menjadi ahli
waris tunggal.
Kedudukan
anak angkat dalam keluarga menurut Hilman Hadikusuma dalam bukunya Hukum
Kekerabatan Adat dinyatakan bahwa:[19] “Selain pengurusan dan perwalian
anak dimaksud bagi keluarga-keluarga yang mempunyai anak, apalagi tidak mempunyai
anak dapat melakukan adopsi, yaitu pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan
dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak, pengangkatan anak dimaksud
tidak memutuskan hubungn darah antara anak dan orang tua kandungnya berdasarkan
hukum berlaku bagi anak yang bersangkutan”.
Pengangkatan
anak atau pemerasan anak oleh orang tua angkatnya, telah memutuskan hak dan
kewajiban si anak terhadap orang tua kandungnya, karena hak dan kewajiban telah
beralih kepada orang tua angkat sepenuhnya, termasuk mengurus diri pribadi
pengangkat beserta harta kekayaan yang dimilikinya. Terhadap harta kekayaan
yang bersifat pribadi yang dimiliki oleh orang tua kandung, si anak tidaklah
berhak lagi untuk menikmatinya, karena ia telah melepaskan diri dari tanggung
jawab terhdap orang tua kandungnya. Dengan pengangkatan anak orang lain
tersebut oleh orang tua angkatnya hubungan orang tua angkat dengan anak angkat seperti
terjadi di Bali yaitu hubungan sejati orang tua kandung dengan anak kandungnya.
Si anak menjadi ahli waris orang tua angkatnya dan hubungan kewarisan dengan
orang tua kandungnya menjadi putus.[20] Jadi kedudukan anak
angkat itu menurut kekeluargaan di Bali adalah sama dengan kedudukan anak
kandung. Anak angkat tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anak
dari orang tua.
2.2.3 Kedudukan Anak Perempuan dalam Sitem
Waris Adat Bali
Berkenaan dengan pembagian warisan
pada adat Bali, Tidak ada satu kesatuan aturan tentang pembagian warisan,
menurut hukum adat Bali. Secara umum, warisan semua dikuasai anak laki-laki
pertama atau terakhir, kemudian dimiliki dengan bukti sertifikat hak milik,
terus dipindah-tangankan sesuka hatinya. Ada juga keluarga yang membagi habis
warisan di antara saudara-saudaranya atau tetap mempertahankannya sebagai milik
bersama (duwe tengah). Umumnya anak perempuan dianggap tidak berhak atas
warisan, entah dia ninggal kedaton atau tidak.
Walaupun anak perempuan bukanlah ahli waris,akan tetapi ia berhak atas
bagian dari harta warisan selama tidak putus hak nya.Kehilangan hak menikmati
dari harta warisan itu terjadi apabila anak peremuan kawin keluar.Jadi,jika kemudian
anak perempuan kawin keluar,bagiann yang dinikmati itu harus diserahkan kembali
kepada keluarganya dan harta warisan ini tidak boleh dibawa serta ke perkawinan.
Anak perempuan bukan ahli waris, tetapi mendapat bagian dari warisan ketika
diadakan pembagian.Tetapi perempuan juga dapat menjadi ahli waris yang disebut
sebagai sentana rajeg, dimana wanita tersebut didudukkan sebagai lakilaki
melalui upacara nyentana. Nyentana atau nyeburin adalah istilah dalam perkawinan adat
di Bali dimana mempelai laki-laki tinggal di rumah asal mempelai perempuan dan
statusnya sebagai status mempelai perempuan dirumah istrinya.
2.2.4 Kedudukan Janda dalam Sitem Waris Adat
Bali
Secara umum menurut ketentuan hukum waris adat bahwa untuk menentukan siapa
yang menjadi ahli waris digunakan dua garis pokok keutamaan dan garis pokok
penggantian. Garis pokok keutamaan merupakan suatu garis hukum yang menentukan
urutan keutamaan di antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris, dengan
pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan yaitu yang pertama adalah
keturunan pewaris (anak-anak pewaris), yang kedua orang tua pewaris, yang
ketiga saudara pewaris beserta keturunannya dan yang ke empat kakek nenek
pewaris. Adapun garis pokok penggantian merupakan garis hukum yang
bertujuan untuk menentukan siapakah di antara orang di dalam kelompok keutamaan
tertentu, tampil sebagai ahli waris yang sungguh-sungguh menjadi ahli waris,
adalah :
1. Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris ;
2. Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris
.
Korelasi dengan sistem garis keturunan adalah positif, oleh karena dalam
hal ini garis pokok keutamaan mapun garis pokok penggantian menjadi variabel
tidak bebas (independen variabel).
Dengan mencermati dari urutan keutamaan di antara golongan-golongan
keluarga pewaris maupun dari garis pokok penggantian, maka dapat dikatakan
bahwa kedudukan janda tersebut tidak termasuk dalam dua jenis garis pokok
keutamaan dan garis pokok penggantian. Dengan demikian janda (isteri pewaris )
tidak termasuk kelompok ahli waris sehingga tidak mendapat bagian dari harta
peninggalan suaminya.
Demikian ini sejalan dengan apa yang diemukakan oleh Soekanto mengenai
kedudukan janda . Soekanto menyatakan bahwa janda tidak mendapat bagian dari
harta peninggalan suaminya sebagai waris, tapi berhak menarik penghasilan dari
harta tersebut, jika perlu seumur hidup. Untuk nafkahnya janda itu dapat pula
diberi bagian sekaligus dari harta peninggalan suaminya. Untuk nafkah ini
terutama disediakan barang gono-gini. Jika barang-barang ini mencukupi untuk
nafkah, maka waris dapat menuntut supaya barang-barang asal dari peninggal
harta diterimakan kepada mereka. Jika barang gono gini tidak mencukupi untuk
nafkah, maka asal dari suami dapat dipakai untuk keperluan itu. Harta
peninggalan boleh dibagi-bagi adil saja janda terpelihara dalam hidupnya,
misalnya janda sudah dapat pewarisan (pada masa masih hidup suaminya) atau
nafkah dijamin oleh beberapa waris. Jika janda nikah lagi, ia keluar dari rumah
tangga suami pertama dan ia masuk dalam rumah tangga baru, dalam hal demikian
barang-barang gono-gini dapat dibagi-bagi anatara janda yang kawin lagi dengan
ahli waris suami yang telah meninggal dunia.
Menurut Ter Haar dalam (R. Soepomo, 1996 : 95) menyatakan bahwa pangkal
pikiran hukum adat ialah bahwa isteri sebagai “orang luar” tidak
mempunyai hak sebagai waris, akan tetapi sebagai isteri, ia berhak mendapat
nafkah dari harta peninggalan, selama ia memerlukannya. Di Minangkabau
misalnya, yang sistem familinya berdasar turunan dari pihak ibu
(moederrechtelijk), isteri tidak memerlukan nafkah dari harta peninggalan
suaminya.
Dari kedua pendapat tersebut di atas jika ditarik garis hukumnya tiadalah
bedanya, karena garis hukumnya menyatakan bahwa janda bukan ahli waris
(almarhum) suaminya. Sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Janda berhak akan jaminan
nafkah seumur hidupnya, baik dari barang gono gini mapun dari hasil barang asal
suami, jangan sampai terlantar selanjutnya sesudah suaminya meninggal dunia ;
2. Janda berhak menguasai
harta peninggalan suaminya, untuk menarik penghasilan dari barang-barang itu,
lebih-lebih jika mempunyai anak. Harta itu tetap merupakan kesatuan di bawah
asuhan yang tidak dibagi-bagi ;
3. Janda berhak menahan barang
asal suaminya, jikalau dan sekedar harta selama barang asal itu sungguh-sungguh
diperlukan olehnya, untuk keperluan nafkahnya ;
4. Janda berhak mendapat bagian atau menuntut
sebesar bagian anak di dalam keadaan terpaksa diadakan pembagian dengan anak,
misalnya janda kawin lagi. Anak minta sebagian untuk modal berusaha dan
sebagainya. (Bushar Muhammad dalam Soerjono, Yusuf Usman, 1985 : 21).[21]
2.2.5 Kedudukan Orang Tua dan Saudara Kandung
dalam Sitem Waris Adat Bali
Salah satu prinsip azas umum dikemukakan bahwa jika
pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini dilakukan
secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah
pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka. Kalau tidak
ada anak atau keturunan secara menurun, maka warisan itu jatuh pada ayah, nenek
dan seterusnya keatas. Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah
saudara-saudara si peninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah
menurut garis kesamping, dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat
mengecualikan keluarga yang jauh.
Dalam hal pembagian ahli waris adat Bali
apabila pewaris tidak memiliki anak laki-laki yang sah atau anak angkat
laki-laki yang sah ahli waris dapat saja siapapun yang mempunyai hubungan darah
dan juga merupakan satu klen. Dengan demikian walaupun seseorang mempunyai
hubungan darah dengan pewaris tapi belum tentu dapat menjadi ahli waris, jika
ternyata tidak satu klen. Klen adalah kelompok orang dimana orang-orang didalam
kelompok itu mempunyai ikatan keluarga/darah, melalui penghubung perampuan atau
penghubung laki-laki.[22]
2.2.6 Kedudukan Ahli Waris yang Beralih Agama
dalam Sitem Waris Adat Bali
Perkawinan yang beda agama akan menimbulkan dampak pada
hukum waris bali yang istilah dalam hukum adat bali dinamakan “Ngerajeg Dalam”
atau “Nyentana”.[23] Menurut hukum adat Bali yang
berpindah agama merupakan salah satu factor yang dapat memyebabkan seorang ahli
waris dapat kehilangan hak waris mereka, hal ini dikarenakan mereka ahli waris
yang berpindah agama dianggap tidak melaksanakan kewajiban yang semula
dilakukan oleh pewaris dalam hal ini bersangkutan dengan adanya tetap menjaga
agama yang dianut mereka. Selain kehilangan hak waris, mereka yang berpindah
agama juga akan kehilangan hubungan-hubungan kekeluargaan dan masyarakat hindu
lainya. Hukum waris seperti ini juga berlaku pada desa Tenganan. Sedangkan pada
desa Pekraman Panjar peralihan agama memang membuat sesorang kehilangan hak
waris namun dalam kenyataannya terdapat pengecualian dalam desa Pekraman Panjar
ini pewarisan yang beralih agama. Dimana ahli waris yang beralih agama tetap
mendapatkan harta warisan pusaka orag tuannya. Hal tersebut disebabkan rasa
belas kasihan dan sayang orang tua (Pewaris) Kepada anaknya (Ahli Waris). Dalam
hal warisan ini yang dapat diberikann hanyalah harta yang bersifat penghasilan
yang dicari sendiri oleh orang tuannya selama perkawinan, bukan harta warisan
turun temurun atau harta warisan diluar perkawinan.
Ditinjau
dari Hukum Adat Waris Bali sendiri seorang yang berpindah agama Hindu ke agama
yang lain tidak dapat mewaris. Dimana masyarakat desa Tenganan menganggap
segala sesuatu yang menyimpang dari adat kebiasaan yang berlaku dan diunjung
tinggi suatu hal yang dipatuhi, sehingga apabila ada penyimpangan sekecil
apapun itu dianggap akan menimbulkan kegoncangan dan akan berdampak buruk bagi
masyarakat adat yang ada. Desa Tenganan yang menganut system kekerabatan
patriliniar ini, menujukkan bahwa seorang yang berpindah agama tidak ada lagi
hubungan masalah penerusan keturunan ( silsilah keluarga ). Namun juga tidak
dapat dipungkiri masih adanya hubungan secara biologis atau hubungan darah,
oleh karena itu hubungan seorang anak yang berpindah agama dengan orang tuanya
hanyalah sebatas melaksanakan kewajiban moral saja.
Terputus
dari hubungan hukum seorang anak yang berpindah agama dengan orang tuanya,
berpindah agama juga akan berdampak pula pada hubungan dimana tempat tinggalnya
atau masyarakat adat Tenganan. Setelah seseorang berpindah agama pada umumnya
desa atau banjar adat tidak memperbolahkan mereka mengikuti organisasi dalam
suatu desa, mereka juga akan dikeluarkan dari desa tersebut dan disarankan
untuk tinggal diluar dari desa tersebut. Seorang yang berpindah agama juga
tidak diperbolehkan menggunakan fasilitas adat yaitu menyangkut tempat kuburan,
karena mereka menganggap fasilitas desa berupa kuburan hanya diperuntukan bagi
mereka masyarakat adat Tenganan khususnya beragama Hindu. Hal ini mencerminkan bahawa
seseorang yang berpindah agama sudah terlepas dari hubungan desa adat dan
masyarakatnya.
Dilihat dari hukum waris adat bali berlih agama
sebenarnya tidak mendapatkan hak waris, karna sudah dianggap putus hubungan
dengan keluarganya , dan tidak dapat lahi melaksanakan kewajiban-kewajibannya ,
tetapi apabila ditinjau dari hukum perdata ahli waris tetap mendapatkan warisan
karena itu merupakan haknya. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Erman
Suparman
“Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan
perempuan dan juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa
ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota
keluarga lainnya dalam garis lurus keatas maupun kesamping”[24]
2.2.7 Pembagian Warisan Adat Bali Jika Pewaris
Memiliki Istri Lebih dari Satu (poligami)
Masyarakat bali melakukan poligami atas dasar kesenangan mereka untuk
memperoleh isteri lebih dari satu, karena apabila seseorang bisa melakukan
poligini di dalam komunitas nya maka ia akan bangga karena dapat melakukan hal
itu.
Masalah waris, dalam sistem patrilineal, karena yang dianggap berharga
adalah hubungan seorang laki-laki dengan anak laki-laki dari istrinya, maka
akses perempuan kepada harta waris tergantung pada kemampuannya memelihara anak
laki-lakinya tersebut bagi kepentingan kekerabatan. Artinya, meskipun perempuan
mempunyai hubungan dalam sistem kekerabatan patrilineal, namun terdapat
aturan-aturan mengenai masalah perkawinan, rumah tinggal, keturunan dan
pewarisan. Pembatasan perempuan untuk menguasai dan mengontrol hak milik
melalui legitimasi kekerabatan dan adat inilah yang telah menyebabkan
terjadinya stratifikasi sosial ekonomi menurut jender yang semakin tajam .
Dalam
perkawinan poligami memang ahli waris dari istri pertama yang paling berhak
menduduki atau mewarisi harta peninggalan dari pewaris dan sekaligus sebagai
pengganti tahta kerajaan tersebut. sedangkan ahli waris dari istri kedua hanya
sebagai ahli waris bila ahli waris dari istri pertama tidak ada, baru ahli
waris dari istri kedua yang mewarisi harta warisan, begitu seterusnya. Tetapi
dalam hal ini ahli waris dari istri pertama yang berhak mewarisi harta warisan
serta memenuh tahta kerajaan.
Pembagian
warisan dalam masyarakat adat Hindu Bali , apabila dalam status perkawinan
poligami dapat dilakukan dengan dua cara , yaitu :
a.
dengan cara membagi anak sullung lebih banyak dan anak perempuan mendapatkan
jumlah yang lebih sedikit dari anak laki-laki.
b.
kedua pembagian yang sama rata antara para ahli waris satu golongan tersebut.
2.2.8 Ninggal Kepatutan/Ninggal Kedaton dalam
Sitem Waris Adat Bali
Ninggal
Kepatutan dalah orang yang dianggap tidak berhak atas warisan karena mereka
tidak dapat lagi melaksanakan tanggung-jawabnya. Menurut hukum adat Bali, bukan hanya
perempuan yang dianggap tidak berhak atas warisan, melainkan mereka yang
ninggal kedaton, atau nilar kedaton, ninggal kapatutan, ngutang kapatutan,
ngutang kawitan, ngutang sesana atau swadharma. Mereka yang dianggap ninggal
kedaton, yaitu :
1. orang yang
tidak lagi memeluk agama Hindu,
2. dipecat
kedudukannya sebagai anak oleh orangtuanya (pegat mapianak),
3. meninggalkan
rumah atau minggat (ngumbang), tanpa alasan yang jelas,
4. perempuan yang
kawin biasa,
5. laki-laki yang
kawin nyentana atau kawin nyeburin.
6. diangkat anak
oleh keluarga lain,
7. secara sukarela
melepaskan ikatan kekerabatan dengan keluarganya serta menyerahkan diri kepada
keluarga lain (maid yang raga).
Orang yang ninggal kedaton dianggap tidak berhak atas
warisan karena mereka tidak lagi dapat melaksanakan tanggung-jawabnya
(swadharma) sebagai penerus keturunan. anak yang ninggal kedaton penuh tidak
berhak atas warisan, tetapi dapat diberi bekal (jiwa dana)oleh orangtuanya dari harta guna
kaya tanpa merugikan ahli waris.
KESIMPULAN
Hukum waris
adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan
asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan oleh pemiliknya dari pewaris kepada ahli
waris. Hukum ini sesungguhnya adalah hukum penerusan serta mengoperkan harta
kekayaan dari sesuatu genarasi kepada keturunannya. Di dalam Hukum
adat sendiri tidak mengenal cara-cara pembagian dengan penghitungan tetapi
didasarkan atas pertimbangan, mengingat wujud benda dan kebutuhan waris yang
bersangkutan. Menurut hukum
adat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal maka yang
menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak
sebagai ahli waris
Kedudukan anak angkat itu
menurut kekeluargaan di Bali adalah sama dengan kedudukan anak kandung. Anak
angkat tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anak dari orang
tua.
Anak
perempuan bukan ahli waris tetapi mendapat bagian dari warisan ketika diadakan
pembagian.Tetapi perempuan juga dapat menjadi ahli waris yang disebut
sebagai sentana rajeg, dimana wanita tersebut didudukkan sebagai lakilaki
melalui upacara nyentana.
Janda tidak mendapat bagian dari
harta peninggalan suaminya sebagai waris, tapi berhak menarik penghasilan dari
harta tersebut, jika perlu seumur hidup. Untuk nafkahnya janda itu dapat pula
diberi bagian sekaligus dari harta peninggalan suaminya.
Dalam hal pembagian ahli waris adat
Bali apabila pewaris tidak memiliki anak laki-laki yang sah atau anak angkat
laki-laki yang sah ahli waris dapat saja siapapun yang mempunyai hubungan darah
dan juga merupakan satu klen.
Menurut
hukum adat Bali, bukan hanya perempuan yang dianggap tidak berhak atas warisan,
melainkan mereka yang ninggal kedaton, atau nilar kedaton, ninggal kapatutan,
ngutang kapatutan, ngutang kawitan, ngutang sesana atau swadharma. Ninggal
Kepatutan dalah orang yang dianggap tidak berhak atas warisan karena mereka
tidak dapat lagi melaksanakan tanggung-jawabnya.
Dilihat dari
hukum waris adat bali beralih agama
sebenarnya tidak mendapatkan hak waris, karna sudah dianggap putus hubungan
dengan keluarganya , dan tidak dapat lagi melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku :
Beni ,I Wayan. 1988.Warisan adat Bali, Tabanan:Agung Dharma
Putra
Haar, B. Ter.1980.Asar asas dan susunan Hukum adat.Jakarta:Pradya
Paramita.
Hadikusuma,Hilman.1987. Hukum Kekerabatan
Anak, Jakarta :PT. Citra
Aditya Bakti
Hadikusuma, Hilman.2003.Hukum
Waris Adat, Bandung: PT.Citra
Aditya Bakti
Panetje,I
Gede.1986.Aneka Catatan Tentang Hukum
Adat Bali,Cetakan I,Denpasar:Kayumas
Pudja,I Gde. Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu Dharma, Cetakan Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan
Budha Departeman Agama INDONESIA
Prodjodikoro,Wirjono.1983. Hukum
Warisan Di Indonesia, Bandung :Sumur Bandung
Ramulyo,M. idris.1982.“Suatu Perbandingan antara Ajaran sjafi’I dan
Wasiat Wajib wajib diMesir,tentang pembagian Harta Warisan untuk cucu Menurut
islam”.Jakarta : FHUI
Soekanto, Soerjono.2012.Hukum
Adat Indonesia, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
Soeripto.1973.Beberapa
Bab tentang Hukum Adat Bali,
Jember:Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember
Suparman,Erman.2005.Hukum waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW).Bandung:PT Refika Aditama
Tafal,
B. Bastian 1983.Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibatnya
di Kemudian Hari. Jakarta :CV. Rajawali
Zaini ,Muderis.2002.Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga
Sistem Hukum,Jakarta: Sinar Grafika
Website
:
[1] Wirjono
Prodjodikoro, Hukum Warisan Di
Indonesia, Bandung :Sumur Bandung , 1983, hal. 11
[3]
Ibid, hlm 23
[5] I Gde Pudja. Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu Dharma,
Cetakan Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha
Departeman Agama INDONESIA, (selanjutnya disingkat I Gde Pudja I) hlm. 42.
perempuan
orangtuanya.
lagi
melaksanakan tanggung-jawabnya.
[16]
Muderis
Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga
Sistem Hukum, Sinar Grafika,2002, hal. 43.
[17]
Soeripto,
Beberapa Bab tentang Hukum Adat Bali, Fakultas
Hukum Universitas Negeri Jember,Jember 1973, hal.92.
[19] Hilman Hadikusuma,
Hukum Kekerabatan Anak, PT.
Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1987, hal. 114
[20] B. Bastian Tafal,
Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat
Serta Akibat-Akibatnya di Kemudian Hari, CV. Rajawali, Jakarta, 1983,
hal 47
[21]Haar, B. Ter
Asar asas dan susunan Hukum adat. Pradya Paramita, 1980
[22]
http://www.academia.edu/6489182/Rangkuman_Hukum_Keluarga_dan_Waris_Adat
Kalau Mau Copas jangan LUPA KASIH SUMBERNYA ^_^
Dan jangan lupa LIKE + Comment ^_^
No comments:
Post a Comment