Thursday, August 30, 2018

MAKALAH KASUS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL “PENERAPAN SINGLE RENVOI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA INTERNASIONAL”


MAKALAH
KASUS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL  
PENERAPAN SINGLE RENVOI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA INTERNASIONAL

                                              surakarta.png



OLEH :
1.     

DOSEN PENGAMPU :

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016


Kata Pengantar

    Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang hukum kasus hukum perdata indonesia.
              Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
            Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
            Akhir kata kami berharap semoga makalah hukum kasus hukum perdata indonesia ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.








________________________________________________________________________________i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................................. 1
       1.1 Latar Belakang...................................................................................1
       1.2 Rumusan Masalah.............................................................................3
       1.3Tujuan Permasalahan.........................................................................3
BAB II
PEMBAHASAN .............................................................................................4
       A. Penyelesaian Sengketa The Forgo Case.............................................4
       B. Alasan-alasan terjadinya Renvoi........................................................10
       C. Penggunaan Renvoi dalam HPI..........................................................10
BAB III
PENUTUP .................................................................................................... 11
A.      Kesimpulan........................................................................................11








________________________________________________________________________________ii


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Di era globalisasi sekarang ini, interaksi antar manusia dari berbagai penjuru dunia semakin banyak dan intens. Pengaruh kemajuan teknologi dan sarana komunikasi yang semakin canggih membuat berbagai pihak dari satu negara dengan negara lain yang memiliki kecocokan kepentingan satu sama lain kemudian menjalin hubungan di berbagai bidang.

Ditambah lagi dengan arus perpindahan penduduk (migrasi) dari satu negara kenegara lain baik secara tetap maupun untuk sementara membuat interaksi antar manusia dari berbagai negara semakin pesat. Akibat interaksi ini pun kemudian berlanjut pada timbulnya hubungan hukum antara pihak-pihak dari berbagai negara. Hubungan Hukum itu pun terwujud dalam hubungan hukum internasional yang bersifat privat maupun hubungan hukum yang bersifat publik.

Hubungan hukum internasional yang bersifat publik, contohnya dapat kita lihat pada kerjasama internasional yang di wujudkan dalam bentuk perjanjian internasional antara negara. Hubungan hukum publik berupa hubungan antar negara ini kemudian memacu timbulnya sebuah norma hukum baru yang bersifat transnasional yang mengatur perhubungan anatar negara yang disebut hukum internasional publik.

Hubungan hukum internasional yang bersifat privat (perdata) , contohnya dapat kita lihat pada kontrak bisnis antara perusahaan dari suatu negara dengan negara lain, perkawinan antara seorang pria dan wanita yang berbeda kewarganegaraan, bisa juga perkawinan antara pria dan wanita yang memiliki kewarganegaraan  yang sama menikah di negara asing atau seseorang yang berkewarganegaraan tertentu berdomisili di negara asing. Hubungan Hukum ini kemudian memunculkan suatu hubungan hukum perdata  yang bersifat internasional atau disebut dengan hubungan hukum perdata internasional.

Adapun yang menjadi perbedaan di antara keduanya adalah terlihat dari sumber hukumnya. Hubungan hukum internasional publik bersumber pada norma-norma hukum internasional yang diakui , sebagai mana diatur dalam pasal 38 ayat (1) Statuta Makhkamah Internasional. Selain itu pula persoalan yang diatur dalam Hukum Internasional Publik adalah persoalan yang bersifat publik, yang mengatur hubungan antara negara dengan negara lain atau antara negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.

Pada Hukum Perdata Internasional yang menjadi sumber hukum adalah Hukum Nasional (domestik) law dari pihak-pihak yang berperkara hal ini dikarenakan tiap-tiap individu yang berbeda negara tunduk pada hukum nasional negaranya masing-masing. Kata Internasional yang terdapat pada hukum perdata internasional terletak pada unsur asing yang terdapat dalam perkara hukum perdata internasional tersebut. Unsur asing tersebut dapat berupa status personalitas (person) dari pihak-pihak yang berperkara atau unsur teritorialitas tempat dimana peristiwa atau hubungan hukum tersebut terjadi.

________________________________________________________________________________1


Jadi, Pada dasarnya antara Hukum Internasional dan Hukum Perdata Internasional tidak dapat  disamakan. Hal ini karena terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar.
Pertama ditinjau dari sumber hukumnya Hukum Internasional Publik bersumber pada sumber hukum internasional yang diatur dalam pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional. Berbeda dengan Hukum Perdata Internasional yang bersumber pada hukum nasional (domestic law) dari pihak-pihak yang terkait dengan perkara HPI tertentu.

Kedua dilihat dari sifat persoalan atau perkara yang dihadapi maka hukum internasional publik mengatur persoalan yang sifatnya publik, contohnya , kerja sama antar negara , pendirian organisasi internasional atu hubungan diplomatik dan konsuler antar negara.
Hal ini berbeda dengan Hukum Perdata Internasional yang sifat persoalan atau perkara yang dihadapinya adalah hal-hal yang bersifat perdata (privat) , contohnya , perkawinan campuran beda negara, atau kontrak bisnis yang melibatkan pihak yang berbeda kewarganegaraan.

Oleh karena yang menjadi subjek dalam suatu perkara hukum perdata internasional, tunduk pada hukum nasionalnya (domestic law) masing-masing, kemudian menyebabkan benturan yuridiksi antara hukum nasional masing-masing subjek perkara hukum perdata internasional tersebut untuk memberlakukan hukum mana yang akan diberlakukan. Dari  hal ini maka peran Hukum Perdata Internasional adalah untuk menentukan hukum mana yang akan diberlakukan terhadap suatu perkara yang di dalamnya terdapat unsur-unsur asing.

Dalam memecahkan sebuah perkara hukum perdata internasional terdapat sebuah ajaran atau doktrin yang mengatur tentang penunjukan kembali atau yang lebih familiar dengan sebutan renvoi. Secara umum Renvoi dapat dikatakan sebagai penunjukan kembali atau penunjukan lebih lanjut oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah HPI lex fori.

Dalam hal ini ketika dalam pemecahan suatu perkara hpi yang mengunakan renvoi, maka hakim (forum) yang mengadili suatu perkara HPI pada awalnya berdasarkan lex fori melakukan penunjukan terhadap hukum asing sebagai lex causae dalam penyelesaian perkara hpi tersebut. Kemudian ternyata di dalam lex causae terdapat sebuah kaidah hpi yang melakukan penunjukan kembali terhadap lex fori atau sistem hukum lain sebagai hukum yang harusnya digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Terkait dengan doktrin renvoi ini maka saya berusaha untuk menjelaskan penerapan single renvoi dalam sebuah kasus hukum perdata internasional yang akan dibahas pada bagian selanjutnya  dari tulisan ini saya berusaha untuk membahas bagaimana penerapan single renvoi dalam penyelesaian perkara HPI dalam kasus The Forgo Case 1879.





________________________________________________________________________________2



1.2. Rumusan Masalah

1.      Bagimana penerapan single Renvoi dalam penyelesaian perkara Hukum Perdata Internasional dalam kasus The Forge Case
2.      Apakah alsan-alasan yang digunakan oleh Lex fori dan Lex causae dalam pelaksanaan Renvoi tersebut ?
3.      Bagaimana penggunaan Renvoi dalam HPI ?

1.3. Tujuan Permasalahan

1.      Untuk mengetahui penerapan single Renvoi dalam Penyelesaian Hukum Perdata Internasional yang terdapat dalam kasus The Forge Case
2.      Untuk mengetahui alasan-alasan yang digunakannya oleh Lex Fori dan Lex Causae dalam pelakasanaan Renvoi
3.      Untuk mengetahui proses Penggunaan Renvoi dalam HPI ?










________________________________________________________________________________3


BAB II
PEMBAHASAN

1.       Penyelesaian Sengketa The Forgo Case

Perkara The Forgo Case merupakan perkara mengenai masalah waris yang diajukan ke pengadilan prancis. Awal mula kasus ini dimulai dengan meninggalnya seorang pria berkewarganegaraan Jerman (bavaria) yang bernama Forgo. Sejak usia 5 tahun forgo menetap di prancis tanpa berupaya memperoleh tempat kediaman resmi (domicile) di prancis. Di ketahui juga bahwa forgo merupakan anak luar kawin. Pada tahun 1879 ia meninggal di prancis tanpa meninggalkan testamen (wasiat) , ia meninggalkan harta benda berupa sejumlah benda-benda bergerak di prancis. Berdasarkan hukum prancis  terkait dengan warisan anak luar kawin harta warisan jatuh kepada negara. Akan tetapi menurut hukum  jerman (bavaria)  saudara-saudara kandung  berhak untuk mendapat harta warisan dari saudara kandungnya yang merupakan anak luar kawin. Terkait dengan harta peninggalan forgo ini kemudian timbul tuntutan (gugatan) yang diajukan oleh saudara-saudara kandungnya di pengadilan prancis terhadap pemerintah prancis. Untuk menyelesaikan perkara ini, terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh hakim (forum) prancis.

Pertama tahapan yang harus dilakukan adalah hakim (forum) harus menentukan apakah persoalan yang dihadapi ini merupakan perkara HPI atau  bukan. Dalam hal ini hakim akan menghadapi persoalan hukum dalam wujud sekumpulan fakta hukum  yang mengandung unsur-unsur asing (foreignt elements). Pada tahap ini hakim (forum) menyadari fakta-fakta di dalam perkara yang menunjukan adanya keterkaitan antara perkara dengan  tempat-tempat asing (tempat-tempat di luar wilayah forum). Fakta-Fakta ini disebut dengan Titik –Titik Pertalian Primer (Primary point of contact). Adanya titik-titik pertalian primer ini dalam sebuah perkara menunjukan seseorang sedang menghadapi perkara HPI.

Yang dimaksud dengan Titik –Titik Pertalian Primer adalah  unsur-unsur yang menunjukan bahwa suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa hukum perdata internasional  dan bukan suatu peristiwa intern nasional.  Dapat juga di definisikan bahwa titik-titik pertalian primer adalah fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara (HPI) yang menunjukan pertautan antara perkara itu dengan suatu tempat tertentu, dan karena itu menciptakan relevansi antara perkara yang bersangkutan dengan kemungkinan berlakunya sistem/aturan hukum intern tempat itu. Unsur-unsur yang tergolong sebagai titik pertalian primer adalah sebagai berikut :
a.      Kewarganegaraan
b.      Bendera kapal atau pesawat
c.       Domisili
d.      Tempat kediaman
e.      Tempat kedudukan badan hukum
f.        Pilihan hukum dalam hubungan hukum internasional
g.      Tempat dilaksanakannya perbuatan melawan hukum
h.      Tempat terletaknya benda
Jika  di lihat lebih lanjut fakta hukum pada kasus forgo diatas, dapat di tarik kesimpulan bahwa pada dasarnya yang menjadi titik-titik pertalian primer adalah kewarganegaran dan tempat kediaman sehari-hari (habitual residence). Dimana forgo merupakan seorang yang

________________________________________________________________________________4


berkewarganegaraan jerman (bavaria) sedangkan sehari-harinya ia berdiam (tempat kediaman) di prancis. Jadi dapat disimpulkan pula bahwa kasus forgo ini merupakan perkara HPI karena adanya benturan yurisdiksi antara hukum nasional (domestic law) dari negara jerman dan prancis. 

Setelah titik-titik pertalian primer dari kasus tersebut diketahui, dan telah ditetapkan bahwa hal tersebut merupakan perkara hukum perdata internasional, maka tahap yang harus dilanjutkan adalah mementukan apakah hakim (forum) mempunyai kewenangan yurisdiksional untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang tersebut. Untuk menentukan hal ini maka hakim harus berpegang pada kaidah-kaidah dan asas-asas hukum acara perdata internasional yang berlaku dan merupakan bagian dari sistem HPI lex fori (sistem hukum negara asal hakim yang memeriksa perkara).

            Dari kasus forgo tersebut diketahui bahwa perkara diajukan kepada pengadilan (forum) prancis, oleh karena itu hakim (forum) prancis harus menentukan apakah hakim prancis memiliki kewenangan/kompetensi yurisdiksional untuk mengadili kasus forgo tersebut. Untuk menentukan apakah hakim (forum) prancis berwenang , maka hakim harus berpegang pada kaidah-kaidah atau asas –asas hukum acara perdata internasional yang berlaku dan merupakan bagian dari sistem HPI lex fori (hukum acara pada pengadilan prancis). 

Adapun kaidah atau asas-asas yang mengatur tentang kewenangan yurisdiksional forum untuk mengadili suatu perkara HPI , terdiri atas beberapa macam yaitu.
a)      Asas sequitor forum rei , bahwa gugatan diajukan ke pengadilan , tempat dimana tergugat bertempat tinggal .
b)      Asas  Forum of convinience adalah suatu prinsip bahwa pengajuan perkara sebaiknya dilakukan di tempat tergugat karena untuk memberikan kemudahan kepada tergugat . Antara lain tergugat dapat melakukan pembelaan.
c)      Principle effectiviness (asas efektifitas), adalah suatu prinsip bahwa suatu perkara sebaiknya diajukan ke pengadilan mana hakim akan mudah untuk melakukan eksekusi.
d)      Asas forum solutionis contractus  yaitu asas yang menjadi dasar penetapan yurisdiksi  bagi forum dari tempat mana  suatu perikatan dianggap telah dilaksanakan atau seharusnya dilaksanakan
e)      Asas pengadilan tempat pihak berkedudukan yang lebih lemah
Yaitu asas yang memberikan kewenangan yurisdiksional pada pengadilan tempat  dimana pihak dalam transaksi hukum memiliki kedudukan lebih lemah, khususnya pihak konsumen dalam transaksi –transaksi konsumen atau pihak buruh dalam transaksi hubungan kerja.
f)       Asas Pengadilan yang dipilih oleh para pihak
Yaitu asas yang merupakan manifestasi dari “asas kebebasan berkontrak”. Dimana para pihak dapat menentukan sendiri pengadilan yang dianggap memiliki yurisdiksi eksklusif untuk menyelesaikan  perkara-perkara yang timbul dalam hubungan mereka.
g)      Asas forum rei sitae yaitu asas yang menjadi dasar penetapan kewenangan yurisdiksional forum atas perkara yang menyangkut hak kebendaan atas benda-benda tetap.
h)      Asas forum delicti , yaitu asas yang digunakan untuk penentuan adanya kewenangan yurisdiksional dalam perkara perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).



________________________________________________________________________________5


i)        Asas forum connexitatis , yaitu asas yang memberikan kewenangan mengadili pada forum yang telah memiliki yurisdiksi untuk memeriksa pokok perkara dan juga  gugat balik asas ini dapat digunaka  jika tidak ada forum lain yang memiliki yurisdiksi ekslusif atau yurisdiksim karena pilihan para pihak.
j)        Asas forum aresti, yaitu asas pada perkara yang menyangkut muatan atau kapal yang ditahan  yang memberikan kewenangan yurisdiksional pada pengadilan dimana tempat kapal muatan itu ditahan

Dari berbagai macam asas terkait dengan kewenangan yurisdiksional ini , maka hakim prancis  harus menyatakan memiliki kewenangan yurisdiksional berdasarkan kasus  forgo . Hal ini dikarenakan yang menjadi pihak tergugat dalam hal ini adalah pemerintah prancis (Asas sequitor forum rei dan Asas  Forum of convinience)

Setlah kemudian ditetapkan hakim (forum ) prancis memiliki kewenangan untuk mengadili (kewenangan yurisdiksional ) atas perkara HPI, maka tahapan selanjutnya yang harus dilakukan oleh hakim (forum) adalah menentukan sistem hukum intern negara mana /apa yang harus diberlakukan untuk menyelesaikan perkara hukum yang mengandung unsur-unsur asing itu atau menentukan lex causae.

Untuk menentukan lex causae atas perkara maka hakim perlu untuk menentukan titik-titik pertalian sekunder yang bersifat menentukan untuk menunjuk ke arah lex causae. Titik –titik pertalian sekunder ini harus ditemukan dalam kaidah /aturan/asas hpi yang tepat dan relevan yang digunakan pada perkara yang sedang dihadapi kaidah atau asas hpi yang dimaksud adalah asas HPI lex fori.

a)      Tempat terletaknya benda
b)      Kewarganegaraan
c)      domisili pemilik benda bergerak
d)      Tempat dilangsungkannya perbuatan hukum
e)      Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum
f)       Tempat diresmikan pernikahan
g)      Tempat ditanda tanganinya kontrak
h)      Tempat dilaksanakannya kontrak
i)        Pilihan hukum
j)        Bendera kapal atau pesawat
k)      Tempat kediaman
l)        Tempat kedudukan atau kebangsaan badan hukum

Dalam hal ini maka hakim harus terlebih dahulu menetukan kualifikasi fakta dan kualifikasi hukum yang tepat dari perkara berdasarkan kategori  yuridik yang dikenal oleh hakim dalam lex fori. setelah itu barulah hakim menentukan kaidah HPI lex fori yang relevan dalam rangka penunjukan ke arah lex causae (hukum negara yang ditunjuk oleh kaidah HPI lex fori). 

Dalam kasus forgo yang dihadapi hakim prancis ini maka hakim (forum) prancis haruslah terlebih dahulu melihat fakta-fakta yang terjadi. Diketahui bahwa fakta-fakta hukum yang terjadi bahwa forgo yang merupakan seorang anak luar kawin meninggal di prancis meninggalkan sejumlah harta warisan di prancis. kemudian harta peninggalan tersbut di
tuntut oleh saudara-saudara kandungnya. Oleh karena itu kemudian berdasarkan kualifikasi
________________________________________________________________________________6


fakta ini hakim (forum) harus menentukan kualifikasi hukum berdasarkan kategori yuridik di dalam lex fori, bahwa kasus ini merupakan gugatan mengenai hak dan kedudukan ahli waris dari seorang anak luar kawin.

Setelah kualifikasi fakta dan kualifikasi hukum dilakukan maka hakim kemudian menentukan kaidah HPI lex fori yang tepat untuk perkara tersebut.Diketahui bahwa perkara terkait dengan masalah ahli waris dari anak luar kawin maka yang digunakan adalah kaidah HPI prancis yang relevan dengan perkara itu. Kaidah HPI Prancis yang relevan untuk perkara forgo adalah sbb :

“Bahwa persoalan pewarisan benda-benda bergerak harus diatur berdasarkan hukum dari tempat dimana pewaris menjadi warga negara”.

Dari kaidah HPI diatas maka diketahui bahwa titik pertalian sekundernya adalah tempat diman pewaris menjadi warga negara (kewarganegaraan atau lex patriae) ,yakni  negara jerman (bavaria). Oleh karena itu kemudian yang menjadi lex causae nya adalah hukum jerman (bavaria).

Setelah lex causae ditemukan maka sebenarnya hakim (forum) tinggal memutus perkara dengan lex causae namun persoalannya semakin rumit jika ternyata kaidah HPI lex Causae melakukan penunjukan kembali untuk digunakannya hukum lex fori. Hal ini lah yang kemudian disebut dengan Renvoi (penunjukan kembali).

Adapun yang dimaksud dengan renvoi (penunjukan kembali) adalah penunjukan kembali atau penunjukan lebih lanjut oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah HPI lex fori.

Munculnya renvoi ini adalah ketika terjadi suatu masalah ketika hakim mencoba untuk  mendefinisikan  “apa yang dimaksud dengan menunjuk ke arah  suatu sistem hukum tertentu itu ? Dari hal ini kemudian timbul  dua pengertian yang berbeda yaitu :

a)      Penunjukan ke arah kaidah-kaidah hukum intern (sachnormen) dari suatu sistem hukum tertentu. penunjukan semacam ini dalam bahasa jerman dinamakan sachnormenveweisung.
b)      Penunjukan ke arah keseluruhan sistem hukum tertentu , yang artinya  prima facie, adalah kaidah-kaidah HPI (kollisonsnormen) dari sistem hukum tersebut. penunjukan semacam ini dinamakan gesamtverweisung.

Untuk menjelaskan perbedaan antara sachnormenverweisung dengan gesamtverweisung ini maka akan diberikan contoh sbb. Berdasarkan kasus HPI  tertentu maka hukum yang digunakan adalah hukum inggris, yang dipertanyakan apakah yang diartikan hukum inggris itu . dalam hal ini terdapat dua kemungkinan.
a)      Hukum intern inggris (domestic muncipal law) yang berlaku di negara inggris untuk hubungan hukum antara sesama orang inggris atau.
b)      Bukan saja hukum intern tetapi ditambah dengan kaidah-kaidah HPI inggris, jadi termasuk di dalamnya kaidah-kaidah mengenai “Choice of Law” (HPI) Inggris.




________________________________________________________________________________7


Jadi dari contoh ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan sachnormenverweisung adalah hukum intern dari suatu negara sedangkan gesamtverweisung merupakan kesluruhan sistem hukum termasuk  hukum inten dan kaidah HPI (kollisonsnormen).

Renvoi hanya mungkin dilaksanakan jika kaidah HPI lex fori menunjuk ke arah suatu sistem hukum asing dalam arti gesamtverweisung.Artinya, penunjukan itu diarahkan kepada kaidah HPI asing yang dianggap relevan dengan perkara yang sedang dihadapi.

Namun seorang hakim dapat dikatakan menerima atau menolak suatu penunjukan kembali atau proses renvoi. Penerimaan atau penolakan renvoi adalah sikap atau policy yang dianut oleh suatu sistem hukum tertentu atau seorang hakim tertentu . Hal ini perlu di singgung untuk menegaskan bahwa suatu proses renvoi betul-betul-merupakan tindakan oleh sebuah pengadilan /hakim yang dilandasi proses berpikir hakim sendiri dan sama sekali tidak melibatkan hakim asing yang akan menunjuk kembali ke arah forum yang pertama.



Dalam hal proses renvoi dijalankan oleh hakim maka terdapat beberapa kemungkinan yang bisa terjadi.

a)      Jika kaidah HPI suatu sistem hukum (lex fori) menunjuk ke arah sistem hukum asing dan penunjukan langsung itu dianggap sebagai sachnormenverweisung ke arah kaidah hukum intern dapat di katakan bahwa hakim telah menolak renvoi.
b)      Jika kaidah HPI suatu sistem hukum (lex fori) menunjuk ke arah sistem hukum asing dan penunjukan itu dianggap sebagai gesamtverweisung (termasuk kaidah-kaidah HPI Asing)  dan ada kemungkinan bahwa kaidah HPI sistem hukum asing itu akan menunjuk kembali ke arah lex fori atau menunjuk lebih lanjut ke arah sistem hukum ketiga . Penunjukan inilah yang disebut dengan proses renvoi.
c)      Apabila penunjukan kembali ke arah lex fori dianggap sebagai penunjukan ke arah seluruh sistem hukum lex fori , termasuk kaidah HPI lex fori (gesamtverweisung) ,  fakta ini menunjukan bahwa Pengadilan telah menolak renvoi.
d)      Akan tetapi jika hakim (lex fori) mengangap bahwa penunjukan kembali (atau lebih lanjut ) dianggap sebagai sachnormenverwesiung dan mengarah pada kaidah-kaidah hukum intern lex fori (atau sistem hukum lain), pengadilan  dalam hal ini dianggap telah menerima renvoi.

Dari uraian diatas terlihat bahwa dalam HPI , orang mengenal dua jenis  single renvoi,yakni :

1.      Remission
Remission yaitu proses renvoi oleh kaidah HPI asing kembali ke arah lex fori .Karena itu, dalam remission penunjukan pertama berlangsung dari kaidah HPI forum ke kaidah HPI asing (gesamtverweisung) karena sebelumnya  diketahui bahwa kaidah HPI asing itu dalam penunjukan kedua akan menunjuk kembali kearah lex fori. Jika forum menerima renvoi , penunjukan kembali ini akan dianggap sebagai sachnormverweisung ke arah hukum intern forum lex fori.



________________________________________________________________________________8


2.      Transmission
Transmission yaitu proses renvoi oleh kaidah HPI asing ke arah suatu sistem hukum asing lain. Dalam hal ini penunjukan pertama berlangsung dari kaidah HPI forum lex fori ke arah kaidah HPI asing (gesamtverweisung) yang sebelumnya telah diketahui akan menunjuk lebih lanjut ke arah sistem hukum ketiga . Karena hakim berniat memberlakukan aturan hukum intern dari hukum ketiga itu , penunjukan kedua akan dianggap sebagai sachnormenverweisung.

Kembali pada kasus forgo,ternyata hakim prancis ketika melakukan penunjukan ke arah hukum jerman (bavaria) sebagai lex causae dimaksudkan kepada keseluruhan sistem hukum jerman (bavaria) sehingga hal ini merupakan gesamtverweisung yang mengarah pada kaidah HPI jerman (bavaria). Adapun di dalam sistem hukum jerman (bavaria), kaidah-kaidah yang mengatur tentang perkara pewarisan ini adalah sebagai berikut.



Dalam kaidah HPI Jerman (Bavaria) : 

“Kaidah HPI jerman (bavaria) yang mengatur soal pewarisan menetapkan bahwa pewarisan benda-benda bergerak harus tunduk pada hukum dari tempat dimana pewaris bertempat tinggal (habitual residence).

Dalam  kaidah Hukum intern Jerman (bavaria) : 
“Hukum perdata intern jerman (bavaria) menetapkan bahwa saudara-saudara kandung dari seorang anak luar kawin tetap berhak menerima harta peninggalan dari anak luar kawin yang bersangkutan.

Jika kasus ini diselesaikan dengan kaidah hukum intern lex causae (hukukm perdata intern jerman (bavaria), maka saudara-saudara kandung dari forgo berhak mendapatkan harta waris berupa benda bergerak peninggalan forgo. Namun karena hakim prancis melakukan penunjukan ke arah lex causae yang dimaksudkan pada keseluruhan sistem hukum jerman (bavaria) , maka hal ini mencakup kaidah HPI jerman (bavaria).

Karena kaidah HPI jerman (bavaria) mengatur bahwa dalam soal pewarisan benda-benda bergerak harus tunduk pada hukum ditempat dimana pewaris bertempat tinggal dan dalam hal ini forgo yang merupakan pewaris keseharianya bertempat tinggal di prancis maka terjadi penunjukan kembali (renvoi) kepada hukum prancis sebagai lex domicili forgo.

Kemudian di dalam kasus ini karena hakim prancis mengangap penunjukan kembali (renvoi) ini sebagai sachnormverweisung ke arah hukum perdata intern prancis, maka dalam hal ini hakim prancis akan memberlakukan hukum perdata intern (code civil prancis).

Berdasarkan kaidah hukum perdata intern prancis yang mengatur soal pewarisan dikatakan bahwa :

“Harta peninggalan dari seorang anak luar kawin jatuh ke negara.”



_______________________________________________________________________________9


Maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah negara prancislah yang berhak atas harta bergerak peninggalan forgo. Dalam hal ini tergugat yakni pemerintah prancis dimenangkan oleh pengadilan prancis sedangkan pihak penggugat yakni saudara-saudara kandung forgo telah dikalahkan.

2.      Alasan-alasan terjadinya Renvoi

         Berdasarkan uraian pada kasus diatas, dapat diuraikan alasan-alasan dalam pelaksanaan renvoi tersebut :
1.       Dalam  pengambilan  keputusan  yuridis,  klasifikasi  dapat  dikatakan sebagai  penerjemahan  fakta  sehari-hari  ke  dalam  kategori  hukum tertentu  (translated  into  legal  term),  sehingga  dapat  diketahui  arti yuridisnya  (legal  significance).  Penerapannya  dalam  kasus  di  atas, dilihat  dari  fakta  yang  terjadi  sehari-hari  maka  peristiwa  tersebut diklasifikasikan ke dalam hukum perwarisan.
2.      Titik  taut  primer  merupakan  faktor-faktor  atau  keadaan  yang menciptakan  dan  menimbulkan  hubungan  HATAH  yang  lebih dikenal sebagai  titik  taut  pembeda.  Dalam  kasus  ini  dapat  dilihat bahwa unsur asing (Foreign Element) adalah kaidah hukum Jerman.
3.      Titik  taut  sekunder  merupakan faktor-faktor  dan  keadaan-keadaan yang  menentukan  berlakunya  suatu  sistem  hukum  tertentu  atau disebut juga  titik  taut  penentu.  Dalam  hal  ini  dapat  dilihat  dari kaidah-kaidah  HPI  dari  masing-masing  Negara untuk  menentukan hukum  mana yang  berlaku  yang  dalam  hal  ini hingga terjadinya renvoi.


3.      Penggunaan Renvoi dalam HPI

Menurut Cheshire, doktrin renvoi ini tidak dapat digunakan disemua jenis perkara HPI, terutama dalam perkara-perkara yang sedikit banyak berkaitan dengan transaksi-transaksi bisnis, dan setiap tindakan pilihan hukum dalam transaksi-transaksi seperti itu pasti akan dimaksudkan sebagai penunjukan ke arah hukum intern (Sachnormenverweisung). Di dalam pasal 15 dari Konvensi Roma (1980 yang mengikat semua negara anggota Masyarakat Eropa, misalnya, Renvoi tegas-tegas ditolak.
Masalah-masalah HPI yang jika dimungkinkan masih dapat diselesaikan dengan menggunakan doktrin Renvoi adalah masalah validitas pewarisan (testamenter atau intestatis), tuntutan-tuntutan atas benda-benda tetap di negara asing, perkara-perkara yang menyangkut benda bergerak, dan masalah-masalah hukum keluarga (perkawinan, akibat perkawinan, harta perkawinan, status personal, dan sebagainya). Masalah renvoi yang selalu menarik perhatian dari penulis-penulis HPI dari dahulu sampai sekarang, dikenal dengan berbagai istilah. Di Indonesia memilih istilah “Penunjukan Kembali”. Dalamkenyataan orang dapat melakukan penunjukan dengan dua pengertian yang berbeda :
1.      Penunjukan kearah Kaidah-kaidah Hukum Intern (Sachnormen) dari suatu sistem hukumt ertentu. Penunjukan semacam ini dalam bahasa Jerman dinamakan Sachnormenverweisung.
2.      Penunjukan kearah keseluruhan sistem hukum tertentu, yang artinya prima facie, adalah kaidah-kaidah HPI (Kollisionsnormen) dari sistem hukum tersebut. Penunjukan semacam ini dinamakan Gesamtverweisung.
________________________________________________________________________________10


BAB III
KESIMPULAN

Dari pemaparan makalah di atas, dapat diketahui bahwa dalam dunia perdata internasional banyak sekali permasalahan yang harus diselesaikan secara cepat. Penunjukan sistem hukum tertentu merupakan upaya untuk menegakkan keadilan serta memberikan rasa aman bagi pencari keadilan.
Renvoi adalah metode yang relevan sebagai jawaban untuk menyelesaikan masalah, maka perlu kiranya progresifitas yang berkelanjuta dan signifikan guna menjamin adanya keadaan yang seimbang antara pihak-pihak yang berkepentingan.




















________________________________________________________________________________11

                                                           DAFTAR PUSTAKA
Sunarjati Hartono, 1972, Penerapan Single Renvoi di Indonesia, Binacipta, Bandung, hal. 111.
Michael Zander, 1976, Act of State Doctrine, in Twentieth Century of International Law, hal. 409.  Lihat juga F. A. Man, Sacrosantity of Foreign Act of State, LQ. Rev, Vol. 59.
Ida Bagus Wyasa Putra, 2000, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional dalam Renvoi Internasional, Refika Aditama, Bandung, hal. 72.
George Delaume, 1982. Transnational Contracts, American Journal International Law, hal. 15.
Sudargo Gautama, 1987, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudargo Gautama II), hal. 4.




Kalau Mau Copas jangan LUPA KASIH SUMBERNYA ^_^
Dan jangan lupa LIKE + Comment ^_^

2 comments:

  1. Nuhunn nya sim kuring copy tea gening.... jagap kint nganti

    ReplyDelete
  2. izin sya copas yaa... terima kasih .. i like it

    ReplyDelete