MAKALAH
KASUS HUKUM
PERDATA INTERNASIONAL
“PENERAPAN SINGLE RENVOI DALAM
PENYELESAIAN PERKARA PERDATA INTERNASIONAL”
OLEH :
1.
DOSEN PENGAMPU
:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang hukum kasus hukum perdata indonesia.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah hukum kasus hukum perdata indonesia ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah hukum kasus hukum perdata indonesia ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
________________________________________________________________________________i
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
.......................................................................................
i
DAFTAR
ISI
...................................................................................................
ii
BAB
I
PENDAHULUAN.............................................................................................
1
1.1 Latar Belakang...................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................3
1.3Tujuan Permasalahan.........................................................................3
BAB
II
PEMBAHASAN
.............................................................................................4
A. Penyelesaian Sengketa The
Forgo Case.............................................4
B. Alasan-alasan terjadinya Renvoi........................................................10
C. Penggunaan Renvoi dalam
HPI..........................................................10
BAB
III
PENUTUP
....................................................................................................
11
A.
Kesimpulan........................................................................................11
________________________________________________________________________________ii
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi sekarang ini, interaksi antar manusia dari berbagai
penjuru dunia semakin banyak dan intens. Pengaruh kemajuan teknologi dan sarana
komunikasi yang semakin canggih membuat berbagai pihak dari satu negara dengan
negara lain yang memiliki kecocokan kepentingan satu sama lain kemudian
menjalin hubungan di berbagai bidang.
Ditambah lagi dengan arus perpindahan penduduk (migrasi) dari satu negara
kenegara lain baik secara tetap maupun untuk sementara membuat interaksi antar
manusia dari berbagai negara semakin pesat. Akibat interaksi ini pun kemudian
berlanjut pada timbulnya hubungan hukum antara pihak-pihak dari berbagai
negara. Hubungan Hukum itu pun terwujud dalam hubungan hukum internasional yang
bersifat privat maupun hubungan hukum yang bersifat publik.
Hubungan hukum internasional yang bersifat publik, contohnya dapat kita
lihat pada kerjasama internasional yang di wujudkan dalam bentuk perjanjian internasional
antara negara. Hubungan hukum publik berupa hubungan antar negara ini kemudian
memacu timbulnya sebuah norma hukum baru yang bersifat transnasional yang
mengatur perhubungan anatar negara yang disebut hukum internasional publik.
Hubungan hukum internasional yang bersifat privat (perdata) , contohnya
dapat kita lihat pada kontrak bisnis antara perusahaan dari suatu negara dengan
negara lain, perkawinan antara seorang pria dan wanita yang berbeda
kewarganegaraan, bisa juga perkawinan antara pria dan wanita yang memiliki
kewarganegaraan yang sama menikah di negara asing atau seseorang
yang berkewarganegaraan tertentu berdomisili di negara asing. Hubungan Hukum
ini kemudian memunculkan suatu hubungan hukum perdata yang bersifat
internasional atau disebut dengan hubungan hukum perdata internasional.
Adapun yang menjadi perbedaan di antara keduanya adalah terlihat dari
sumber hukumnya. Hubungan hukum internasional publik bersumber pada norma-norma
hukum internasional yang diakui , sebagai mana diatur dalam pasal 38 ayat (1)
Statuta Makhkamah Internasional. Selain itu pula persoalan yang diatur dalam
Hukum Internasional Publik adalah persoalan yang bersifat publik, yang mengatur
hubungan antara negara dengan negara lain atau antara negara dengan subjek
hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.
Pada Hukum Perdata Internasional yang menjadi sumber hukum adalah Hukum
Nasional (domestik) law dari pihak-pihak yang berperkara hal ini dikarenakan
tiap-tiap individu yang berbeda negara tunduk pada hukum nasional negaranya
masing-masing. Kata Internasional yang terdapat pada hukum perdata
internasional terletak pada unsur asing yang terdapat dalam perkara hukum
perdata internasional tersebut. Unsur asing tersebut dapat berupa status
personalitas (person) dari pihak-pihak yang berperkara atau unsur
teritorialitas tempat dimana peristiwa atau hubungan hukum tersebut terjadi.
________________________________________________________________________________1
Jadi, Pada dasarnya antara Hukum Internasional dan Hukum Perdata
Internasional tidak dapat disamakan. Hal ini karena terdapat
perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar.
Pertama ditinjau dari sumber hukumnya Hukum Internasional Publik bersumber
pada sumber hukum internasional yang diatur dalam pasal 38 ayat (1) Statuta
Mahkamah Internasional. Berbeda dengan Hukum Perdata Internasional yang
bersumber pada hukum nasional (domestic law) dari pihak-pihak yang terkait
dengan perkara HPI tertentu.
Kedua dilihat dari sifat persoalan atau perkara yang dihadapi maka hukum
internasional publik mengatur persoalan yang sifatnya publik, contohnya , kerja
sama antar negara , pendirian organisasi internasional atu hubungan diplomatik
dan konsuler antar negara.
Hal ini berbeda dengan Hukum Perdata Internasional yang sifat persoalan
atau perkara yang dihadapinya adalah hal-hal yang bersifat perdata (privat) ,
contohnya , perkawinan campuran beda negara, atau kontrak bisnis yang
melibatkan pihak yang berbeda kewarganegaraan.
Oleh karena yang menjadi subjek dalam suatu perkara hukum perdata
internasional, tunduk pada hukum nasionalnya (domestic law) masing-masing,
kemudian menyebabkan benturan yuridiksi antara hukum nasional masing-masing
subjek perkara hukum perdata internasional tersebut untuk memberlakukan hukum
mana yang akan diberlakukan. Dari hal ini maka peran Hukum Perdata
Internasional adalah untuk menentukan hukum mana yang akan diberlakukan
terhadap suatu perkara yang di dalamnya terdapat unsur-unsur asing.
Dalam memecahkan sebuah perkara hukum perdata internasional terdapat sebuah
ajaran atau doktrin yang mengatur tentang penunjukan kembali atau yang lebih
familiar dengan sebutan renvoi. Secara umum Renvoi dapat dikatakan sebagai
penunjukan kembali atau penunjukan lebih lanjut oleh kaidah-kaidah HPI dari
suatu sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah HPI lex fori.
Dalam hal ini ketika dalam pemecahan suatu perkara hpi yang mengunakan
renvoi, maka hakim (forum) yang mengadili suatu perkara HPI pada awalnya
berdasarkan lex fori melakukan penunjukan terhadap hukum asing sebagai lex
causae dalam penyelesaian perkara hpi tersebut. Kemudian ternyata di dalam lex
causae terdapat sebuah kaidah hpi yang melakukan penunjukan kembali terhadap
lex fori atau sistem hukum lain sebagai hukum yang harusnya digunakan untuk
menyelesaikan masalah tersebut.
Terkait dengan doktrin renvoi ini maka saya berusaha untuk menjelaskan
penerapan single renvoi dalam sebuah kasus hukum perdata internasional yang
akan dibahas pada bagian selanjutnya dari tulisan ini saya berusaha
untuk membahas bagaimana penerapan single renvoi dalam penyelesaian perkara HPI
dalam kasus The Forgo Case 1879.
________________________________________________________________________________2
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagimana penerapan
single Renvoi dalam penyelesaian perkara Hukum Perdata Internasional dalam
kasus The Forge Case
2. Apakah
alsan-alasan yang digunakan oleh Lex fori dan Lex causae dalam pelaksanaan
Renvoi tersebut ?
3. Bagaimana
penggunaan Renvoi dalam HPI ?
1.3. Tujuan Permasalahan
1. Untuk mengetahui
penerapan single Renvoi dalam Penyelesaian Hukum Perdata Internasional yang
terdapat dalam kasus The Forge Case
2. Untuk mengetahui
alasan-alasan yang digunakannya oleh Lex Fori dan Lex Causae dalam pelakasanaan
Renvoi
3. Untuk mengetahui
proses Penggunaan Renvoi dalam HPI ?
________________________________________________________________________________3
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1. Penyelesaian Sengketa The
Forgo Case
Perkara The
Forgo Case merupakan perkara mengenai masalah waris yang diajukan ke pengadilan
prancis. Awal mula kasus ini dimulai dengan meninggalnya seorang pria
berkewarganegaraan Jerman (bavaria) yang bernama Forgo. Sejak usia 5 tahun
forgo menetap di prancis tanpa berupaya memperoleh tempat kediaman resmi
(domicile) di prancis. Di ketahui juga bahwa forgo merupakan anak luar kawin.
Pada tahun 1879 ia meninggal di prancis tanpa meninggalkan testamen (wasiat) ,
ia meninggalkan harta benda berupa sejumlah benda-benda bergerak di prancis.
Berdasarkan hukum prancis terkait dengan warisan anak luar kawin
harta warisan jatuh kepada negara. Akan tetapi menurut hukum jerman
(bavaria) saudara-saudara kandung berhak untuk mendapat
harta warisan dari saudara kandungnya yang merupakan anak luar kawin. Terkait
dengan harta peninggalan forgo ini kemudian timbul tuntutan (gugatan) yang
diajukan oleh saudara-saudara kandungnya di pengadilan prancis terhadap
pemerintah prancis. Untuk menyelesaikan perkara ini, terdapat beberapa tahapan
yang harus dilakukan oleh hakim (forum) prancis.
Pertama
tahapan yang harus dilakukan adalah hakim (forum) harus menentukan apakah
persoalan yang dihadapi ini merupakan perkara HPI atau bukan. Dalam
hal ini hakim akan menghadapi persoalan hukum dalam wujud sekumpulan fakta
hukum yang mengandung unsur-unsur asing (foreignt elements). Pada
tahap ini hakim (forum) menyadari fakta-fakta di dalam perkara yang menunjukan
adanya keterkaitan antara perkara dengan tempat-tempat asing
(tempat-tempat di luar wilayah forum). Fakta-Fakta ini disebut dengan Titik
–Titik Pertalian Primer (Primary point of contact). Adanya titik-titik
pertalian primer ini dalam sebuah perkara menunjukan seseorang sedang
menghadapi perkara HPI.
Yang
dimaksud dengan Titik –Titik Pertalian Primer adalah unsur-unsur
yang menunjukan bahwa suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa hukum perdata
internasional dan bukan suatu peristiwa intern
nasional. Dapat juga di definisikan bahwa titik-titik pertalian
primer adalah fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara (HPI) yang
menunjukan pertautan antara perkara itu dengan suatu tempat tertentu, dan
karena itu menciptakan relevansi antara perkara yang bersangkutan dengan
kemungkinan berlakunya sistem/aturan hukum intern tempat itu. Unsur-unsur yang
tergolong sebagai titik pertalian primer adalah sebagai berikut :
a. Kewarganegaraan
b. Bendera kapal
atau pesawat
c. Domisili
d. Tempat kediaman
e. Tempat kedudukan
badan hukum
f. Pilihan
hukum dalam hubungan hukum internasional
g. Tempat
dilaksanakannya perbuatan melawan hukum
h. Tempat terletaknya benda
Jika di lihat lebih lanjut
fakta hukum pada kasus forgo diatas, dapat di tarik kesimpulan bahwa pada
dasarnya yang menjadi titik-titik pertalian primer adalah kewarganegaran dan
tempat kediaman sehari-hari (habitual residence). Dimana forgo merupakan seorang
yang
________________________________________________________________________________4
berkewarganegaraan jerman (bavaria)
sedangkan sehari-harinya ia berdiam (tempat kediaman) di prancis. Jadi dapat
disimpulkan pula bahwa kasus forgo ini merupakan perkara HPI karena adanya
benturan yurisdiksi antara hukum nasional (domestic law) dari negara jerman dan
prancis.
Setelah titik-titik pertalian primer dari kasus tersebut diketahui, dan
telah ditetapkan bahwa hal tersebut merupakan perkara hukum perdata internasional,
maka tahap yang harus dilanjutkan adalah mementukan apakah hakim (forum)
mempunyai kewenangan yurisdiksional untuk memeriksa, mengadili dan memutus
perkara yang tersebut. Untuk menentukan hal ini maka hakim harus berpegang pada
kaidah-kaidah dan asas-asas hukum acara perdata internasional yang berlaku dan
merupakan bagian dari sistem HPI lex fori (sistem hukum negara asal hakim yang
memeriksa perkara).
Dari
kasus forgo tersebut diketahui bahwa perkara diajukan kepada pengadilan (forum)
prancis, oleh karena itu hakim (forum) prancis harus menentukan apakah hakim
prancis memiliki kewenangan/kompetensi yurisdiksional untuk mengadili kasus
forgo tersebut. Untuk menentukan apakah hakim (forum) prancis berwenang , maka
hakim harus berpegang pada kaidah-kaidah atau asas –asas hukum acara perdata
internasional yang berlaku dan merupakan bagian dari sistem HPI lex fori (hukum
acara pada pengadilan prancis).
Adapun kaidah atau asas-asas yang mengatur tentang kewenangan
yurisdiksional forum untuk mengadili suatu perkara HPI , terdiri atas beberapa
macam yaitu.
a) Asas
sequitor forum rei , bahwa gugatan diajukan ke pengadilan , tempat dimana
tergugat bertempat tinggal .
b) Asas Forum
of convinience adalah suatu prinsip bahwa pengajuan perkara sebaiknya dilakukan
di tempat tergugat karena untuk memberikan kemudahan kepada tergugat . Antara
lain tergugat dapat melakukan pembelaan.
c) Principle
effectiviness (asas efektifitas), adalah suatu prinsip bahwa suatu perkara
sebaiknya diajukan ke pengadilan mana hakim akan mudah untuk melakukan
eksekusi.
d) Asas
forum solutionis contractus yaitu asas yang menjadi dasar penetapan
yurisdiksi bagi forum dari tempat mana suatu perikatan
dianggap telah dilaksanakan atau seharusnya dilaksanakan
e) Asas
pengadilan tempat pihak berkedudukan yang lebih lemah
Yaitu asas yang memberikan kewenangan
yurisdiksional pada pengadilan tempat dimana pihak dalam transaksi
hukum memiliki kedudukan lebih lemah, khususnya pihak konsumen dalam transaksi
–transaksi konsumen atau pihak buruh dalam transaksi hubungan kerja.
f) Asas
Pengadilan yang dipilih oleh para pihak
Yaitu asas yang merupakan manifestasi dari
“asas kebebasan berkontrak”. Dimana para pihak dapat menentukan sendiri
pengadilan yang dianggap memiliki yurisdiksi eksklusif untuk
menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dalam hubungan mereka.
g) Asas
forum rei sitae yaitu asas yang menjadi dasar penetapan kewenangan
yurisdiksional forum atas perkara yang menyangkut hak kebendaan atas
benda-benda tetap.
h) Asas
forum delicti , yaitu asas yang digunakan untuk penentuan adanya kewenangan
yurisdiksional dalam perkara perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).
________________________________________________________________________________5
i) Asas
forum connexitatis , yaitu asas yang memberikan kewenangan mengadili pada forum
yang telah memiliki yurisdiksi untuk memeriksa pokok perkara dan
juga gugat balik asas ini dapat digunaka jika tidak ada
forum lain yang memiliki yurisdiksi ekslusif atau yurisdiksim karena pilihan
para pihak.
j) Asas
forum aresti, yaitu asas pada perkara yang menyangkut muatan atau kapal yang
ditahan yang memberikan kewenangan yurisdiksional pada pengadilan
dimana tempat kapal muatan itu ditahan
Dari berbagai macam asas terkait dengan kewenangan yurisdiksional ini ,
maka hakim prancis harus menyatakan memiliki kewenangan
yurisdiksional berdasarkan kasus forgo . Hal ini dikarenakan yang
menjadi pihak tergugat dalam hal ini adalah pemerintah prancis (Asas sequitor
forum rei dan Asas Forum of convinience)
Setlah kemudian ditetapkan hakim (forum ) prancis memiliki kewenangan untuk
mengadili (kewenangan yurisdiksional ) atas perkara HPI, maka tahapan
selanjutnya yang harus dilakukan oleh hakim (forum) adalah menentukan sistem
hukum intern negara mana /apa yang harus diberlakukan untuk menyelesaikan
perkara hukum yang mengandung unsur-unsur asing itu atau menentukan lex causae.
Untuk menentukan lex causae atas perkara maka hakim perlu untuk menentukan
titik-titik pertalian sekunder yang bersifat menentukan untuk menunjuk ke arah
lex causae. Titik –titik pertalian sekunder ini harus ditemukan dalam kaidah
/aturan/asas hpi yang tepat dan relevan yang digunakan pada perkara yang sedang
dihadapi kaidah atau asas hpi yang dimaksud adalah asas HPI lex fori.
a) Tempat
terletaknya benda
b) Kewarganegaraan
c) domisili pemilik
benda bergerak
d) Tempat
dilangsungkannya perbuatan hukum
e) Tempat
terjadinya perbuatan melawan hukum
f) Tempat
diresmikan pernikahan
g) Tempat ditanda
tanganinya kontrak
h) Tempat
dilaksanakannya kontrak
i) Pilihan
hukum
j) Bendera
kapal atau pesawat
k) Tempat kediaman
l) Tempat
kedudukan atau kebangsaan badan hukum
Dalam hal ini maka hakim harus terlebih dahulu menetukan kualifikasi fakta
dan kualifikasi hukum yang tepat dari perkara berdasarkan
kategori yuridik yang dikenal oleh hakim dalam lex fori. setelah itu
barulah hakim menentukan kaidah HPI lex fori yang relevan dalam rangka
penunjukan ke arah lex causae (hukum negara yang ditunjuk oleh kaidah HPI lex
fori).
Dalam kasus forgo yang dihadapi hakim prancis ini maka hakim (forum)
prancis haruslah terlebih dahulu melihat fakta-fakta yang terjadi. Diketahui
bahwa fakta-fakta hukum yang terjadi bahwa forgo yang merupakan seorang anak
luar kawin meninggal di prancis meninggalkan sejumlah harta warisan di prancis.
kemudian harta peninggalan tersbut di
tuntut oleh saudara-saudara kandungnya.
Oleh karena itu kemudian berdasarkan kualifikasi
________________________________________________________________________________6
fakta ini hakim (forum) harus menentukan
kualifikasi hukum berdasarkan kategori yuridik di dalam lex fori, bahwa kasus
ini merupakan gugatan mengenai hak dan kedudukan ahli waris dari seorang anak
luar kawin.
Setelah kualifikasi fakta dan kualifikasi hukum dilakukan maka hakim
kemudian menentukan kaidah HPI lex fori yang tepat untuk perkara
tersebut.Diketahui bahwa perkara terkait dengan masalah ahli waris dari anak
luar kawin maka yang digunakan adalah kaidah HPI prancis yang relevan dengan
perkara itu. Kaidah HPI Prancis yang relevan untuk perkara forgo adalah sbb :
“Bahwa persoalan
pewarisan benda-benda bergerak harus diatur berdasarkan hukum dari tempat
dimana pewaris menjadi warga negara”.
Dari kaidah HPI diatas maka diketahui bahwa titik pertalian sekundernya
adalah tempat diman pewaris menjadi warga negara (kewarganegaraan atau lex
patriae) ,yakni negara jerman (bavaria). Oleh karena itu kemudian
yang menjadi lex causae nya adalah hukum jerman (bavaria).
Setelah lex causae ditemukan maka sebenarnya hakim (forum) tinggal memutus
perkara dengan lex causae namun persoalannya semakin rumit jika ternyata kaidah
HPI lex Causae melakukan penunjukan kembali untuk digunakannya hukum lex fori.
Hal ini lah yang kemudian disebut dengan Renvoi (penunjukan kembali).
Adapun yang dimaksud dengan renvoi (penunjukan kembali) adalah penunjukan kembali atau penunjukan lebih lanjut oleh kaidah-kaidah HPI dari
suatu sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah HPI lex fori.
Munculnya
renvoi ini adalah ketika terjadi suatu masalah ketika hakim mencoba
untuk mendefinisikan “apa yang dimaksud dengan menunjuk
ke arah suatu sistem hukum tertentu itu ? Dari hal ini kemudian
timbul dua pengertian yang berbeda yaitu :
a) Penunjukan ke
arah kaidah-kaidah hukum intern (sachnormen) dari suatu sistem hukum tertentu.
penunjukan semacam ini dalam bahasa jerman dinamakan sachnormenveweisung.
b) Penunjukan ke
arah keseluruhan sistem hukum tertentu , yang artinya prima facie,
adalah kaidah-kaidah HPI (kollisonsnormen) dari sistem hukum tersebut.
penunjukan semacam ini dinamakan gesamtverweisung.
Untuk
menjelaskan perbedaan antara sachnormenverweisung dengan gesamtverweisung ini
maka akan diberikan contoh sbb. Berdasarkan kasus HPI tertentu maka
hukum yang digunakan adalah hukum inggris, yang dipertanyakan apakah yang
diartikan hukum inggris itu . dalam hal ini terdapat dua kemungkinan.
a) Hukum intern
inggris (domestic muncipal law) yang berlaku di negara inggris untuk hubungan
hukum antara sesama orang inggris atau.
b) Bukan saja hukum
intern tetapi ditambah dengan kaidah-kaidah HPI inggris, jadi termasuk di
dalamnya kaidah-kaidah mengenai “Choice of Law” (HPI) Inggris.
________________________________________________________________________________7
Jadi dari
contoh ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
sachnormenverweisung adalah hukum intern dari suatu negara sedangkan
gesamtverweisung merupakan kesluruhan sistem hukum termasuk hukum
inten dan kaidah HPI (kollisonsnormen).
Renvoi
hanya mungkin dilaksanakan jika kaidah HPI lex fori menunjuk ke arah suatu
sistem hukum asing dalam arti gesamtverweisung.Artinya, penunjukan itu
diarahkan kepada kaidah HPI asing yang dianggap relevan dengan perkara yang
sedang dihadapi.
Namun
seorang hakim dapat dikatakan menerima atau menolak suatu penunjukan kembali
atau proses renvoi. Penerimaan atau penolakan renvoi adalah sikap atau policy
yang dianut oleh suatu sistem hukum tertentu atau seorang hakim tertentu . Hal
ini perlu di singgung untuk menegaskan bahwa suatu proses renvoi
betul-betul-merupakan tindakan oleh sebuah pengadilan /hakim yang dilandasi
proses berpikir hakim sendiri dan sama sekali tidak melibatkan hakim asing yang
akan menunjuk kembali ke arah forum yang pertama.
Dalam hal
proses renvoi dijalankan oleh hakim maka terdapat beberapa kemungkinan yang
bisa terjadi.
a) Jika kaidah HPI
suatu sistem hukum (lex fori) menunjuk ke arah sistem hukum asing dan
penunjukan langsung itu dianggap sebagai sachnormenverweisung ke arah kaidah
hukum intern dapat di katakan bahwa hakim telah menolak renvoi.
b) Jika kaidah HPI
suatu sistem hukum (lex fori) menunjuk ke arah sistem hukum asing dan
penunjukan itu dianggap sebagai gesamtverweisung (termasuk kaidah-kaidah HPI
Asing) dan ada kemungkinan bahwa kaidah HPI sistem hukum asing itu
akan menunjuk kembali ke arah lex fori atau menunjuk lebih lanjut ke arah
sistem hukum ketiga . Penunjukan inilah yang disebut dengan proses renvoi.
c) Apabila
penunjukan kembali ke arah lex fori dianggap sebagai penunjukan ke arah seluruh
sistem hukum lex fori , termasuk kaidah HPI lex fori (gesamtverweisung)
, fakta ini menunjukan bahwa Pengadilan telah menolak renvoi.
d) Akan tetapi jika
hakim (lex fori) mengangap bahwa penunjukan kembali (atau lebih lanjut )
dianggap sebagai sachnormenverwesiung dan mengarah pada kaidah-kaidah hukum
intern lex fori (atau sistem hukum lain), pengadilan dalam hal ini
dianggap telah menerima renvoi.
Dari uraian diatas terlihat bahwa dalam HPI , orang
mengenal dua jenis single renvoi,yakni :
1. Remission
Remission yaitu proses renvoi oleh kaidah HPI asing
kembali ke arah lex fori .Karena itu, dalam remission penunjukan pertama
berlangsung dari kaidah HPI forum ke kaidah HPI asing (gesamtverweisung) karena
sebelumnya diketahui bahwa kaidah HPI asing itu dalam penunjukan
kedua akan menunjuk kembali kearah lex fori. Jika forum menerima renvoi ,
penunjukan kembali ini akan dianggap sebagai sachnormverweisung ke arah hukum
intern forum lex fori.
________________________________________________________________________________8
2. Transmission
Transmission yaitu proses renvoi oleh kaidah HPI asing
ke arah suatu sistem hukum asing lain. Dalam hal ini penunjukan pertama
berlangsung dari kaidah HPI forum lex fori ke arah kaidah HPI asing
(gesamtverweisung) yang sebelumnya telah diketahui akan menunjuk lebih lanjut
ke arah sistem hukum ketiga . Karena hakim berniat memberlakukan aturan hukum
intern dari hukum ketiga itu , penunjukan kedua akan dianggap sebagai
sachnormenverweisung.
Kembali
pada kasus forgo,ternyata hakim prancis ketika melakukan penunjukan ke arah
hukum jerman (bavaria) sebagai lex causae dimaksudkan kepada keseluruhan sistem
hukum jerman (bavaria) sehingga hal ini merupakan gesamtverweisung yang
mengarah pada kaidah HPI jerman (bavaria). Adapun di dalam sistem hukum jerman
(bavaria), kaidah-kaidah yang mengatur tentang perkara pewarisan ini adalah
sebagai berikut.
Dalam kaidah HPI Jerman (Bavaria) :
“Kaidah HPI jerman (bavaria)
yang mengatur soal pewarisan menetapkan bahwa pewarisan benda-benda bergerak
harus tunduk pada hukum dari tempat dimana pewaris bertempat tinggal (habitual
residence).
Dalam kaidah Hukum intern Jerman (bavaria)
:
“Hukum perdata intern jerman
(bavaria) menetapkan bahwa saudara-saudara kandung dari seorang anak luar kawin
tetap berhak menerima harta peninggalan dari anak luar kawin yang bersangkutan.
Jika kasus
ini diselesaikan dengan kaidah hukum intern lex causae (hukukm perdata intern
jerman (bavaria), maka saudara-saudara kandung dari forgo berhak mendapatkan
harta waris berupa benda bergerak peninggalan forgo. Namun karena hakim prancis
melakukan penunjukan ke arah lex causae yang dimaksudkan pada keseluruhan
sistem hukum jerman (bavaria) , maka hal ini mencakup kaidah HPI jerman
(bavaria).
Karena
kaidah HPI jerman (bavaria) mengatur bahwa dalam soal pewarisan benda-benda
bergerak harus tunduk pada hukum ditempat dimana pewaris bertempat tinggal dan
dalam hal ini forgo yang merupakan pewaris keseharianya bertempat tinggal di
prancis maka terjadi penunjukan kembali (renvoi) kepada hukum prancis sebagai
lex domicili forgo.
Kemudian di
dalam kasus ini karena hakim prancis mengangap penunjukan kembali (renvoi) ini
sebagai sachnormverweisung ke arah hukum perdata intern prancis, maka dalam hal
ini hakim prancis akan memberlakukan hukum perdata intern (code civil prancis).
Berdasarkan
kaidah hukum perdata intern prancis yang mengatur soal pewarisan dikatakan
bahwa :
“Harta peninggalan dari
seorang anak luar kawin jatuh ke negara.”
_______________________________________________________________________________9
Maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah negara
prancislah yang berhak atas harta bergerak peninggalan forgo. Dalam hal ini
tergugat yakni pemerintah prancis dimenangkan oleh pengadilan prancis sedangkan
pihak penggugat yakni saudara-saudara kandung forgo telah dikalahkan.
2. Alasan-alasan
terjadinya Renvoi
Berdasarkan uraian pada kasus diatas, dapat
diuraikan alasan-alasan dalam pelaksanaan renvoi tersebut :
1. Dalam pengambilan keputusan yuridis, klasifikasi dapat dikatakan
sebagai penerjemahan fakta sehari-hari ke dalam kategori hukum
tertentu (translated into legal term), sehingga dapat diketahui arti
yuridisnya (legal significance). Penerapannya dalam kasus di atas,
dilihat dari fakta yang terjadi sehari-hari maka peristiwa tersebut
diklasifikasikan ke dalam hukum perwarisan.
2. Titik taut primer merupakan faktor-faktor atau keadaan yang
menciptakan dan menimbulkan hubungan HATAH yang lebih
dikenal sebagai titik taut pembeda. Dalam kasus ini dapat dilihat
bahwa unsur asing (Foreign Element) adalah kaidah hukum Jerman.
3. Titik taut sekunder merupakan
faktor-faktor dan keadaan-keadaan
yang menentukan berlakunya suatu sistem hukum tertentu atau
disebut juga titik taut penentu. Dalam hal ini dapat dilihat dari
kaidah-kaidah HPI dari masing-masing Negara
untuk menentukan hukum mana yang berlaku yang dalam hal ini
hingga terjadinya renvoi.
3. Penggunaan Renvoi dalam HPI
Menurut
Cheshire, doktrin renvoi ini tidak dapat digunakan disemua jenis perkara HPI,
terutama dalam perkara-perkara yang sedikit banyak berkaitan dengan
transaksi-transaksi bisnis, dan setiap tindakan pilihan hukum dalam
transaksi-transaksi seperti itu pasti akan dimaksudkan sebagai penunjukan ke arah hukum intern (Sachnormenverweisung).
Di dalam pasal 15 dari Konvensi Roma (1980 yang mengikat semua negara anggota
Masyarakat Eropa, misalnya, Renvoi tegas-tegas ditolak.
Masalah-masalah HPI yang jika dimungkinkan masih dapat
diselesaikan dengan menggunakan doktrin Renvoi adalah masalah
validitas pewarisan (testamenter atau intestatis), tuntutan-tuntutan atas
benda-benda tetap di negara asing, perkara-perkara yang menyangkut benda
bergerak, dan masalah-masalah hukum keluarga (perkawinan, akibat perkawinan,
harta perkawinan, status personal, dan sebagainya). Masalah renvoi yang selalu
menarik perhatian dari penulis-penulis HPI dari dahulu sampai sekarang, dikenal
dengan berbagai istilah. Di Indonesia memilih istilah “Penunjukan Kembali”.
Dalamkenyataan orang dapat melakukan penunjukan dengan dua pengertian yang
berbeda :
1. Penunjukan
kearah Kaidah-kaidah Hukum Intern (Sachnormen) dari suatu sistem hukumt
ertentu. Penunjukan semacam ini dalam bahasa Jerman dinamakan
Sachnormenverweisung.
2. Penunjukan
kearah keseluruhan sistem hukum tertentu, yang artinya prima facie, adalah
kaidah-kaidah HPI (Kollisionsnormen) dari sistem hukum tersebut. Penunjukan
semacam ini dinamakan Gesamtverweisung.
________________________________________________________________________________10
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Dari
pemaparan makalah di atas, dapat diketahui bahwa dalam dunia perdata
internasional banyak sekali permasalahan yang harus diselesaikan secara cepat.
Penunjukan sistem hukum tertentu merupakan upaya untuk menegakkan keadilan
serta memberikan rasa aman bagi pencari keadilan.
Renvoi
adalah metode yang relevan sebagai jawaban untuk menyelesaikan masalah, maka
perlu kiranya progresifitas yang berkelanjuta dan signifikan guna menjamin
adanya keadaan yang seimbang antara pihak-pihak yang berkepentingan.
________________________________________________________________________________11
DAFTAR
PUSTAKA
Sunarjati
Hartono, 1972, Penerapan Single Renvoi di Indonesia, Binacipta, Bandung,
hal. 111.
Michael Zander, 1976, Act of State Doctrine, in
Twentieth Century of International Law, hal. 409. Lihat juga F. A.
Man, Sacrosantity of Foreign Act of State, LQ. Rev, Vol. 59.
Ida
Bagus Wyasa Putra, 2000, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional dalam
Renvoi Internasional, Refika Aditama, Bandung, hal. 72.
George
Delaume, 1982. Transnational Contracts, American Journal
International Law, hal. 15.
Sudargo Gautama, 1987, Pengantar Hukum Perdata
Internasional Indonesia, Binacipta, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudargo
Gautama II), hal. 4.
Kalau Mau Copas jangan LUPA KASIH SUMBERNYA ^_^
Dan jangan lupa LIKE + Comment ^_^
Nuhunn nya sim kuring copy tea gening.... jagap kint nganti
ReplyDeleteizin sya copas yaa... terima kasih .. i like it
ReplyDelete