Thursday, August 30, 2018

Makalah Surat Gugatan


Makalah Surat Gugatan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Perkara gugatan merupakan perkara yang diajukan ke pengadilan yang didalamnya
terdapat konflik atau sengketa yang meminta hakim untuk mengadili dan memutus siapa
diantara pihak-pihak   yang   bersengketa atau berkonflik   tersebut   yang   benar.  Perkara
gugatan disini termasuk dalam lingkup perkara perdata yang diatur tersendiri oleh hukum
acara perdata. Seringkali pengertian gugatan disama artikan dengan permohonan oleh
sebagian   orang   yang   belum   memahami   secara   menyeluruh   mengenai   hukum   acara
perdata.  Pada   dasarnya   memang  gugatan   dan   permohonan   sama-sama   perkara   yang
diajukan   ke   pengadilan   dalam   lingkup   perdata,  akan   tetapi   letak   perbedaanya   pada
gugatan   didalamnya   terdapat   sengeketa   yang   harus   diselesaikan   dan   diputus   oleh
pengadilan sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa. Dalam makalah ini akan
lebih lanjut dijelaskan mengenai perbedaan gugatan dan permohonan, akan tetapi yang
menjadi pembahasan  utama   pada makalah ini adalah  mengenai Surat Gugatan  dan
persyaratanya beserta persoal-persoalan yang mungkin timbul di dalam surat gugatan.
1.2.  Rumusan masalah
1. Apa definisi atau pengertian dari pada surat gugatan ?
2. Apa   saja   yang   menjadi  syarat   dalam   formulasi   surat   gugatan   ?,Dan   bagaimana
mekanisme dalam perubahan gugatan ?
3. Apa yang dimaksud dengan penggabungan gugatan ?
4. Bagaimana proses pencabutan gugatan perkara di depan Pengadilan ?








BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gugatan/Permohonan
Surat   gugatan   adalah   suatu   surat   yang   diajukan   oleh   penggugat   kepada   Ketua
Pengadilan yang berwenang, yang  memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung
suatu   sengketa   dan   sekaligus   merupakan   dasar   landasan   pemeriksaan   perkara   dan
pembuktian kebenaran suatu hak.[1]
1.       Adapun pengertian daripada surat permohonan adalah suatu permohonan yang di
dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu
hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat
dianggap sebagai suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.
Perbedaan antara gugatan dan permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada
suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan.[2]
2.       Dalam perkara gugatan terdapat dua pihak yang saling berhadapan (yaitu penggugat
dan tergugat), sedangkan dalam perkara permohonan hanya ada satu pihak saja (yaitu
pemohon). Namun demikian di Pengadilan Agama ada permohonan yang perkaranya
mengandung sengketa sehingga di dalamnya ada dua pihak yang disebut pemohon dan
termohon, yaitu dalam perkara permohonan ijin ikrar talak dan permohonan ijin beristeri
dari seorang.







B. Syarat-syarat Surat Gugatan

Yang dimaksud dengan formulasi surat gugatan adalah perumusan (formulation) suratgugatan yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum dan peraturanperundang-undangan   yang   berlaku.   Sehubungan   dengan   itu,   dalam   uraian   ini   akandikemukakan berbagai ketentuan formil dan materil yang wajib terdapat dan tercantumdalam surat gugatan. Syarat-syarat tersebut, akan ditampilkan secara berurutan sesuaidengan sistematika yang lazim dan standar dalam praktik peradilan.Adapun syarat-syarat dan ketentuan surat gugatan antara lain sebagai berikut:a. Syarat FormilPada   umumnya   syarat   formal   yang   harus   dipenuhi   dalam   suatu   gugatanadalah:
1. Ditujukan (Dialamatkan ) kepada PN Sesuai dengan Kompetensi RelatifSurat gugatan, secara formil harus ditujukan dan dialamatkan kepada PN sesuaidengan kompetensi relatif. Harus  tegas dan jelas tertulis PN yang dituju sesuaidengan patokan kompetensi relatif yang diatur dalam Pasal 118 HIR. Apabila suratgugatan salah alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi relatif :- Mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil, karenagugatan disampaikan dan dialamtkan kepada PN yang berada di luar wilayahhukum yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya;- Dengan demikian, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima(niet onvankelijkeverklaard) atas alasan hakim tidak berwenang mengadili.
2. Diberi TanggalKetentuan undang-undang tidak menyebut surat gugatan harus mencantumkantanggal. Begitu juga halnya jika surat gugatan dikaitkan dengan pengertian aktasebagai   alat   bukti,   Pasal   1868   maupun   Pasal   1874   KUH   Perdata,   tidakmenyebutka pencantuman tanggal di dalamnya. Karena itu, jika bertitik tolak dariketentuan Pasal  118 ayat (1) HIR dihubungkan dengan pengertian akta sebagaialat bukti, pada dasarnya tidak mewajibkan pencantuman tanggal sebagai syarat formil.
3. Ditandatangani Penggugat atau PenguasaMengenai tanda tangan dengan tegas disebut sebagai syarat formil surat gugatan.Pasal 118 ayat (1) HIR menyatakan :- Gugatan perdata harus dimasukkan ke PN sesuai dengan kompetensi relatif,dan;- Dibuat   dalam   bentuk   surat   permohonan   (surat   permintaan)   yang   ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya (kuasanya).b. Syarat SubstansialSyarat   substansial   dari   surat   permohonan   gugatan   yang   diajukan   olehpenggugat, terdapat dalam RV Pasal 8 Nomor 3 yang meliputi:
            1.Identitas Para PihakPenyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat formil keabsahangugatan. Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidakmenyebut identitas tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidakada. Tentang penyebutan identitas dalam gugatan, sangat sederhana sekali. Tidakseperti yang disyaratkan dalam surat dakwaan dalam perkara pidana yang diaturdalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP (meliputi nama lengkap, agama, tempatlahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agamadan pekerjaan tersangka).
Tidak seluas itu syarat identitas yang harus disebut dalam surat gugatan. Bertitiktolak dari ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR, identitas yang harus dicantumkan cukup memadai sebagai dasar untuk :
            ●Menyampaikan panggilan,
●Menyampaikan pemberitahuan
Dengan demikian, oleh karena tujuan pencantuman agar dapat disampaikanpanggilan atau pemberitahuan, identitas wajib disebut, cukup meliputi :
- Nama Lengkap

Nama   terang   dan   lengkap,   termasuk   gelar   atau   alias   (jika   ada),   maksudmencantumkan gelar atau alias, untuk membedakan orang tersebut denganorang lain yang kebetulan namanya sama pada lingkungan tempat tinggal.[3]
- Alamat atau Tempat Tinggal
- Penyebutan identitas lain, tidak imperative
2. Posita (Fundamentum petendi)
Mengacu pada Rv Pasal 8 Nomor 3 menyebutkan pula posita dan petitum sebagai
pokok yang harus dipenuhi dalam surat gugatan. Posita merupakan dalil-dalil
konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-
alasan   daripada   tuntutan.   Uraian   tentang   kejadian-kejadian   atau   peristiwa-
peristiwa   harus   dijelaskan   secara   runtut   dan   sistematis   sebab   hal   tersebut
merupakan penjelas duduknya perkara sehingga adanya hak dan hubungan hukum
yang menjadi dasar yuridis daripada tuntutan.
Secara garis besar dalam posita harus memuat antara lain:
a. Objek perkara yaitu mengenai hal apa gugatan yang akan diajukan.
b. Fakta-fakta hukum yaitu hal-hal yang menimbulkan sengketa.
c. Kualifikasi perbuatan tergugat yaitu suatu perumusan mengenai  perbuatan
materiil maupun moral dari tergugat yang dapat berupa perbuatan melawan
hukum.
d. Uraian kerugian yang diderita oleh penggugat
3. Petitum
Petitum adalah apa yang diminta atau diharapkan oleh penggugat agar diputuskan
oleh hakim dalam persidangan. Petitum ini harus dirumuskan secara jelas, singkat
dan padat sebab tuntutan yang tidak jelas maksudnya atau tidak sempurna dapat
mengakibatkan tidak diterima atau ditolaknya tuntutan tersebut oleh hakim.
Dalam praktik peradilan petitum dibagi kedalam tiga bagian, yaitu:
1. Tuntutan pokok atau tuntutan primer
Merupakan   tuntutan   sebenarnya   atau   apa   yang   diminta   oleh   penggugat
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam posita.
2. Tuntutan tambahan.
Merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntuntan pokok.
3. Tuntutan subsidier atau pengganti.
Merupakan   tuntutan   yang   diajukan   penggugat   untuk   mengantisipasi
kemungkinan   tuntutan   pokok   dan   tuntutan   tambahan   tidak   diterima   oleh
hakim.[4]
C. Perubahan Gugatan
Permasalahannya selanjutnya mengenai gugatan adalah perubahan gugatan.
Apakah penggugat boleh melakukan perubahan gugatan ? Pertanyaan ini mengandung
-dua sisi kepentingan. Satu segi, dalam kenyataan praktik, dibutuhkan perubahan
gugatan   agar   tidak   mengalami   cacat   formil   (obscuur   libel).   Pada   segi   lain,
membolehkan perubahan gugatan, dapat mendatangkan kerugian kepada tergugat.
Bahkan   bisa   menimbulkan   proses   pemeriksaan   terhambat  yang  dapat   merugikan
kepentingan tergugat.

Sehubungan dengan ini, jika perubahan gugatan dibenarkan, perlu dilindungi
kepentingan para pihak secara seimbang dan proporsional, sehingga terbina suatu
kerangka tata tertib, bahwa kebolehan penggugat melakukan perubahan gugatan pada
satu segi, tidak merugikan kepentingan tergugat membela diri pada segi lain. Keadaan yang seperti itulah yang dibahas pada bagian ini, berisi penjelasan tentang ruang
lingkup perubahan gugatan yang dibenarkan hukum dengan mempergunakan Pasal
127 Rv dan praktik peradilan sebagai sumber.
a. Syarat Perubahan Gugatan
Pasal 127 Rv, tidak menyebut syarat formil mengajukan perubahan gugatan.
Meskipun demikian ternyata praktik peradilan menentukan syarat formil keabsahan
pengajuan   perubahan.   MA   dalam   buku   pedoman[5] yang   diterbitkannya,   memuat
persyaratan formil.
a). Pengajuan Perubahan pada Sidang yang Pertama Dihadiri Tergugat
Syarat formil ini, ditegaskan oleh MA dalam buku pedoman, yang menyatakan :
- Diajukan pada hari sidang pertama, dan
- Para pihak hadir
Memperhatikan   ketentuan   tersebut,   penggugat   tidak   dibenarkan   mengajukan
perubahan gugatan:
- Di luar hari sidang, dan
- Juga pada sidang yang tidak dihadiri tergugat.
Syarat   ini   beralasan,   demi   melindungi   kepentingan   tergugat   membela   diri.   Jika
perubahan dibenarkn di luar sidang  dan di luar hadirnya tergugat ; dianggap sangat
merugikan kepentingan tergugat.
b. Memberi Hak kepada Tergugat Menanggapi
Syarat formil ini pun digariskan oleh MA, yang menyatakan :
- Menanyakan kepada tergugat tentang peubahan itu,
- Serta memberi hak dan kesempatan untuk menanggapi  dan membela kepentingannya.

Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Subekti[6], yang menyatakan,
bahwa pemberian kesempatan kepada tergugat membela diri bukan menjadi syarat
formil.
c. Tidak Menghambat Acara Pemeriksaan
Syarat ini dikemukakan Asikin dalam cacatan perkara No. 943 K/Pdt/1984.
Ditegaskan,   kebolehan   perubahan   gugatan   tidak   menghambat   acara   pemeriksaan
perkara.
Syarat ini dapat disetujui, meskipun agak sulit mengontruksikannya secara
konkrit.   Akan   tetapi   secara   umum   dapat   dikemukakan,   apabila   perubahan   itu
sedemikian   rupa,   sehingga   hakim   memperkirakan,   secara   objektif   perubahan
mengakibatkan   proses   tahap   replik-duplik   yang   sudah   berlangsung   terpaksa
diperpanjang,   perubahan   dikategorikan   mempersulit   dan   menghambat   jalannya
pemeriksaan. Akan tetapi perlu diingat, syarat ini harus diterapkan secara cermat dan
kasuistik.
D. Batas Waktu Pengajuan Perubahan  Gugatan
Mengenai batas waktu  pengajuan perubahan muncul beberapa versi.
a. Sampai Saat Perkara Diputus
Tenggang batas jangka waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv
yang menyatakan, penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutan sampai saat
perkara   diputus.   Berarti,   selama   persidangan   berlangsung,   penggugat   berhak
melakukan   dan   mengajukan perubahan   gugatan.  Sebagaimana   yang   diungkapkan
Asikin, mendukung penerapan yang demikian.
Pada cacatan yang diberikan pada Putusan MA No 943 K/Sip/1987, 1987, 19
September   1985,   terdapat   penegasan   yang   memperbolehkan   perubahan   gugatan
selama persidangan. Kita kurang setuju dengan ketentuan batas jangka waktu ini.
Pemberian   hak   melakukan   perubahan   gugatan   sepanjang   atau   selama   proses
pemeriksaan, apalagi sampai putusan dijatuhkan ; dianggap merupakan kesewenangawenangan   tergugat.   Dari   segi   lain,   kebolehan   yang   demikian,   secara   nyata   dan
objektif dapat menghambat penyelesaian perkara. Misalnya, pada saat putusan hendak
dijatuhkan, penggugat mendadak mengajukan perubahan gugatan yang memerlukan
pembelaan dari pihak penggugat. Tindakan tersebut jelas menghambat penyelesaian
serta mengandung  kesewenang-wenangan  dari  pihak  penggugat.  Oleh karena itu,
sangat beralasan memodifikasi ketentuan itu ke arah jangka waktu yang layak dan
realistik.
b. Batas Waktu Pengajuan pada Hari Sidang Pertama
Penggarisan batas jangka waktu pengajuan hanya boleh dilakukan pada hari
sidang pertama, ditegaskan dalam Buku Pedoman yang diterbitkan MA.[7] Selain harus diajukan pada hari sidang pertama, disyaratkan para pihak harus hadir. Ditinjau dari
segi hukum, perubahan gugatan bermaksud untuk memperbaiki dan menyempurnakan
gugatan. Oleh karena itu, dianggap tidak realistis membatasinya hanya pada sidang
pertama.  Terkadang  perbaikan  atau   perubahan itu,   baru disadari  setelah tergugat
menyampaikan jawaban. Oleh karena itu, pedoman batas waktu yang digariskan MA
tersebut,   dianggap   terlampau  restriktif.   Sangat   menghambat   hak   penggugat
melakukan perubahan gugatan.
c. Sampai pada Tahap Replik-Duplik
Kalibarang batas jangka waktu pengajuan perubahan yang dianggap layak dan
memadai menegakkan keseimbangan kepentingan para pihak adalah sampai tahap
replik-duplik berlangsung. Praktik peradilan cenderung menerapkannya. Misalnya,
dalam Putusan MA No. 546   K/Sep/1970, menggariskan perubahan gugatan tidak
dapat   dibenarkan   apabila   tahap   pemeriksaan   sudah   selesai,   konklusinya   sudah
dikemukakan dan kedua belah pihak telah memohon putusan.
Memperhatikan   variabel   batas   jangka   yang   dikemukakan,   terdapat   dua
pembatasan yang saling bertolak belakang secara ekstrim :
Batas  jangka waktu yang ditentukan pada Pasal  Rv, dianggap  terlampau  leluasa
memberi hak kepada penggugat melakukan perubahan, mulai dari proses persidangan
sampai putusan belum dijatuhkan;
- Sebaliknya, pada batas waktu yang digariskan MA dalam Buku Pedoman, dianggap
terlampau resriktif atau sempit, hanya memberi hak pada hari sidang pertama.
Sehubungan dengan sifat ekstrimitas yang melekat pada kedua penggarisan
tersebut,   dihubungkan   dengan   segala   kelemahan   yang   terkandung   di   dalamnya,
kurang tepat untuk menerapkannya. Lebih baik menerapkan tenggang waktu yang
bersifat moderat. Membolehkan mengajukan perubahan tidak hanya terbatas pada
sidang pertama, tidak juga dibenarkan selama proses pemeriksaan berlangsung, tetapi
dibolehkan sampai proses pemeriksaan memasuki tahap replik dan duplik.

E. Penggabungan Gugatan
Secara teknis mengandung pengertian penggabungan beberapa gugatan dalam
satu gugatan. Disebut juga kumulasi gugatan atau samenvoeging van vordering, yaitu
penggabungan   dari   lebih   satu   tuntutan   hukum   ke   dalam   satu   gugatan.[8] Pada
prinsipnya, setiap gugatan harus berdiri sendiri. Masing-masing gugatan diajukan
dalam surat gugatan yang terpisah secara tersendiri, dan diperiksa dan diputus dalam
proses pemeriksaan dan putusan yang terpisah dan berdiri sendiri. Akan tetapi dalam
hal dan batas-batas tertentu, dibolehkan melakukan penggabungan gugatan dalam satu
surat   gugatan,   apabila   antara   satu   gugatan   dengan   gugatan   yang   lain   terdapat
hubungan erat atau koneksitas.[9]
Hukum  positif tidak  mengatur penggabungan gugatan.  Baik HIR maupunRBG, tidak mengaturnya. Begitu juga Rv, tidak mengatur secara tegas, dan tidak pulamelarang. Yang  dilarang   Pasal 103 Rv, hanya  terbatas pada penggabungan  ataukumulasi gugatan antara tuntutan hak menguasai (bezit) dengan tuntutan hak milik.Meskipun HIR dan RBG maupun Rv tidak mengatur, peradilan sudah lamamenerapkannya. Supomo menunjukkan salah satu putusan Road Justisie Jakarta pada tanggal   20   juni   1939   yang   memperbolehkan   penggabungan   gugatan,   denganpertimbangan   antara   gugatan-gugatan   itu,   terdapat   hubungan   erat    (innerlijkesamenhang).
Pendapat yang sama, ditegaskan dalam Putusan MA No. 575 K/Pdt/1983[10]yang menjelaskan antara lain :
Meskipun Pasal 393 ayat (1) HIR mengatakan hukun acara yang diperhatikanhanya HIR, namun untuk mewujudkan tercapai process doelmatigheid, dimungkinkanmenerapkan lembaga dan ketentuan acara di luar yang diatur dalam HIR, asal dalampenerapannya berpedoman kepada ukuran:
1. Benar-benar untuk memudahkan atau menyederhanakan proses pemeriksaan.
2. Menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan.
Berdasarkan alasan tersebut, boleh dilakukan penggabungan (samenvoging)atau   kumulasi   objektif   maupun   subjektif,   dengan   syarat   terdapat  innerlijkesamenhangen atau koneksitas erat diantaranya.Kumulasi ialah gabungan beberapa gugatan hak atau gabungan beberapa pihakyang mempunyai akibat hukum yang sama, dalam satu proses perkara. Ada beberapamacam kumulasi[11]:
a. Voeging, masuknya pihak ke tiga ke dalam suatu untuk membantu salah satupihak menghadapi pihak lawan. Dalam hal ini pihak ke tiga berkedudukansebagai penggugat dan tergugat.
b. Vrijwaring, ialah pihak ke tiga ditarik oleh tergugat dengan maksud agar iamenjadi penanggung bagi tergugat.
c. Tussencomst,  ialah   pihak   ke   tiga  masuk   dalam   satu  proses  perkara   yangsedang berjalan untuk membela kepentingannya sendiri. Dengan  demikianintervensi di sini berhadapan dengan penggugat dan tergugat secara langsung,tetapi   dibolehkan   sampai   proses   pemeriksaan   memasuki  tahap   replik   danduplik.

F. Pencabutan Gugatan
Salah   satu   permasalahan   hukum   yang   mungkin   timbul   dalam   prosesberperkara  di depan pengadilan  adalah pencabutan  gugutan. Pihak penggugatmencabut gugatan sewaktu atau selama proses pemeriksaan berlangsung. Alasanpencabutan   sangat   bervariasi.  Diantaranya   disebabkan   gugatan  yang   diajukantidak   sempurna.   Atau   dasar   dalil   gugatan   tidak   kuat   atau   dalil   gugatanbertentangan dengan hukum dan sebagainya.[12]
Pencabutan merupakan hak penggugat, sama halnya dengan pengajuangugatan merupakan hak melekat pada diri penggugat. Satu sisi hukum memberihak kepadanya mengajukan gugatan, apabila hak dan kepentingannya dirugikanoleh pihak lain. Pada sisi lain wajar dan layak pula memberi hak kepadanya untukmencabut gugatan apabila dianggapnya hak dan kepentingannya tidak dirugikan.

●Cara Pencabutan
  Cara   pencabutan,   berpedoman   pada   ketentuan   Pasal   272   Rv   sebagairujukan. Ajakan mempergunakan Pasal 272 Rv sebagai rujukan, bertujuan untukmemiliki landasan penerapan yang sama antara pencari keadilan dengan peradilan.
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 272 Rv, terdapat  beberapa hal  yang perludijelaskan dalam pelaksanaan pencabutan gugatan[13].
a. Yang Berhak Melakukan PencabutanAgar pencabutan sah menurut hukum, harus dilakukan oleh orang yangberhak.   Menurut   Pasal   272   Rv   yang   berhak   melakukan   pencabutan   adalahsebagai berikut:
1) Penggugat sendiri secara Pribadi
Menurut   hukum,   penggugat   sendiri   yang   paling   berhak   melakukanpencabutan, karena dia sendiri yang paling mengetahui hak dan kepentingannyadalam kasus yang bersangkutan.
2) Kuasa yang Ditunjuk Penggugat
Pencabutan   juga   dapat   dilakukan   Kuasa   yang   ditunjuk   penggugatberdasarkan surat kuasa khusus yang digariskan Pasal 123 HIR, dan SEMA No. 1Tahun 1971, dan di dalamnya dengan tegas diberi penguasaan untuk mencabut.Atau dapat juga dituangkan dalam surat kuasa tersendiri yang secara khususmemberi penegasan untuk melakukan pencabutan gugatan.Pencabutan yang dilakukan Kuasa yang tidak diberi wewenang untuk ituoleh penggugat tidak sah (ilegal), dan tindakan Kuasa tersebut dapat dianggapmenyalagunakan   wewenang  (abuse   of   authority)   atau   pelampauan   bataswewenang  (exceeding   its   power).   Tindakan   Kuasa   yang   demikian   dapatdikualifikasi perbuatan melawan hukum (onrechemtige dead)  berdasarkan Pasal1365 KUH Perdata.
a.       Pencabutan Gugatan yang belum Diperiksa Dilakukan dengan Surat
b.       Pencabutan Gugatan yang Sudah Diperiksa dilakukan dalam Sidang
· Akibat Hukum Pencabutan
Pasal 272 Rv mengatur akibat hukum pencabutan gugatan. Ketentuan pasal ini   dapat   dijadikan   pedoman   dengan   cara   memodifikasi   dengan   kebutuhan perkembangan. Akibat   hukum pencabutan   gugatan   yang   dianggap   penting diperhatikan, dapat dijelaskan hal-hal berikut :
- Pencabutan mengakhiri perkara
- Tertutup segala upaya hukum bagi para pihak
- Para pihak kembali kepada keadaan semula
- Biaya perkara dibebankan kepada penggugat


BAB III
PENUTUP

3.1.  Simpulan
Dari   uraian   dalam   pembahasan,   dapat   disimpulkan   beberapa   sub   pokokpembahasan yang sesuai dengan rumusan masalah dalam makalah ini.Surat gugatan adalah yang diajukan oleh  penggugat kepada Ketua Pengadilanyang berwenang, yang berisi tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatusengketa, dan merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan pembuktiankebenaran suatu hak.Adapun   surat   gugatan,   harus   memenuhi   syarat   formil,   yakni   menurutketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, diantaranyasurat   gugatan   tersebut   diajukan   (dialamatkan)   kepada   PN   sesuai   dengankompetensi relatif  yang diatur dalam Pasal 118 HIR.Perubahan gugatan dapat dilakukan, dan dapat dibenarkan   jika perubahantersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang terakomadasi dalam Pasal 127 Rv,sehingga terwujud perlindungan hukum terhadap kepentingan para pihak secaraseimbang dan proporsional.
Penggabungan gugatan juga disebut akumulasi gugatan, yakni penggabunganbeberapa gugatan dalam satu gugatan. Penggabungan gugatan bisa dilakukan,walaupun secara yuridis teks undang-undang tidak ada yang mengatur, namundalam praktik penerapan di peradilan dilegalkan penggabungan gugatan denganpertimbangan   ada   hubungan   erat   atau   koneksitas   diantara   gugatan   tersebut,sebagaimana dikemukakan oleh  Soepomo yang berdasar salah satu putusan RoadJustisie Jakarta, 20 juni 1939, yang dikuatkan   dengan putusan MA No. 575K/Pdt/1983.Pada dasarnya pencabutan gugatan adalah hak penggugat, sama halnya denganpengajuan  gugatan yang merupakan   hak yang   melekata pada  diri penggugat.Adapun   regulasinya   beroerentasi   pada   ketentuan   Pasal   272   Rv(tentang   carapencabutan gugatan), sebagai rujukan, yang bertujuan untuk memiliki landasanpenerapan yang sama antara pencari keadilan dan peradilan.
























DAFTAR PUSTAKA
1.       Arto,   H.   A   Mukti.   2008.  Praktek   Perkara   Perdata   Pada   Pengadilan   Agama.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2.       Harahap, M. Yahya.2008. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
3.       Manan, Abdul. 2008. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Kencana.
4.       Muhammad, Abdul Kadir. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
5.       Soepomo.   1993.    Hukum   Acara   Perdata   Pengadilan   Negeri.  Jakarta:Pradnya
Paramita.
6.       Sutanto,   Retno   Wulan   dan  Iskandar  Oriep   Karta   Winata.   2005.  Hukum   Acara
Perdata. Bandung: Mandar Maju.
7.       . 1977. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Bina Cipta.







































[1] H.A Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008)., hlm 39
[2] Retno Wulan Sutanto dan Iskandar Oerip Karta Winata, (Bandung: Mandar Maju, 2005).,hlm1
[3] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992).,hlm 41
[4] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2008)hlm. 29-34.

[5] Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan, hlm 123, angka 26
[6] Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Bina Cipta, 1977)., hlm 67
[7] Ibid.,hlm. 123
[8] Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1993).,hlm 27.
[9] Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.,hlm 125
[10] Tgl 20-6-1984, jo. PT Tanjung Karang No. 36/1982 tgl. 31-8-1983, jo. PN Tanjung Karang No.
35/1981, tgl. 24-3-1982.

[11] H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2008).,hlm 44

[12] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992).,hlm 72.
[13] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008).,hlm 84.



Kalau Mau Copas jangan LUPA KASIH SUMBERNYA ^_^
Dan jangan lupa LIKE + Comment ^_^

No comments:

Post a Comment