Makalah Surat Gugatan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkara
gugatan merupakan perkara yang diajukan ke pengadilan yang didalamnya
terdapat
konflik atau sengketa yang meminta hakim untuk mengadili dan memutus siapa
diantara
pihak-pihak yang bersengketa atau berkonflik tersebut
yang benar. Perkara
gugatan
disini termasuk dalam lingkup perkara perdata yang diatur tersendiri oleh hukum
acara
perdata. Seringkali pengertian gugatan disama artikan dengan permohonan oleh
sebagian orang
yang belum memahami
secara menyeluruh mengenai
hukum acara
perdata. Pada
dasarnya memang gugatan
dan permohonan sama-sama
perkara yang
diajukan ke
pengadilan dalam lingkup
perdata, akan tetapi
letak perbedaanya pada
gugatan didalamnya
terdapat sengeketa yang
harus diselesaikan dan
diputus oleh
pengadilan
sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa. Dalam makalah ini akan
lebih lanjut
dijelaskan mengenai perbedaan gugatan dan permohonan, akan tetapi yang
menjadi
pembahasan utama pada makalah ini adalah mengenai Surat Gugatan dan
persyaratanya
beserta persoal-persoalan yang mungkin timbul di dalam surat gugatan.
1.2. Rumusan masalah
1. Apa
definisi atau pengertian dari pada
surat gugatan ?
2. Apa saja
yang menjadi syarat
dalam formulasi surat
gugatan ?,Dan bagaimana
mekanisme
dalam perubahan gugatan ?
3. Apa yang
dimaksud dengan penggabungan gugatan ?
4. Bagaimana
proses pencabutan gugatan perkara di depan Pengadilan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gugatan/Permohonan
Surat gugatan
adalah suatu surat
yang diajukan oleh
penggugat kepada Ketua
Pengadilan
yang berwenang, yang memuat tuntutan hak
yang di dalamnya mengandung
suatu sengketa
dan sekaligus merupakan
dasar landasan pemeriksaan
perkara dan
pembuktian
kebenaran suatu hak.[1]
1.
Adapun
pengertian daripada surat permohonan adalah suatu permohonan yang di
dalamnya
berisi tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu
hal yang
tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat
dianggap
sebagai suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.
Perbedaan
antara gugatan dan permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada
suatu
sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan.[2]
2.
Dalam
perkara gugatan terdapat dua pihak yang saling berhadapan (yaitu penggugat
dan
tergugat), sedangkan dalam perkara permohonan hanya ada satu pihak saja (yaitu
pemohon).
Namun demikian di Pengadilan Agama ada permohonan yang perkaranya
mengandung
sengketa sehingga di dalamnya ada dua pihak yang disebut pemohon dan
termohon,
yaitu dalam perkara permohonan ijin ikrar talak dan permohonan ijin beristeri
dari
seorang.
B.
Syarat-syarat Surat Gugatan
Yang
dimaksud dengan formulasi surat gugatan adalah perumusan (formulation)
suratgugatan yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum dan
peraturanperundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan itu,
dalam uraian ini
akandikemukakan berbagai ketentuan formil dan materil yang wajib terdapat
dan tercantumdalam surat gugatan. Syarat-syarat tersebut, akan ditampilkan
secara berurutan sesuaidengan sistematika yang lazim dan standar dalam praktik
peradilan.Adapun syarat-syarat dan ketentuan surat gugatan antara lain sebagai
berikut:a. Syarat FormilPada
umumnya syarat formal
yang harus dipenuhi
dalam suatu gugatanadalah:
1. Ditujukan
(Dialamatkan ) kepada PN Sesuai dengan Kompetensi RelatifSurat gugatan, secara
formil harus ditujukan dan dialamatkan kepada PN sesuaidengan kompetensi
relatif. Harus tegas dan jelas tertulis
PN yang dituju sesuaidengan patokan kompetensi relatif yang diatur dalam Pasal
118 HIR. Apabila suratgugatan salah alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi
relatif :- Mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil, karenagugatan
disampaikan dan dialamtkan kepada PN yang berada di luar wilayahhukum yang
berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya;- Dengan demikian, gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima(niet onvankelijkeverklaard) atas alasan hakim
tidak berwenang mengadili.
2. Diberi
TanggalKetentuan undang-undang tidak menyebut surat gugatan harus
mencantumkantanggal. Begitu juga halnya jika surat gugatan dikaitkan dengan
pengertian aktasebagai alat bukti,
Pasal 1868 maupun
Pasal 1874 KUH
Perdata, tidakmenyebutka
pencantuman tanggal di dalamnya. Karena itu, jika bertitik tolak dariketentuan
Pasal 118 ayat (1) HIR dihubungkan
dengan pengertian akta sebagaialat bukti, pada dasarnya tidak mewajibkan
pencantuman tanggal sebagai syarat formil.
3.
Ditandatangani Penggugat atau PenguasaMengenai tanda tangan dengan tegas
disebut sebagai syarat formil surat gugatan.Pasal 118 ayat (1) HIR menyatakan
:- Gugatan perdata harus dimasukkan ke PN sesuai dengan kompetensi
relatif,dan;- Dibuat dalam bentuk
surat permohonan (surat
permintaan) yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh
wakilnya (kuasanya).b. Syarat SubstansialSyarat substansial
dari surat permohonan
gugatan yang diajukan
olehpenggugat, terdapat dalam RV Pasal 8 Nomor 3 yang meliputi:
1.Identitas
Para PihakPenyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat formil
keabsahangugatan. Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak,
apalagi tidakmenyebut identitas tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan
dianggap tidakada. Tentang penyebutan identitas dalam gugatan, sangat sederhana
sekali. Tidakseperti yang disyaratkan dalam surat dakwaan dalam perkara pidana
yang diaturdalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP (meliputi nama lengkap,
agama, tempatlahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agamadan pekerjaan tersangka).
Tidak seluas
itu syarat identitas yang harus disebut dalam surat gugatan. Bertitiktolak dari
ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR, identitas yang harus dicantumkan cukup
memadai sebagai dasar untuk :
●Menyampaikan panggilan,
●Menyampaikan
pemberitahuan
Dengan
demikian, oleh karena tujuan pencantuman agar dapat disampaikanpanggilan atau
pemberitahuan, identitas wajib disebut, cukup meliputi :
- Nama
Lengkap
Nama terang
dan lengkap, termasuk
gelar atau alias
(jika ada), maksudmencantumkan gelar atau alias, untuk
membedakan orang tersebut denganorang lain yang kebetulan namanya sama pada
lingkungan tempat tinggal.[3]
- Alamat
atau Tempat Tinggal
- Penyebutan
identitas lain, tidak imperative
2. Posita
(Fundamentum petendi)
Mengacu pada
Rv Pasal 8 Nomor 3 menyebutkan pula posita dan petitum sebagai
pokok yang
harus dipenuhi dalam surat gugatan. Posita merupakan dalil-dalil
konkret
tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-
alasan daripada
tuntutan. Uraian tentang
kejadian-kejadian atau peristiwa-
peristiwa harus
dijelaskan secara runtut
dan sistematis sebab
hal tersebut
merupakan
penjelas duduknya perkara sehingga adanya hak dan hubungan hukum
yang menjadi
dasar yuridis daripada tuntutan.
Secara garis
besar dalam posita harus memuat antara lain:
a. Objek
perkara yaitu mengenai hal apa gugatan yang akan diajukan.
b.
Fakta-fakta hukum yaitu hal-hal yang menimbulkan sengketa.
c.
Kualifikasi perbuatan tergugat yaitu suatu perumusan mengenai perbuatan
materiil
maupun moral dari tergugat yang dapat berupa perbuatan melawan
hukum.
d. Uraian
kerugian yang diderita oleh penggugat
3. Petitum
Petitum
adalah apa yang diminta atau diharapkan oleh penggugat agar diputuskan
oleh hakim
dalam persidangan. Petitum ini harus dirumuskan secara jelas, singkat
dan padat
sebab tuntutan yang tidak jelas maksudnya atau tidak sempurna dapat
mengakibatkan
tidak diterima atau ditolaknya tuntutan tersebut oleh hakim.
Dalam
praktik peradilan petitum dibagi kedalam tiga bagian, yaitu:
1. Tuntutan
pokok atau tuntutan primer
Merupakan tuntutan
sebenarnya atau apa
yang diminta oleh
penggugat
sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam posita.
2. Tuntutan
tambahan.
Merupakan
tuntutan pelengkap daripada tuntuntan pokok.
3. Tuntutan
subsidier atau pengganti.
Merupakan tuntutan
yang diajukan penggugat
untuk mengantisipasi
kemungkinan tuntutan
pokok dan tuntutan
tambahan tidak diterima
oleh
hakim.[4]
C. Perubahan
Gugatan
Permasalahannya
selanjutnya mengenai gugatan adalah perubahan gugatan.
Apakah
penggugat boleh melakukan perubahan gugatan ? Pertanyaan ini mengandung
-dua sisi
kepentingan. Satu segi, dalam kenyataan praktik, dibutuhkan perubahan
gugatan agar
tidak mengalami cacat
formil (obscuur libel).
Pada segi lain,
membolehkan
perubahan gugatan, dapat mendatangkan kerugian kepada tergugat.
Bahkan bisa
menimbulkan proses pemeriksaan
terhambat yang dapat
merugikan
kepentingan
tergugat.
Sehubungan
dengan ini, jika perubahan gugatan dibenarkan, perlu dilindungi
kepentingan
para pihak secara seimbang dan proporsional, sehingga terbina suatu
kerangka
tata tertib, bahwa kebolehan penggugat melakukan perubahan gugatan pada
satu segi,
tidak merugikan kepentingan tergugat membela diri pada segi lain. Keadaan yang
seperti itulah yang dibahas pada bagian ini, berisi penjelasan tentang ruang
lingkup
perubahan gugatan yang dibenarkan hukum dengan mempergunakan Pasal
127 Rv dan
praktik peradilan sebagai sumber.
a. Syarat
Perubahan Gugatan
Pasal 127
Rv, tidak menyebut syarat formil mengajukan perubahan gugatan.
Meskipun
demikian ternyata praktik peradilan menentukan syarat formil keabsahan
pengajuan perubahan.
MA dalam buku
pedoman[5]
yang diterbitkannya, memuat
persyaratan
formil.
a).
Pengajuan Perubahan pada Sidang yang Pertama Dihadiri Tergugat
Syarat
formil ini, ditegaskan oleh MA dalam buku pedoman, yang menyatakan :
- Diajukan
pada hari sidang pertama, dan
- Para pihak
hadir
Memperhatikan ketentuan
tersebut, penggugat tidak
dibenarkan mengajukan
perubahan
gugatan:
- Di luar
hari sidang, dan
- Juga pada
sidang yang tidak dihadiri tergugat.
Syarat ini beralasan,
demi melindungi kepentingan
tergugat membela diri.
Jika
perubahan
dibenarkn di luar sidang dan di luar
hadirnya tergugat ; dianggap sangat
merugikan
kepentingan tergugat.
b. Memberi
Hak kepada Tergugat Menanggapi
Syarat
formil ini pun digariskan oleh MA, yang menyatakan :
- Menanyakan
kepada tergugat tentang peubahan itu,
- Serta
memberi hak dan kesempatan untuk menanggapi
dan membela kepentingannya.
Berbeda
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Subekti[6],
yang menyatakan,
bahwa
pemberian kesempatan kepada tergugat membela diri bukan menjadi syarat
formil.
c. Tidak
Menghambat Acara Pemeriksaan
Syarat ini
dikemukakan Asikin dalam cacatan perkara No. 943 K/Pdt/1984.
Ditegaskan, kebolehan
perubahan gugatan tidak
menghambat acara pemeriksaan
perkara.
Syarat ini
dapat disetujui, meskipun agak sulit mengontruksikannya secara
konkrit. Akan
tetapi secara umum
dapat dikemukakan, apabila
perubahan itu
sedemikian rupa,
sehingga hakim memperkirakan, secara
objektif perubahan
mengakibatkan proses
tahap replik-duplik yang
sudah berlangsung terpaksa
diperpanjang, perubahan
dikategorikan mempersulit dan menghambat jalannya
pemeriksaan.
Akan tetapi perlu diingat, syarat ini harus diterapkan secara cermat dan
kasuistik.
D. Batas
Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan
Mengenai
batas waktu pengajuan perubahan muncul
beberapa versi.
a. Sampai
Saat Perkara Diputus
Tenggang
batas jangka waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv
yang
menyatakan, penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutan sampai saat
perkara diputus.
Berarti, selama persidangan
berlangsung, penggugat berhak
melakukan dan
mengajukan perubahan
gugatan. Sebagaimana yang
diungkapkan
Asikin,
mendukung penerapan yang demikian.
Pada cacatan
yang diberikan pada Putusan MA No 943 K/Sip/1987, 1987, 19
September 1985,
terdapat penegasan yang
memperbolehkan perubahan gugatan
selama
persidangan. Kita kurang setuju dengan ketentuan batas jangka waktu ini.
Pemberian hak
melakukan perubahan gugatan
sepanjang atau selama
proses
pemeriksaan,
apalagi sampai putusan dijatuhkan ; dianggap merupakan kesewenangawenangan tergugat.
Dari segi lain,
kebolehan yang demikian,
secara nyata dan
objektif
dapat menghambat penyelesaian perkara. Misalnya, pada saat putusan hendak
dijatuhkan,
penggugat mendadak mengajukan perubahan gugatan yang memerlukan
pembelaan
dari pihak penggugat. Tindakan tersebut jelas menghambat penyelesaian
serta
mengandung kesewenang-wenangan dari
pihak penggugat. Oleh karena itu,
sangat
beralasan memodifikasi ketentuan itu ke arah jangka waktu yang layak dan
realistik.
b. Batas
Waktu Pengajuan pada Hari Sidang Pertama
Penggarisan
batas jangka waktu pengajuan hanya boleh dilakukan pada hari
sidang
pertama, ditegaskan dalam Buku Pedoman yang diterbitkan MA.[7] Selain
harus diajukan pada hari sidang pertama, disyaratkan para pihak harus hadir.
Ditinjau dari
segi hukum,
perubahan gugatan bermaksud untuk memperbaiki dan menyempurnakan
gugatan.
Oleh karena itu, dianggap tidak realistis membatasinya hanya pada sidang
pertama. Terkadang
perbaikan atau perubahan itu, baru disadari setelah tergugat
menyampaikan
jawaban. Oleh karena itu, pedoman batas waktu yang digariskan MA
tersebut, dianggap
terlampau restriktif. Sangat
menghambat hak penggugat
melakukan
perubahan gugatan.
c. Sampai
pada Tahap Replik-Duplik
Kalibarang
batas jangka waktu pengajuan perubahan yang dianggap layak dan
memadai
menegakkan keseimbangan kepentingan para pihak adalah sampai tahap
replik-duplik
berlangsung. Praktik peradilan cenderung menerapkannya. Misalnya,
dalam
Putusan MA No. 546 K/Sep/1970,
menggariskan perubahan gugatan tidak
dapat dibenarkan
apabila tahap pemeriksaan
sudah selesai, konklusinya
sudah
dikemukakan
dan kedua belah pihak telah memohon putusan.
Memperhatikan variabel
batas jangka yang
dikemukakan, terdapat dua
pembatasan
yang saling bertolak belakang secara ekstrim :
Batas jangka waktu yang ditentukan pada Pasal Rv, dianggap
terlampau leluasa
memberi hak
kepada penggugat melakukan perubahan, mulai dari proses persidangan
sampai
putusan belum dijatuhkan;
-
Sebaliknya, pada batas waktu yang digariskan MA dalam Buku Pedoman, dianggap
terlampau
resriktif atau sempit, hanya memberi hak pada hari sidang pertama.
Sehubungan
dengan sifat ekstrimitas yang melekat pada kedua penggarisan
tersebut, dihubungkan
dengan segala kelemahan
yang terkandung di dalamnya,
kurang tepat
untuk menerapkannya. Lebih baik menerapkan tenggang waktu yang
bersifat
moderat. Membolehkan mengajukan perubahan tidak hanya terbatas pada
sidang
pertama, tidak juga dibenarkan selama proses pemeriksaan berlangsung, tetapi
dibolehkan
sampai proses pemeriksaan memasuki tahap replik dan duplik.
E.
Penggabungan Gugatan
Secara
teknis mengandung pengertian penggabungan beberapa gugatan dalam
satu
gugatan. Disebut juga kumulasi gugatan atau samenvoeging van vordering, yaitu
penggabungan dari
lebih satu tuntutan
hukum ke dalam
satu gugatan.[8] Pada
prinsipnya,
setiap gugatan harus berdiri sendiri. Masing-masing gugatan diajukan
dalam surat
gugatan yang terpisah secara tersendiri, dan diperiksa dan diputus dalam
proses pemeriksaan
dan putusan yang terpisah dan berdiri sendiri. Akan tetapi dalam
hal dan
batas-batas tertentu, dibolehkan melakukan penggabungan gugatan dalam satu
surat gugatan,
apabila antara satu
gugatan dengan gugatan
yang lain terdapat
hubungan
erat atau koneksitas.[9]
Hukum positif tidak
mengatur penggabungan gugatan.
Baik HIR maupunRBG, tidak mengaturnya. Begitu juga Rv, tidak mengatur
secara tegas, dan tidak pulamelarang. Yang
dilarang Pasal 103 Rv,
hanya terbatas pada penggabungan ataukumulasi gugatan antara tuntutan hak
menguasai (bezit) dengan tuntutan hak milik.Meskipun HIR dan RBG maupun Rv
tidak mengatur, peradilan sudah lamamenerapkannya. Supomo menunjukkan salah
satu putusan Road Justisie Jakarta pada tanggal 20
juni 1939 yang
memperbolehkan penggabungan gugatan,
denganpertimbangan antara gugatan-gugatan itu,
terdapat hubungan erat
(innerlijkesamenhang).
Pendapat
yang sama, ditegaskan dalam Putusan MA No. 575 K/Pdt/1983[10]yang
menjelaskan antara lain :
Meskipun
Pasal 393 ayat (1) HIR mengatakan hukun acara yang diperhatikanhanya HIR, namun
untuk mewujudkan tercapai process doelmatigheid, dimungkinkanmenerapkan lembaga
dan ketentuan acara di luar yang diatur dalam HIR, asal dalampenerapannya
berpedoman kepada ukuran:
1.
Benar-benar untuk memudahkan atau menyederhanakan proses pemeriksaan.
2.
Menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan.
Berdasarkan
alasan tersebut, boleh dilakukan penggabungan (samenvoging)atau kumulasi
objektif maupun subjektif,
dengan syarat terdapat
innerlijkesamenhangen atau koneksitas erat diantaranya.Kumulasi ialah
gabungan beberapa gugatan hak atau gabungan beberapa pihakyang mempunyai akibat
hukum yang sama, dalam satu proses perkara. Ada beberapamacam kumulasi[11]:
a. Voeging,
masuknya pihak ke tiga ke dalam suatu untuk membantu salah satupihak menghadapi
pihak lawan. Dalam hal ini pihak ke tiga berkedudukansebagai penggugat dan
tergugat.
b.
Vrijwaring, ialah pihak ke tiga ditarik oleh tergugat dengan maksud agar
iamenjadi penanggung bagi tergugat.
c.
Tussencomst, ialah pihak
ke tiga masuk
dalam satu proses
perkara yangsedang berjalan
untuk membela kepentingannya sendiri. Dengan
demikianintervensi di sini berhadapan dengan penggugat dan tergugat
secara langsung,tetapi dibolehkan sampai
proses pemeriksaan memasuki
tahap replik danduplik.
F.
Pencabutan Gugatan
Salah satu
permasalahan hukum yang
mungkin timbul dalam
prosesberperkara di depan
pengadilan adalah pencabutan gugutan. Pihak penggugatmencabut gugatan
sewaktu atau selama proses pemeriksaan berlangsung. Alasanpencabutan sangat
bervariasi. Diantaranya disebabkan
gugatan yang diajukantidak sempurna.
Atau dasar dalil
gugatan tidak kuat
atau dalil gugatanbertentangan dengan hukum dan
sebagainya.[12]
Pencabutan
merupakan hak penggugat, sama halnya dengan pengajuangugatan merupakan hak
melekat pada diri penggugat. Satu sisi hukum memberihak kepadanya mengajukan
gugatan, apabila hak dan kepentingannya dirugikanoleh pihak lain. Pada sisi
lain wajar dan layak pula memberi hak kepadanya untukmencabut gugatan apabila
dianggapnya hak dan kepentingannya tidak dirugikan.
●Cara
Pencabutan
Cara
pencabutan, berpedoman pada ketentuan
Pasal 272 Rv
sebagairujukan. Ajakan mempergunakan Pasal 272 Rv sebagai rujukan,
bertujuan untukmemiliki landasan penerapan yang sama antara pencari keadilan
dengan peradilan.
Bertitik
tolak dari ketentuan Pasal 272 Rv, terdapat
beberapa hal yang perludijelaskan
dalam pelaksanaan pencabutan gugatan[13].
a. Yang
Berhak Melakukan PencabutanAgar pencabutan sah menurut hukum, harus dilakukan
oleh orang yangberhak. Menurut Pasal
272 Rv yang
berhak melakukan pencabutan
adalahsebagai berikut:
1) Penggugat
sendiri secara Pribadi
Menurut hukum,
penggugat sendiri yang
paling berhak melakukanpencabutan, karena dia sendiri yang
paling mengetahui hak dan kepentingannyadalam kasus yang bersangkutan.
2) Kuasa
yang Ditunjuk Penggugat
Pencabutan juga
dapat dilakukan Kuasa
yang ditunjuk penggugatberdasarkan surat kuasa khusus yang
digariskan Pasal 123 HIR, dan SEMA No. 1Tahun 1971, dan di dalamnya dengan
tegas diberi penguasaan untuk mencabut.Atau dapat juga dituangkan dalam surat
kuasa tersendiri yang secara khususmemberi penegasan untuk melakukan pencabutan
gugatan.Pencabutan yang dilakukan Kuasa yang tidak diberi wewenang untuk
ituoleh penggugat tidak sah (ilegal), dan tindakan Kuasa tersebut dapat dianggapmenyalagunakan wewenang
(abuse of authority)
atau pelampauan bataswewenang (exceeding
its power). Tindakan
Kuasa yang demikian
dapatdikualifikasi perbuatan melawan hukum (onrechemtige dead) berdasarkan Pasal1365 KUH Perdata.
a.
Pencabutan
Gugatan yang belum Diperiksa Dilakukan dengan Surat
b.
Pencabutan
Gugatan yang Sudah Diperiksa dilakukan dalam Sidang
· Akibat Hukum Pencabutan
Pasal 272 Rv
mengatur akibat hukum pencabutan gugatan. Ketentuan pasal ini dapat
dijadikan pedoman dengan
cara memodifikasi dengan
kebutuhan perkembangan. Akibat
hukum pencabutan gugatan yang
dianggap penting diperhatikan,
dapat dijelaskan hal-hal berikut :
- Pencabutan
mengakhiri perkara
- Tertutup
segala upaya hukum bagi para pihak
- Para pihak
kembali kepada keadaan semula
- Biaya
perkara dibebankan kepada penggugat
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Dari uraian
dalam pembahasan, dapat
disimpulkan beberapa sub
pokokpembahasan yang sesuai dengan rumusan masalah dalam makalah
ini.Surat gugatan adalah yang diajukan oleh
penggugat kepada Ketua Pengadilanyang berwenang, yang berisi tuntutan
hak yang di dalamnya mengandung suatusengketa, dan merupakan dasar landasan
pemeriksaan perkara dan pembuktiankebenaran suatu hak.Adapun surat
gugatan, harus memenuhi
syarat formil, yakni
menurutketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
diantaranyasurat gugatan tersebut
diajukan (dialamatkan) kepada
PN sesuai dengankompetensi relatif yang diatur dalam Pasal 118 HIR.Perubahan
gugatan dapat dilakukan, dan dapat dibenarkan
jika perubahantersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang terakomadasi
dalam Pasal 127 Rv,sehingga terwujud perlindungan hukum terhadap kepentingan
para pihak secaraseimbang dan proporsional.
Penggabungan
gugatan juga disebut akumulasi gugatan, yakni penggabunganbeberapa gugatan
dalam satu gugatan. Penggabungan gugatan bisa dilakukan,walaupun secara yuridis
teks undang-undang tidak ada yang mengatur, namundalam praktik penerapan di
peradilan dilegalkan penggabungan gugatan denganpertimbangan ada
hubungan erat atau
koneksitas diantara gugatan
tersebut,sebagaimana dikemukakan oleh
Soepomo yang berdasar salah satu putusan RoadJustisie Jakarta, 20 juni
1939, yang dikuatkan dengan putusan MA
No. 575K/Pdt/1983.Pada dasarnya pencabutan gugatan adalah hak penggugat, sama
halnya denganpengajuan gugatan yang
merupakan hak yang melekata pada diri penggugat.Adapun regulasinya
beroerentasi pada ketentuan
Pasal 272 Rv(tentang
carapencabutan gugatan), sebagai rujukan, yang bertujuan untuk memiliki
landasanpenerapan yang sama antara pencari keadilan dan peradilan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Arto, H.
A Mukti. 2008.
Praktek Perkara Perdata
Pada Pengadilan Agama.
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
2.
Harahap,
M. Yahya.2008. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
3.
Manan,
Abdul. 2008. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan
Agama.
Jakarta: Kencana.
4.
Muhammad,
Abdul Kadir. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
5.
Soepomo. 1993.
Hukum Acara Perdata
Pengadilan Negeri. Jakarta:Pradnya
Paramita.
6.
Sutanto, Retno
Wulan dan Iskandar
Oriep Karta Winata.
2005. Hukum Acara
Perdata.
Bandung: Mandar Maju.
7.
.
1977. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Bina Cipta.
[1] H.A Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008)., hlm 39
[2] Retno Wulan Sutanto dan Iskandar Oerip Karta Winata, (Bandung: Mandar
Maju, 2005).,hlm1
[3] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1992).,hlm 41
[4] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan
Agama, (Jakarta:
Kencana, 2008)hlm. 29-34.
[5] Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan, hlm 123, angka
26
[6] Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Bina Cipta, 1977)., hlm 67
[7] Ibid.,hlm. 123
[8] Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta : Pradnya
Paramita, 1993).,hlm 27.
[9] Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.,hlm 125
[10] Tgl 20-6-1984, jo. PT Tanjung Karang No. 36/1982 tgl. 31-8-1983, jo.
PN Tanjung Karang No.
35/1981, tgl. 24-3-1982.
[11] H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,
(Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2008).,hlm 44
[12] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1992).,hlm 72.
[13] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika,
2008).,hlm 84.
Kalau Mau Copas jangan LUPA KASIH SUMBERNYA ^_^
Dan jangan lupa LIKE + Comment ^_^
No comments:
Post a Comment